Momen Pestapora meskipun sudah berlangsung sebulan lalu masih terekam dalam ingatan saya. Terlebih pertunjukan di Panggung Yes No Klub Stage. Di balik gempitanya festival yang terus-terusan berlangsung akhir-akhir ini, Yes No Klub mampu membuat beda yang mengena. Pada perhelatan tersebut sangat terasa sekali bagaimana kehangatan penampil dan penonton juga megahnya sound dan tata panggungnya.
Pelakunya adalah Yes No Klub, paguyuban musik eksperimental dari Yogyakarta yang lahir dari Netlabel pada 2007 silam. Yes No Wave mempunyai satu panggung sendiri pada hajatan Pestapora. Selama 3 hari panggung Yes No Klub selalu gelap, tapi berbinar dengan suara sound yang vibrasinya membuat jantung berdentum.
Panggung Yes No Klub pada gelaran Pestapora memang rasanya berbeda sekali dengan 13 panggung yang disediakan pada Festival tahunan itu. Dari sisi penampil pun Yes No Klub menghadirkan line up yang tidak biasa hadir pada sebuah festival. Selain dari Indonesia, paguyuban yang mempunyai logo “tidak sama dengan” ini mengajak penampil-penampil dari Asia Tenggara, yaitu dari Thailand, Vietnam, dan Filipina. Belum lagi dari sisi panggung, meskipun terbilang cukup kecil dibandingkan panggung-panggung lainnya, tetapi menghadirkan tata cahaya laser LED yang sangat memicingkan mata.
Line up yang dihadirkan pada festival musik hari Jumat 22 September antara lain Isolasido (Yogyakarta), Ensemble Tikoro x Rama (Bandung), Individual Distortion (Jakarta Selatan), Presiden Tidore (Tidore), Misanthropy Club (Padang Panjang), TamaT (Surabaya), Nuh Peace (Bangkok), dan Terbujur Kaku (Surabaya).
Lalu pada hari Sabtu, 23 September menampilkan Nursalim Yadi Anugerah (Pontianak), Indra Menus x Joe Million (Yogjakarta x Papua), Zoo (Yogyakarta), Kadapat (Bali), Xin Lie (Bandung), Libya Montes, dan Asep Nayak x Nikolas Nayak.
Sebagai pamungkas di hari ketiga, Yes No Klub menghadirkan Wahono x Natasha Tontey (Minahasa), Mother Bank (Majalengka), Monica Hapsari (Tangerang), Puppy Riot (Vietnam), Raissa (Bali), Teya Logos (Filipina), dan Putri Karisma (Lampung).
Selama tiga hari, dari sore hingga petang, panggung ketoprak dengan banyak ornamen onderdil motor ini terus membuat siapa yang hadir bergoyang.
Genre-genre dari para line up pun di antaranya adalah elektronik, breakcore, harsh noise, math rock, drum n bass, hingga disko Papua.
Perhelatan Yes No Klub Stage di panggung Pestapora kemarin adalah yang kali kedua. Pada Pestapora 2022, Yes No Klub juga menghadirkan pada rooster-rooster ajaibnya, yaitu Gabber Modus Operandi, Julian Abraham ‘Togar’, Rajakirik, Rani Jambak, Setabuhan, Kuntari, Herman Barus, hingga Barakatak. Perhelatan tahun lalu juga menghadirkan visual potongan-potongan puisi dari Farid Stevy, Gunawan Maryanto, dan Handoyo Purwowijoyo.
Pendiri Yes No Klub Wok The Rock mengungkapkan, ide awalnya berasal dari bos Pestapora yaitu Kiki Aulia Ucup yang sebenarnya ingin mengundang Punkasila. Setelah itu obrolan berlanjut dengan Ucup yang memberi satu panggung untuk 3 hari perhelatan Pestapora.
“Dari Yes No Klub-nya, kita dikasih kebebasan gimana artistiknya, pokoknya bebas semau kamu. Aku yang ngerancang, isinya kayak apa, desainnya kayak apa, aku diskusiin biasanya sama Yudis, soalnya dia tahu teknis panggung kan. Tapi aku yang merancang. Dan aku selalu ajakin artis lain. Sampai ngurasi artis ngurus sampai pembagian rundown itu aku semua,” kata Wok saat mengobrol di sisi panggung pada Jumat 22 September 2023.
Untuk pembagian penampil Wok juga mengungkapkan, pihaknya telah membagi wilayah dari para penampil ini. Pada tahun ini, ia sebetulnya ingin berfokus pada daerah-daerah di luar Jawa. Namun, ia tidak bisa memungkiri talent dari Jakarta, Yogjakarta, dan Bandung juga tetap harus dihadirkan. Perihal penampil lain dari Asia Tenggara, Wok berharap akan ada relasi yang terbentuk antar pegiat musik eksperimental.
