Catatan Pertunjukan ‘Sekilas dalam Kurungan’: Dari Riuh Tawa Perayaan ke Senyap Luka Lilitan

Di sepanjang adegan “Sekilas dalam Kurungan”, sambil menikmati candaan dan gurauan, sepasang matamu tercuri ke keranjang-keranjangan itu sendiri: sebuah kurungan tetapi beroda, penjara tetapi bisa dibawa ke mana saja.

Di area panggung, ada dua keranjang besar seperti tempat tidur bayi; di dalamnya, ada dua aktor tertidur-terdiam, Chendy dan Febe. Di panggung atas, ada seorang aktor-pemusik, Yobi, yang tengah duduk menyanding gitar. Setelah seremonial sederhana, pembukaan kembali acara, pertunjukan dibuka dan berjalan…

Adegan dibuka dengan petikan gitar yang dimainkan Yobi; melodi “Ambilkan Bulan, Bu” mengalun lembut, membangun kelirisan tersendiri. Febe terbangun, memandang sekeliling; mencari orangtua-nya. Suatu monolog awal pun terlontar; dan lekas saja menumbuhkan kesadaran bahwa dinding keempat tak ada, bahwa batasan antara aktor dan penonton tak genap tegas. Kurungan, yang juga keranjang itu, menampung berbagai hal, benda-benda dan properti.

Febe pun mencoba serangkaian hal, seperti melempar tali dan menarik, agar dapat mendekat ke keranjang-keranjangan dari aktor lelaki, dari Chendy. Chendy terbangun, dan serangkaian adegan komikal berjalan dan bergulir. Penonton tertawa bersama, bahkan turut memberi respons-tanggap langsung segera. Lelucon dan sentilan, bahkan sejenis kritik atas pementasan dan penyelenggaraan itu sendiri, terasa natural dan tidaklah dipaksa-paksakan.

Di sepanjang adegan-adegan itu, sambil menikmati candaan dan gurauan, sepasang matamu tercuri ke keranjang-keranjangan itu sendiri: sebuah kurungan tetapi beroda, penjara tetapi bisa dibawa ke mana saja…

Febe mengenakan pakaian ganti, pakaian pesta, sambil bermonolong tentang cita dan asa pada indahnya pernikahan, memiliki anak, dan serangkaian mimpi-mimpi masa depan kala dewasa. Chendy pun berganti pakaian kemeja, berganti pakaian yang lebih rapi. Semua itu dilakukan mereka di kurungan-keranjang masing-masing.

Saat kaki aktor bisa keluar dari semacam lubang keranjang-keranjangan, kau seperti melihat-dapati pasung. Suatu gema horor tersendiri muncul di kepalamu. Adegan pun pecah; sebuah pernikahan imajiner terjalin! Musik dangdut bergema… Febe menyanyi “Simalakama”; dan sekalian kawan Ma’rifatul, juga dirinya sendiri, turun; dan ikut berpesta. Dramaturgi kawinan dan koreografi pesta lekas tecipta; bingkisan dan jabat tangan lekas terjalin, dan sekalian orang ikut bernyanyi-bergoyang.

Aktor-aktor pun turut mengajak penonton untuk ikut menari dan bernyanyi, ikut berpesta: perkawinan riang dalam imajiner Febe. Sekalian di dalam ruang itu seolah tenggelam dalam kegembiraan—yang amat mungkin semacam representasi isi kepala dari Febe. Chendy berteriak; dan menghentikan imaji pernikahan itu! Dan Febe kembali dalam kurungan, kembali dalam sejenis realitasnya, setelah sebelumnya bernyanyi dan menari lepas. 

