Hasil proses pembacaan dan penjelajahan Oseania menghadirkan 34 karya dari seniman dan komunitas yang dipamerkan di galeri JNM sampai tanggal 14 November 2021.
Dua taring babi melengkung ke dalam menghias hidung orang berikat kepala. Pada leher ia menggantung kalung peluru pistol yang juga tampak seperti mata ritsleting. Kepala itu muncul di antara pembantaian. Jelas terlihat orang-orang berkalang tanah. Sepatu lars menjejak kepala orang telungkup. Dua jari mengait lubang hidung seorang kesakitan seperti kail pada ikan.
Peristiwa itu terekam dalam lukisan pada fasad galeri Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 di Jogja Nasional Museum (JNM).
Bersama dengan tagline “Indonesia With Oceania”, tema “Roots < > Routes” yang memayungi perhelatan akbar Biennale kali ini menjadi rangkaian penutup dari Biennale Jogja Seri Khatulistiwa putaran pertama.
Elia Nurvista, kurator Biennale Jogja XVI menegaskan, persoalan roots atau mengakar dan rute penting untuk dibicarakan. Karena sejak zaman kolonialisme, internasionalisme, dan globalisasi berdampak pada migrasi untuk alasan apapun yang disertai kekerasan.
“Persoalan roots dan rute itu yang penting untuk kita lihat kembali bagaimana politik identitas kita hari ini, misalnya tentang roots atau pengetahuan yang mengakar yang kemudian saat ini coba dibicarakan dan kritisi, bagaimana pengetahuan tempatan hilang seiring ekstraktifisme yang terjadi entah itu pertambangan yang menyebabkan banyak orang migrasi dan mempersoalkan ketercerabutan identitas tempat asal,” terang Elia, Jumat 1 (10/21).
Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika mengatakan, Biennale Jogja XVI Equator #6 mempertemukan Indonesia dengan Oseania. Pembacaan ulang dilakukan pada sejarah Oseania dalam rangka mengenali kembali identitas Indonesia sebagai wilayah persinggungan berbagai etnis, ras, dan kebudayaan.
“Jadi kita sudah memasuki satu putaran bola dunia yang sekarang ditutup dengan kawasan Oseania, jadi bagi kami sendiri penyelengaraan tahun ini menjadi-spesial-menjadi-istimewa karana menandai tidak hanya satu dekade dari inisiatif Biennale Jogja Khatulistiwa, tapi juga menandai sudah selesai keliling dunia melalui jalur khatulistiwa,” tutur Alia Swastika.
Hasil proses pembacaan dan penjelajahan Oseania menghadirkan 34 karya dari seniman dan komunitas yang dipamerkan di galeri JNM sampai tanggal 14 November 2021.
Pameran utama karya di JNM tersebut diikuti dengan serangkaian kegiatan, program, dan Pameran Arsip Khatulistiwa di Taman Budaya Yogyakarta. Bilik Korea dan Bilik Taiwan pun turut dihadirkan sebagai upaya menafsirkan dunia dari perspektif lain.
Dua bilik di atas, secara berurutan terletak di Pendopo Ajiyasa, JNM, dan Museum dan Tanah Liat (MdTL) dan Indieart House.
Bilik Taiwan menampilkan karya dari seniman Rahic Talif, ChihChung Chang, dan C&G Art Group (Chieh-Sen Chiu & Margot Gullemot). Sedangkan, seniman partisan yang mengisi Bilik Korea antara lain Agnes Christina, Ampannee Satooh, Chang Jia, Etza Meisyara, Fitri DK, Sao Sreymao, dan Siren Eun Young Jung.
Lukisan 17 x 7 m berjudul “Dibungkam” pada fasad JNM yang merekam jejak kekerasan di Papua, dibuat oleh salah satu anggota kolektif Udeido, Yanto Gombo. Ia membuatnya sendiri selama delapan hari.
Udeido dibentuk sebagai sebuah ‘ruang’ untuk mendorong seniman-seniman muda Papua dalam mengeksplorasi berbagai fenomena sosial dan humaniora di Papua. Tak hanya di bagian fasad, karya kolektif Udeido lain dapat dilihat di ruang berukuran 10 x 20 m di galeri JNM.
