Sore itu (17/10), Rabu menyihir dengan nuansa dark dibalut bebauan khas dupa yang menyerbak ke hidung. Situs Kerta Pleret menjadi saksi. Betapa magisnya penampilan Rabu pada pagelaran akbar Festival Kebudayaan Yogyakarta 2024. Namun jua sekaligus tragis melihat dua kejadian yang menimpa.
Laman Instagram @rabumusik terlihat mengunggah foto seperti peninggalan kerajaan Mataram Islam dibubuhi informasi gigs yang akan dilaksanakan. Untuk pertama kalinya main di rumah sendiri. Begitulah cuilan tulisan pada caption postingan tersebut.
Yang mana hal tersebut membuat saya benar-benar penasaran dengan pertunjukan mereka. Berangkat dari rasa penasaran, saya memutuskan mengajak pacar untuk hadir menyaksikan Rabu di Situs Kerta, Pleret. Ini adalah pertama kalinya aku datang ke situs ini.
Saya dibuat takjub dengan pembangunan pada Situs Kerta. Nampak betul seperti cagar budaya. Serta dibuatkan jalur di atas peninggalan kerajaan Mataram Islam ini. Membuatku leluasa menelanjangi peninggalan para pendahulu dari atas. Semerbak bau khas dupa menyeruak ke hidungku. Benar-benar wangi. Tapi aku suka. Bukan karena alasan klenik. Sebab baunya wangi. Itu saja.
Penampilan Rabu harus mundur satu jam. Dilihat pada rundown seharusnya Rabu tampil pada jam 15.05 hingga pukul 17.00. Namun kemoloran tersebut nampaknya berdampak besar. Baik bagi FKY, Rabu, maupun para penonton. Usai hadirnya regu pramuka dalam acara Jelajah Budaya Paramuka #6, akhirnya saya dapat melihat langsung aksi Wednes Mandra dan kawan-kawan untuk yang kedua kalinya, setelah festival Cherrypop 2024.
Doa Renjana menjadi pembuka aksi pertunjukan Rabu. Suara Wednes Mandra yang berat, sound gitar yang mengawang, serta lirik yang yang dark membuat momen surealis bagi saya tatkala melengok aksi panggung mereka. Terlebih dengan background peninggalan bersejarah itu, saya jua hanya termenung mendengarkan lantunan musik yang dimainkan.
Rabu berhasil membawa nuansa dark secara perlahan menyelimuti diri. Pun tatkala Doa Renjana dimainkan, spektrum aura magis turut menyelimuti Situs Kerta dengan para leluhur yang mendiami tempat tersebut. Begitulah kiranya, kemagisan penampilan Rabu menyihirku untuk khusyuk mengindahkan lantunan Doa Renjana. Oh Tuhan apakah aku memang barisan yang sia-sia? Gumamku dalam hati.
Satu hal yang membuat pertunjukan ini istimewa adalah momen kali pertama Rabu tampil di rumah sendiri yaitu Pleret. Wednes Mandra menyebutkan basecamp Rabu tidak jauh dari Situs Kerta Pleret usai Doa Renjana selesai dibawakan. Setelah itu, Metamorfosa gentian menggaung. Kali ini suasana sedikit berubah dengan musik yang lebih upbeat dengan backing track. Saya bisa sedikit menganggukkan kepala. Berbeda ketika Doa Renjana yang seakan menyekapku untuk diam dan khusyuk menikmati.
Tembang yang bercerita upaya perubahaan seseorang untuk menuju jalan yang lebih baik. Meski itu sulit. Sebab ia berkubang bersama hancurnya kehidupan. Pengharapan untuk berubah menjadi kupu-kupu. Dengan kepak sayapnya menuju nirwana.