Perunjukan “Sekilas dalam Kurungan” (dok. Inkubasi Teater Yogyakarta)

Kaki sepasang aktor itu masih berpijak pada sejenis kurungan; tapi mereka duduk di panggung atas—seperti duduk di kursi atau bangku. Dialog berlangsung, bergerak antara cair dan tegang. Chendy pun kembali membuat jarak: menjauhkan keranjang. Dalam suatu hening, layar di atas panggung memunculkan video dan pengeras suara memberikan rangkaian suara tentang tuntutan, larangan, dan perintah bagi seorang perempuan. Atmosfir horor pun menggema: dan sepasang mata juga telingamu merasa ngeri: dan mendapati ada beberapa penonton keluar.

Adegan itu terasa ngeri; dan begitu lama. “Apakah sebab rasa ngeri waktu jadi terasa terhenti?” Serangkaian suara yang berisi rangkaian kontradiksi, atas perempuan, kian bergema, bergema. Yobi, yang sebelumnya pergi ketika ndangdutan itu rampung, masuk dan hadir sebagai sejenis dukun-pelantun: memecah fokus penonton dengan suara, memecah fokus penonton yang mana sebelumnya menatap depan menjadi menatap samping.

Mata penonton melirik sang pelantun, melirik Yobi. Chendy pun kembali tertidur, tenggelam dalam wilayah kurungannya sendiri; dan membiarkan Febe berdiri dengan ketakutan yang menyelimut: bahkan, meski video di layar telah lenyap, telah rampung. Yobi pun memainkan sarung di tangan, sarung kuning-jingga yang warnanya terang dan jadi menikam.

Ia melantun sesuatu yang terdengar seperti syair mantra; bahasa yang beberapa karib, beberapa asing, bahasa yang tumpang tindih tapi juga begitu lepas membentang. Sepasang telingamu tak genap memahami, tapi amat jelas merasai: telah terjebak ngeri. Yobi menutup kurungan-keranjang Chendy dengan sarung; dan lantas terus melantun, memberi pemurnian pada aktor perempuan, pada Febe. Kepalamu riuh: seperti rangkaian soal datang menghinggapi. Botol gelembung sabun yang di adegan awal, yang menjelma mainan riang bagi Febe, pada adegan itu, telah menjelma benda pengupacaraan: benda dalam ritus yang berkesebalikan dengan riang.

Setelah itu, setelah Yobi pergi, dan mengubah sesuatu dalam pertunjukan, Chendy pun bangkit: memakai sarung berwarna kuning-jingga terang itu, lantas keluar kurungan, menata komposisi, dan bermonolog kembali. Chendy mengambil gulungan kain dari keranjangnya; gulungan kain putih. Bersama mulut yang terus bermonolog, mengeluarkan tanya retorik kepada penonton, ia melilit kain itu pada Febe, perlahan, tetapi erat. Sesekali diberi jarak, tetapi dieratkan kembali. Kain itu berada pada suatu koreografi melilit. Chendy sempat melilitkan kain itu pada tubuhnya sendiri, tapi dilepas lagi.

Kembang-kembangan, yang biasa ada di vas ruang tamu, disemat pula di sela kain. Adegan itu didefinisikan melilit dan bermonolog-retorik. Sambil terus menonton dan merasa ngeri, kau bertanya-tanya sendiri pada dirimu: Kenapa para penonton, termasuk diri ini, tidak ada yang berani menyahut dan memberi jawaban—pada ucapan-ucapan Chendy? Serangkaian pertanyaan dari Chendy datang menghujan dan menghunjam;  tapi penonton diam: Di adegan itu, kau geram dan jadi bertanya-tanya sendiri lagi: Kenapa ada dinding pembatas lagi, antara aktor dan penonton?

Perunjukan “Sekilas dalam Kurungan” (dok. Inkubasi Teater Yogyakarta)

Kau sesekali melirik, mencoba menerka reaksi penonton lain dalam gelap, dan hasilnya samar. Sambil melihat depan, kau hanya bisa menimbang sendiri, di adegan-adegan awal, para penonton bisa memberi komentar, tanggapan, dan suara langsung, tapi kenapa pada adegan di mana suara itu benar-benar dibutuhkan malah tidak muncul dari penonton? Magi apa yang telah datang dan menyelimuti?