Memasuki ruang tersebut, pengunjung dihadang poster-poster dengan potret tokoh-tokoh di Papua seperti Antropolog Arnold AP; mantan Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Eluay; musisi Black Brothers Stevie Mambor, serta sederet tokoh lain.

Setelahnya, terdapat buah-buah pala yang berisi kepala manusia menggantung di langit-langit serta disusun di sebuah rak. Kepala tersebut merupakan kepala laki-laki yang seharusnya menjaga tanah warisan di dalam kehidupan masyarakat adat Mbaham di Fakfak. Seniman di balik karya itu yakni Costantinus Raharusun.
Pria yang juga disapa Otan itu menceritakan pengalamannya kepada Sudut Kantin Project ketika pemerintah membeli tanah-tanah, banyak anak muda yang justru senang karena mendapat uang pengganti dengan jumlah besar. Uang tersebut kemudian dialihkan untuk membeli motor.
“Nah, peran laki-laki dalam masyarakat adat di situ sangat penting. Sekarang banyak yang menganggap mending punya motor daripada punya tanah,” kata Costan, “keadaan sekarang itu banyak yang bingung ketika tanah sudah dijual bingung tinggal di mana. Kita yang punya tanah, tapi harus tinggal di kos-kosan. Itu yang coba saya representasikan dari laki-laki Fakfak bahwa mereka harus punya sikap baik terhadap masalah-masalah adat karena mereka penerusnya,” sambungnya.
Tak hanya itu, hal lain yang menarik perhatian dan memantik pertanyaan adalah instalasi penis peluru dengan pakaian dalam wanita yang terserak di lantai dan menggantung di ujungnya.

Karya Betty Adii tersebut mencoba mengartikulasikan bahwa perempuan selalu menjadi korban di tengah konflik antara militer dan kelompok kriminal. Padahal perempuan mempunyai tanggung jawab dan beban moral yang besar berkaitan dengan itu.
Penis dengan selongsong peluru itu dikelilingi dengan kode-kode yang terdapat pada selongsongnya. Betty Adii mengatakan, pada beberapa selongsong peluru yang ditemukan di daerah operasi militer terdapat keterangan seperti kode-kode narasi.
Costan mengaku, karya Betty Adii lebih menekankan pada hak-hak manusia yang telah dirampas di sana. “Khususnya pada seorang wanita Papua,” tegas Costan.
Selain itu masih ada beberapa karya lain di ruang 10 x 7 m tersebut seperti patung sebagai perwujudan totem. Patung ini menjadi media untuk sampai pada Tuhan yang dipercayai masyarakat adat.
Bagian depan patung totem terdapat mapping menggunakan projektor yang disorot dari atas dan bawah bagian depan. Kain putih transparan menggantung yang tertabrak cahaya projektor menampakkan motif-motif dari beberapa wilayah adat di Papua. Salah satu motif mempunyai makna sumber kehidupan.
Udeido sendiri merupakan nama sebuah daun. Bagi masyarakat suku Mee Deiyai, daun tersebut mempunyai manfaat untuk menyembuhkan luka. Spirit daun udeido inilah yang coba dibawa kolektif Udeido dalam setiap karya mereka.
“Mungkin tidak akan sampai menyembuhkan. Tapi bahwa ada usaha-usaha untuk sampai ke sana,” kata Costan.
Untuk merangkum seluruh karya seniman kolektif Udeido, mereka mengambil satu tema besar yaitu Koreri Projection. Koreri merupakan agama adat yang berkembang di salah satu suku di Papua yakni Biak.
Di lantai dua, kentalnya atmosfer kesukuan terasa melalui karya berjudul “Apa Kabar Banda Neira Hari Ini”. Sebuah mantra yang menggema begitu tiba di lantai tersebut berasal dari audio yang ikut membangun suasana karya Ersal Umammit, seorang seniman fotografi kelahiran Ambon.
Karya Ersal, begitu ia disapa, merentang narasi sejarah riwayat kosmopolitanisme dan situasi pascakolonial di Maluku. Bahwa terdapat trauma sejarah pasca-kolonial yang hinggap di masyarakat Banda hingga saat ini.