Berganti aksi monolog bertajuk Aku Puan Maharani Mataram yang diiringi oleh Rabu. Penampilan yang apik. Akting totalitas dengan properti darah di kaki. Mampu membuat perasaan kami selaku penonton naik turun. Sayang saya tidak terlalu mendengar ucapan sang pemeran. Sebab terlampau jarak yang jauh dengan mimbar.
Namun, dilihat dari reaksi penonton lain, saya merasa bahwa kombinasi perasaan mencekam yang dihasilkan Rabu dengan totalitas pemeran utama ini berhasil. Saya melihat ada penonton yang sampai ketakutan melihat darah pada kaki sang pemeran hingga mengharuskannya memeluk teman sampingnya untuk menutupi wajah.
Hal tersebut tidak akan terjadi apabila tanpa kombinasi iringan musik yang memberikan perasaan tercekam dan akting yang patut diacungi jempol. Baik sang pemeran perempuan maupun Rabu menjadi satu kesatuan untuk memukau penonton.
Selesai penampilan monolog, pertunjukan berlanjut dengan pembacaan nukilan novel Gadis-Gadis Amangkurat yang kembali diiringi Rabu. Serta dilanjutkan dengan penampilan teater bertajuk Mahesa Jenar di Pliridan yang sarat akan pesan ketamakan dan keserakahan manusia. Ditutup dengan pembacaan esai Tahta untuk Rakyat. Salah satunya menceritakan kisah Sri Sultan Hamengku Buwana IX yang dermawan. Namun, pembacaan tersebut nampaknya harus dipotong sebab azan magrib yang telah berkumandang.
Pagelaran kembali bergulir, nyala cahaya oranye matahari turut bersemai bersama Rabu sebagai pemuncak acara. Terlihat regu pramuka yang semula duduk di tikar kini sudah beranjak berdiri di depan Rabu. Antusiasme mulai terlihat pada regu pramuka yang mungkin sebelumnya aku menilai mereka bingung dengan musik Rabu.
Nyalak suara Wednes Mandra teriakkan aku kepengen sugih dilontarkan, tetiba listrik berubah padam mengharuskan pertunjukan berhenti sejenak. Insiden satu terjadi, kami pun bersabar menanti tembang itu kembali dinyanyikan. Notasi nyanyian yang catchy membuat saya penasaran bagaimana lagu tersebut seutuhnya.
Suara genset pun akhirnya terdengar. Gelaran dapat kembali bergulir. Antusiasme tak terbendung ingin mendengar tembang itu lagi. Kembali bait lirik digaungkan Wednes Mandra, tetapi kini regu pramuka merespons dengan menyanyikannya jua. Sahut-sahutan pun terdengar, menyenangkan rasanya. Setelah itu bagian verse dimainkan. Saya sedikit ingat liriknya yang bercerita tentang seseorang yang ingin pergi ke dukun biar kaya, ke daerah Imogiri, naik Avanza, sampai sana ternyata harus isi administrasi di aplikasi. Begitulah kiranya.
Momen tragis pun terjadi lagi, tetiba suara teriakan dari arah perkampungan bergema menyuruh pertunjukan berhenti. Tepat berhadapan mimbar Rabu tampil. Untuk menghormati masjid yang tengah melaksanakan ibadah salat magrib yang berlokasi tak jauh dari Situs Kerta.
Terlepas dari insiden tersebut, tembang baru Rabu tersebut mungkin bakal menjadi salah satu rilisan terbaik di Jogja ke depan. Single bertajuk Dukun Sekti belum dirilis. Dengan lirik berbahasa Jawa, humoris namun kritis.
Dari penggalan lirik yang telah dimainkan saya mencoba menafsirkan maksud Rabu yang mengkritisi manusia yang ingin kaya dengan cara instan. Nyatanya ketika mencoba menempuh cara instan malahan tetep ribet juga. Notasi yang catchy juga menyalak. Saya yakin ini akan menjadi big things di skena musik Jogja ke depannya. Layak ditunggu bagaimana single tersebut ketika dirilis.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: @alfianwidi