Agung Geger dan Dicky Senda: Budaya Pengarsipan, Belajar Bersama, dan Kerja Kolektif Berkelanjutan

Menuliskan kembali perbincangan Agung Geger dan Dicky Senda perihal budaya pengarsipan, semangat belajar bersama, dan kerja kolektif berkelanjutan.

Suatu malam (9/10) di ruang tengah Lifepatch, Sudut Kantin Project (S) membuat janji dengan dua orang yang bergiat dalam penjelajahan budaya lokal; Agung Geger (G) dan Dicky Senda (D). Mereka adalah orang-orang yang kerap menyelinap di antara tradisi-tradisi yang mulai ditinggalkan.

Sesi ini tidak kami lihat sebagai rentetan pertanyaan wawancara. Perbincangan yang cair antara Geger dan Dicky mengenai budaya pengarsipan, semangat belajar bersama, dan kerja kolektif berkelanjutan coba kami tuliskan kembali dalam topik-topik khusus yang telah kami pilih.

G: Mungkin pertama saya memperkenalkan diri, nama saya Agung Firmanto Budiharto biasa dipanggil Geger tinggal di Jogja. Sekarang masih aktif di Lifepatch dan aktif di kehidupan sendiri. Aktif, progresif, produktif, kadang-kadang nggak produktif, kadang-kadang nggak progresif, kadang-kadang nggak aktif.

D: Saya Dicky Senda. Kurang lebih 6 tahun terakhir tinggal di Mollo, di kampung halaman. Sebelumnya tinggal di Kupang, sebelum itu [saya] pernah tinggal di Jogja. Di Mollo saya membuat komunitas bersama dengan warga namanya Lakoat Kujawas sudah dari 2016, dan yang kami kerjakan adalah pengarsipan pengetahuan adat yang ada di Mollo dan bikin ruang untuk warga bisa berkumpul dan sebagainya. Sehari-hari saya menulis juga riset sama warga.

S: Kapan pertama kali kalian bertemu?

G: Pertama kali saya bertemu Dicky Senda itu waktu Dicky Senda residensi di BPR (Bumi Pemuda Rahayu) karena dia residensi dengan salah satu juga teman anggota Lifepatch namanya Sita. Dari mbak Sita kenal sama Dicky Senda.

D: Tapi waktu itu belum ngobrol ya.

G: Salah satunya karena Sita pesan kaos, yang kaosnya waktu itu luntur. Berarti itu tahun berapa ya?

D: 2005, eh sorry 2015. Itu pengalaman pertamaku residensi, seumur hidup, di Jogja ya di BPR, Imogiri. Ketemu Mara, ketemu Sita, ketemu Mas Geger.

G: Dan ketemunya pun itu di Jogjatronik.

D: (Tertawa) Oh iya, nganter kaos itu.

G: Terus ke atas [Imogiri] lihat presentasi.

D: Iya, waktu itu hari terakhir setelah 2 bulan residensi.

S: Sebelumnya sudah pernah mengenal satu sama lain?

G & D: Belum.

D: Baru kenal akrab itu waktu Mas Geger pergi ke Timor. Ternyata lingkaran kami saling kenal. Jadi semakin memperkuatnya lingkaran pertemanannya itu. Akhirnya ketemu dan lumayan ngobrol lama itu waktu ke Lakoat, waktu riset. Tidur berapa hari di Lakoat, [lanjut] ke Fatumnasi. Waktu yang mau penelitian di Timor, aku pertama kali dikontak Sita. Katanya, ini kita dari Lifepatch ada yang mau penelitian ke Timor, jadi konsultasi dan minta pendapat kira-kira nanti di Timor ketemu siapa saja.

Waktu di Mollo, Mas Geger ngajarin kami bikin fermentasi. Itu juga pertama kali [bagi] Lakoat dan akhirnya melakukan itu sampai sekarang.

G: Belajar bersama! Waktu itu aku semakin senang, karena teman-teman yang nona-nona dari Lakoat kemudian ngajarin buat teman-teman yang lain di sana. Asyik nih!

D: Iya, [jadi] berlanjut! Jadi mereka ngajarin Mama Fun, ngajarin Bapa Fun, ngajarin siapa, itu justru dari murid-muridnya Mas Geger.

Terus pas aku ke Jogja lagi, kita masak-masak di sini [Lifepatch], bikin diskusi, cerita tentang Lakoat. Mas Geger sempat kasih ragi wine, dikasih beberapa bungkus, dan itu lumayan dipakai di sana [Mollo].

G: Dan waktu itu Kak Dicky juga memperkenalkan teman-teman di sini dengan jagung bose.

S: Impresi awal ketika mulai saling mengenal?

G: Kalau aku memang dari awal, aku mengikuti beberapa tulisan Kak Dicky, kan Kak Dicky penulis. Dan kebetulan di sana juga ada bukunya. Ada buku yang… apa ya judulnya?

D: Kanuku Leon?