Hasil tangkapan lensa kamera ia tampilkan sebagai latar belakang manekin berbaju plastik hitam dengan kepala terbungkus plastik dengan warna sama. Pada kedua tangan bertelapak terbuka menjulur ke depan terletak buah-buah pinang. Sedangkan di leher menggantung sebuah tas anyaman bambu kecil, lalu sebuah ujung galah dengan kayu manis di dalamnya menggantung di depan manekin tersebut.
Tak jauh beda dengan karya kolektif Udeido, karya Ersal Umammit menyampaikan sebuah pesan penting terkait perkembangan Banda pasca-kolonial. Banda sekarang, mengalami banyak permasalahan salah satunya perampasan tanah adat.
Pada foto yang menempel di tembok, terlihat seorang pria Eropa berada di kapal kecil dengan seorang pendayung. Ersal mengatakan, pria Portugis ini menggambarkan bagaimana masyarakat hari ini masih diperbudak oleh orang-orang yang keluar-masuk di Banda Neira itu sendiri.
“Sebagian dari usaha yang ada di Banda itu bukan milik orang Banda. Usaha-usaha pariwisata itu milik orang-orang luar,” aku Ersal, yang aktif di kolektif Paparisa Ambon Bergerak dan Ombak Banda.
Pria yang pernah hidup di Banda pasca konflik Ambon tahun 2001 ini juga mengatakan bahwa genosida yang terepresentasi dari simbol benteng Nassau pada fotonya juga terjadi pada masyarakat Banda yang kiwari melalui sampah-sampah yang makin menumpuk di pulau Banda.
Lebih jauh lagi, Ersal menyampaikan bahwa upaya-upaya sedang dilakukan untuk memproteksi Banda melalui penguatan anak-anak muda dengan mengembangkan apa yang mereka miliki seperti bakat fotografi dan literasi melalui kolektif-kolektif yang ada di Banda.
Ia menyadari betul Banda hanya dijadikan objek romantisasi. “Kalau di Banda itu [orang] masuk-masuk aja. Engga ada donasi apapun. Event-event yang diberi pemerintah itu juga hanya seremoni saja, bahwa Banda sebagai konten-konten masa lalu yang pernah terjadi sebelumnya itu hanya dijadikan konten untuk nilai jual mereka. Sehingga habis selesai event, ya udah habis, engga ada feedback apapun untuk masyarakat itu sendiri,” kata Ersal dengan suara mantra dari audio yang mengiringi pembicaraan kami.
Tak hanya Ersal Umammit dan kolektif Udeido yang menampilkan persoalan di tanah asal mereka. Seniman lain juga membawa itu pada karya-karya mereka seperti yang bisa dilihat pada karya berjudul “Matinya Tanah Firdaus” oleh seniman muda jebolan Asana Bina Seni, Raden Kukuh Hermadi.
Karya ia merepresentasikan zaman gaber di Gunung Kidul dan sekaligus merekonstruksi narasi yang hilang di sana. Zaman gaber tersebut merupakan puncak dari proses deforestasi dan desertifikasi di tahun 1960-an yang diiringi serangan hama tikus.
“Matinya Tanah Firdaus” tampak mengalami beberapa perubahan. Berbeda ketika karya tersebut dipamerkan di Asana Bina Seni Agustus lalu. Seperti arang yang ditambah kuantitasnya hingga menutup lantai seluas 6 x 3,5 m. Tentu masih banyak lagi karya yang dipamerkan pada perhelatan Biennale Jogja XVI.
Kerusakan lingkungan, ekologi, migrasi, dan hilangnya pengetahuan tempatan (baca: lokalitas) menjadi tema penting yang para seniman artikulasikan dengan harapan terjadi perubahan yang lebih baik di masyarakat.
Hal di atas senada dengan pernyataan Elia Nurvista yang menegaskan, seni berfungsi sebagai media penyampai pengetahuan dan pesan. Fungsi ini lah yang sedang terjadi dan beroperasi di perhelatan akbar Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: Arlingga Hari Nugroho
Koleksi foto: Andreas Pramono
1 comment