“Selalu pakai tajuk Indonesia Music Festival padahal Wong Jowo tok. Jawa juga cuma 3 kota itu saja. Itu kan sentralisasi yang direpetisi sama anak indie, justru harusnya kan mereka eksplor daripada mainstreaming,” ucapnya.
Teruntuk masalah panggung, Wok, mengungkapkan Yes No Klub telah menyiapkan hal yang spesial. Hidup di Yogyakarta yang kuat dengan tradisi eksperimental, Yes No Klub menghadirkan panggung yang bisa dibilang berbeda dari panggung-panggung lainnya. Dalam hal ini, Yes No Klub menggandeng kolektif multimedia asal Bandung, Convert Textured, untuk membuat rancang bangun cahaya dan gambar bergerak yang auditif dan imersif. Untuk visual grafis, ia menggandeng pula seniman futurism dunia ketiga yaitu Rimbawan Gerilya.
“Kayak kemarin, sekarang. Lagipula di sini spasial, ini kan dirancang selain kebutuhan artistik ya kebutuhan teknis. Kemarin kan fokusnya ke permainan lighting, sekarang kan ke spasial sistemnya, yang belum pernah dipakai festival bahkan gigs juga belum pernah pakai spasial multikanal,” sambungnya.
Ketika menikmati panggung Yes No Klab, orang-orang nyentrik hadir di sana. Penonton dengan pakaian warna-warni hingga klombor-klombor ada. Sajian panggung yang didesain seperti menghadiri rave party gorong-gorong memang membuat orang-orang nerd, freak, dan anti mainstream berkumpul di sana. Semua bergoyang menikmati sajian sound, visual yang terus bergerak, dan lampu laser yang terus berputar.
Pada pertunjukan solois breakcore dari Surabaya, TamaT, misalnya. Penonton yang berada di depan panggung tak kuasa menahan joget dengan dentuman drum dan bass yang nyerempet-nyerempet dangdut dari sang DJ. Selama 45 menit nonstop, penonton dihajar musik yang tidak berhenti. Penonton yang telah mendapat asupan alkohol dari tenant-tenant yang disediakan pun meliar. Mereka menjadi terus menggoyangkan badannya tanpa henti karena tak tahan melawan substansi.
Pada penutup hari ke-2, Asep Nayak & Nikolas Nayak yang menjadi penghujung pertunjukan dengan menghadirkan gerombolan orang Papua untuk membuat sebuah flasmob kolosal. Dengan menggunakan ikat kepala khas Papua, puluhan orang menjadi pemandu di depan panggung. Tak pelak, semua hanyut dalam suasana.
Panggung Yes No Klub, barangkali merupakan sesuatu yang paling ditunggu dalam gelaran Pestapora. Panggung tersebut menjadi wadah musisi eksperimental dan juga pecinta musik anti mainstream untuk menunjukkan eksistensinya. Yes No Klub seperti menjadi planet lain yang berada dalam festival tersebut.
“Emang pas awal Pestapora tuh pengen ngajak satu entitas kontemporer yang emang sekiranya bisa gue wadahin atau fasilitasin di tengah panggung nasional. Nama pertama yang kepikiran emang ya si Yes No Klub, kebetulan berteman sama Wowok (Wok The Rock) juga makanya langsung kontak dia. Ya langsung ngobrol soal detail, kolaborasi, dan apa yang mau dilakukan. Berjalanlah itu dua tahun, dan kolaborasinya sampe sekarang lancar tanpa kendala,” kata Kiki Aulia Ucup via sambungan telepon.
Ucup mengungkapkan Yes No Klub telah menjadi identitas Pestapora itu sendiri. Yes No Klub menjadi ketertarikan sendiri bagi pengunjung Pestapora. Ucup mengungkapkan, jika melihat pengalaman yang dihadirkan Yes No Klub menjadi sesuatu yang segar dan menarik untuk dinikmati dan rasakan. Menurut dia, pengalaman orang terhadap panggung Yes No Klub jadi lebih bagus tahun ini.
“Sebisa mungkin setiap tahun gue mau memfasilitasi ini. Bahkan di November kalau bisa gue udah ngomong kita bakal ngelakuin apa di tahun 2024. Jadi Pestapora dan Yes No Klub akan selamanya,” pungkas Ucup.
Panggung Yes No Klub bisa menjadi penyegaran di antara penonton yang terlalu jenuh melihat penampil di Festival yang terkesan itu-itu saja. Dapat menonton penampil-penampil yang panggungnya dalam setahun bisa dihitung jari -seperti Zoo, Kadapat, Mother Bank, Misanthropy Club, Libya Montes- tentu sangat menarik.
Terlebih diketahui, penampil-penampil itu ternyata lebih sering bermain di gelaran music eksperimental internasional daripada di Indonesia sendiri. Panggung Yes No Klub di Pestapora 2024 nanti pun rasanya amat sangat dinantikan.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: Swandi Ranadila