Adegan diakhiri oleh Chendy dengan memplester mulut Febe; dan memberikan pose seperti foto mesra sepasang kekasih yang diikat narasi riang dan mesra; Febe mual, mungkin juga muak, tetapi tidak bisa apa-apa. Dari mulut Chendy terlontar lagu “Duhai senangnya pengantin baru…” yang lirih dan pelan; tetapi malah memberi kesan sebaliknya dari bobot tema lagu—terlebih setelah rangkaian adegan melilit kain itu. Lampu pun padam . . .

***

Setelah pertunjukan rampung, ada diskusi kecil-kecilan yang difasilitasi Festival Minikita pula; dan kau bersama Lintang diminta guna jadi penanggap mula. Dengan agak gemetar, perpaduan antara berada di atas panggung dan menghadapi banyak pasang mata yang menonton, dan efek pertunjukan Sekilas dalam Kurungan garapan Ma’rifatul Latifah, kau menyampaikan apa yang dirasa dan dialami; juga apa-apa yang terpikir di kepala ketika dan selepas menyaksi.

Kau mulai dari yang tampak, dan seterusnya, seterusnya. Kau sampaikan semua; termasuk rasa penasaranmu tentang kenapa penonton, bahkan yang sebelumnya paling berisik menimpali pun, terdiam—padahal suara itu dibutuhkan peran dan situasi yang dialami (aktor) perempuan itu. Kemudian, kau juga menyampaikan tentang kata dan kain, teks dan tekstil.

Bagimu, mungkin, tersebab dibesarkan studi bahasa, kau melihat dua hal itu berkait, juga khas manusia. Teks (bahasa) dan tekstil, bagimu, dicipta oleh perempuan. Karenanya, kau cukup mengamini Bahasa Ibu sebagai Bahasa Ibu; dan bagaimana kain dibuat dengan tangan-tangan perempuan. Akan tetapi, dua hal itu, entah bagaimana, yang paling membelenggu; ironi, dan tragis tersendiri. Karenanya, adegan ketika melilit kain dan menutup mulut itu, bagimu, telah begitu bergema.

Kemudian, Lintang pun menyampaikan tanggapan; dan kau terkagum pada bagaimana caranya menyimak dan memandang. Amatlah kau paham, siapa yang menyaksikan akanlah lain pula berefek; meski punya sejenis sama dalam kadar tertentu. Sambil menyimak, kau mengangguk-anggukkan kepala: mengamini apa pula yang dikata—sembari tersadar pada apa-apa saja yang luput genap kau sadari.

Ma’rifatul, sebagai sutradara, menyambung dan menyampaikan pula proses kreatif, juga membocorkan sejenis biografi. Febe dan Chendy pun demikian, juga Yobi; bahkan tiap yang turut serta di dalam pun memberi kisahan. Penonton-penonton memberi tanggapan, juga pertanyaan. Diskusi berjalan mengasyikkan, sambil efek pertunjukan masihlah genap bisa dirasa. Robby, yang memandu, menggarisbawahi bagaimana proses penyutradaraan Ma’rifatul yang telah menghubungkan apa-apa yang dimiliki timnya, baik sejarah, biografi, maupun narasi berkait kultur pingitan di daerah masing-masing. Sebuah pertunjukan antarkota-antarprovinsi, ucap Robby berulang.

Sekali lagi, kau begitu terpukau pada efek-efek yang berhasil dimunculkan; dan serentetan kenaturalan yang mencipta karib pada penontonnya. Kau, selepas pertunjukan itu, selepas riuh ucapan selamat, dalam perjalanan pulang, menyimpan satu tanya buat dirimu sendiri: Apakah aku juga mengurung, terkurung, dan menjadi kurungan?


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Inkubasi Teater Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Morfem 'Seketika Sekarang Juga': Kejutan dalam Keseketikaan

Next Article

Magis Sekaligus Tragis, Penampilan Rabu di Kampung Halaman Sendiri

Related Posts