G: Oh iya, akhirnya buku itu saya tinggal di perpustakaan di Sumba Barat Daya. Jadi di Sumba ada perpustakaan yang mereka sedang merintis. Buku ini nih, sebenarnya sayang sekali karena buku dari teman, tetapi karena teman-teman di Sumba waktu itu sedang mengumpulkan cerita-cerita lokal, jadi coba nih buku ini. Saya tinggal bukunya.

D: Kalau aku melihat Mas Geger itu, karena eksperimen dengan bahan-bahan lokal menjadi fermentasi, itu bikin aku tertarik untuk belajar. Aku sering juga kemarin lihat Mas Geger bikin coklat, sebelumnya fermentasi buah-buah, itu bagiku atau teman-teman di Lakoat itu jadi pemantik. Oh iya kita bikin ini aja kayaknya bisa, justru dengan apa yang dibikin [Mas Geger] justru mendorong [kami] untuk bikin eksperimen juga yang lain dengan potensi-potensi lokal.

Dan itu aku belajar, bukan cuma Mas Geger, tapi teman-teman di Lifepatch juga. Eksperimen-eksperimen itu yang kayaknya membawa Lakoat ada di satu titik di mana kita banyak uji coba, [bikin] tes, bikin sesuatu dengan potensi yang ada di sana. Kami pakai pendekatan itu untuk terhubung dengan warga. Terhubung dengan bapa-bapa, mama-mama, anak muda, itu juga justru pakai aktivitas-aktivitas seperti yang dilakukan di Lifepatch ini. Itu sih kesan yang menarik dari Mas Geger.

G: Kalau pertama saya ketemu Kak Dicky memang di Mollo secara personal, aku melihat dia gila nih udah kuliah ke Jogja, kalau boleh dibilang seperti itu ya; anak gila ini kayaknya! Tapi terus kemudian ketika melihat dari beliau menulis cerita-cerita lokal, serius juga dalam penulisannya dan diterbitkan, bagiku itu sesuatu yang memang bener nih: gila! Dan kami diajak juga waktu itu ada kelas menulis.

D: Iya betul. Kami punya satu program rutin tiap minggu, kelas menulis. Kami pada saat itu berhasil bikin semacam kerja sama dengan salah satu sekolah yang ada di desa Taiftob untuk bikin program reguler kelas menulis yang diisi komunitas tapi dilaksanakan di sekolah formal di jam pelajaran. Jadi seperti ekstrakurikuler. Dan itu kami sampai sekarang, sudah 4 tahun. Setiap Sabtu, anak-anak punya ruang untuk menulis, membaca mereka punya cerita atau catatan harian.

G: (Menyela) Dan yang menarik untukku, karena itu tidak hanya didampingi selesai begitu saja, tapi memang mungkin salah satu tujuannya [buku] ini harus terbit.

D: Iya dan kelas itu juga yang pada akhirnya mendukung mimpi kami untuk bikin pengarsipan, pendokumentasian, salah satunya lewat tulisan dan kelas itu yang eksis dan support sekali. Pada akhirnya anak-anak itu yang memetakan kampung. Menuliskan narasi kampung. Sejarah kampung. Fabel, dongeng. Sebagian yang dibawa ke Biennale [Jogja] itu juga adalah hasil dari riset dan tulisan mereka.

G: Dalam konteks Mollo, di Lakoat Kujawas, itu mereka sebenernya melestarikan dan melakukan pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada. Sehingga bisa jadi suatu saat gak perlu museum Mollo. Karena warga di sana, bisa jadi menggali lagi.

D: Dan menghidupkan ruang-ruang itu untuk dipraktikkan. Benar, mimpi kami memang kayak itu, bukan untuk sekedar pajangan atau disimpan jadi arsip, arsip yang di dalam ruang saja, tapi arsip itu kemudian dilakukan.

G: Jadi artinya apakah konteks yang dilakukan kak Dicky dan teman-teman Lakoat, [memang] melihat di Mollo kehilangan sistem [baca: tradisi] yang sudah hilang terputus? Ataukah itu memang masih berlangsung tapi tidak dianggap?

D: Persoalan yang terjadi di Mollo itu, kenapa terputus cukup lama, karena praktik-praktik seni budaya itu hilang atau kalau boleh bilang dihilangkan. Dalam penelusuran kami misalnya, kayak ada masa kristenisasi masuk, kolonialisme masuk, sampai orde baru masuk. Ada stigma buruk, misal dari perspektif agama seperti menyebut praktik-praktiknya tidak bertuhan. Kepercayaan lokal itu kemudian dianggap sesat, sehingga harus diluruskan sesuai dengan agama Kristen.

G: Pertanyaan nakalku adalah kalau tradisi-tradisi itu masih ada, Lakoat gak bakal ada?

D: Memang. Ya gak butuh! Karena semua ada di rumah. Bisa jadi suatu saat memang Lakoat juga akan membaur, tidak ada lagi institusi atau komunitas [pengarsipan], karena semua sudah melakukan itu.

S: Sebelum sampai di fase itu, lalu bagaimana kalian merawat api atau menjaga semangat itu?

G: (Tersenyum) Mungkin kalau dibalik, mungkin aku gak tau caranya tidak merawat (tertawa).

Artinya kalau saya, ketertarikan terhadap apa yang saya lakukan itu, ya itu belajar gak pernah berhenti. Tapi kalau aku belajar selesai di aku saja, aku hanya akan menjadi perpustakaan yang tidak dikunjungi, perpustakaan yang ditinggal. Lebih baik ya buku-buku bacaan itu dibuka dan dibaca, dalam konteks lain ya mungkin belajar bersama, workshop bareng-bareng.

D: Kalau dilihat dari sisi lain juga, bagaimana misalnya temen-temen di Jogja; Mas Geger dan Lifepatch, soal bagaimana keterbukaan teman-teman itu juga menurutku pada akhirnya bisa membuat kita sustained. Misal aku melihat rumah ini [Lifepatch], siapa saja bisa datang, bisa masuk, ngobrol, bertukar apa. Itu juga yang kami praktikkan di Lakoat misalnya, kami sangat terbuka dengan siapapun yang datang. Mampir-tinggal, ataupun juga bikin sesuatu bersama. Jadi dengan keterbukaan itu juga membuat kita tetep punya energi, semangat, visi, tetep juga merasa kita tidak sendiri, ada solidaritas di situ. Aku pikir memang harus terbuka.

S: Apa yang membekas ketika Dicky Senda merasakan hidup di Jogja dan begitu juga sebaliknya bagi Agung Geger ketika belajar di Kupang?

D: Dulu waktu saya datang, kayak diterima dengan baik, terus [Jogja] tempat yang menyenangkan untuk tinggal. Meskipun saya tidak banyak bergaul, tapi sering kemana-mana, ini kayak tempat yang aman buat aku. Tapi sekarang cara pandangnya sudah agak berbeda lagi, kayak melihat Jogja ini kayak was-was juga, kok seperti tidak aman ya? Mau parkir motor saja atau mau jalan saja, ah takut ah. Jogja kok kayak asing ya?

G: Pengalaman pertama datang ke timur itu, aku terbawa beban Jawa-sentris. Aku tidak ingin ada pengkotak-kotakan seperti itu, tapi kenyataanya memang ada. Dan aku tidak ingin itu menjadi sebuah beban, baik pihak yang aku hadapi atau pihak yang menghadapi aku. Konteks di Jawa mungkin, terlalu lama dijajah, gonta-ganti penjajah asing. Belum lagi kerajaan yang mengakar juga, sehingga ada yang bermental priyayi, ada mental rakyat. Itu yang aku lihat sebagai beban umum masyarakat Indonesia. Akhirnya kita kayak nggak punya rasa bangga dengan kenusantaraan kita. Di luar itu, dari dulu itu karena aku pingin pergi ke Indonesia timur, jadi bagiku yang aku lihat itu keramahan. Aku suka dialek-dialek Indonesia timur. Makanan yang berbeda, jelas, yang biasa di sini makan nasi, di sana ada jagung, kacang.

G: Eh ini ada satu pertanyaan yang sering ditanyakan ke Lifepatch, pasti juga sering ditanyakan ke Lakoat. Bagaimana Lifepatch bisa sustained?

Sebenernya mereka mau tanya, gimana sih lu dapet duit tapi dengan cara sustained? Kalau kita [Lifepatch] kan memang biasa gak punya duit, jadi tetep aja berjalan. Jadi tidak bisa kita unsustain (tertawa).

Aku melihat, ada seolah-olah istilah-istilah sekarang digiring untuk melihat seberapa kamu punya uang. Seberapa kamu bisa berproduksi. Bagaimana kamu memenuhi kehidupan ekonomi, sehingga kamu tetep bisa hidup beranak-pinak. Sementara komunal dari dulu itu gak pernah ngomongin lu punya duit atau gak?

D: Iya iya! Mau bikin apa, ya bikin aja bersama.

[Sekarang] Standarnya sudah materi sekali kan. Dan kita dipaksa juga untuk mengikuti standar mereka. Ya gak lah! Lakoat biar gak ada uang juga tetep bikin kegiatan. Tapi itu kayak gak masuk akal buat mereka dan gak bisa diterima, pasti ada uang ini! Sustained sudah kayak kapitalis juga ya akhirnya, [ada] standar-standar ekonomi.

G: Kalau misalnya kak Dicky nanam sorgum sendiri, gak punya pegawai karena dia punya lahan sendiri kecil bisa cukup diolah sendiri, terus hasil panennya dimakan sendiri, gak dijual. Dia dibilang gak sustained mungkin! Karena gak dijual, karena gak ada nilai ekonominya.

D: Aku kadang sebel juga, seolah-olah kita gak bisa ngapa-ngapain kalau gak ada uang. Sehingga apa yang kami kerjakan secara mandiri pun dituduh ada uangnya.

G: Dan yang tanya itu orang Indonesia atau luar negeri?

D: (Tersenyum) Orang Indonesia.


Editor: Andreas Yuda Pramono
Desain Sampul: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Ketakutan; Kumpulan Puisi Made Putra Arya

Next Article

Oseania di antara Tegangan Masyarakat Kontemporer Dunia

Related Posts