Jiwa Sesat

Suatu hari, saat dilanda tidur, aku melihat aku yang sedang tersesat.

Di sana aku melihat berbagai macam makhluk hidup yang sebelumnya aku belum pernah melihatnya di duniaku. Mereka begitu beragam, mereka juga bisa berbicara, dan mereka juga memiliki jenis kelamin. Mereka begitu banyak, mereka ada yang bergerombol, menyendiri, bahkan ada yang berpasangan. Sungguh dunia yang menarik.

Aku kemudian bangun lalu mulai mengucek mata. Kemudian aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Ini di mana ya? Apa yang sudah terjadi padaku? Apa iya, aku sudah mati? Masak iya aku sudah mati? Emang mati seperti ini?

Sudahlah, itu tidak penting, lebih baik aku pergi berkeliling di sekitar sini, siapa tau aku menemukan sesuatu yang menarik, dan bisa saja aku menemukan teman baru di sini.

Sebelum aku pergi untuk berjalan-jalan, untuk pemanasan tidak lupa aku meregangkan otot-ototku, aku juga berjalan di tempat agar kaki-kakiku siap dan kuat saat berjalan. 

Akhirnya aku siap untuk berjalan-jalan, aku begitu bahagia, tapi juga merasakan heran. Entahlah, aku berpikir dunia ini begitu misterius. Bahkan terlalu luas untuk dijelajahi, terlalu sulit untuk dimengerti, aku bahkan tidak tau dan bahkan tidak dapat aku pahami secara utuh kehidupan itu sendiri.

Aku kemudian berjalan-jalan untuk melihat-lihat di sekeliling dunia ini, sesekali aku juga menyapa entah itu orang, bocah, perempuan, laki-laki, iblis, atau malaikat, aku benar-benar tidak tahu mereka itu apa. 

Aku menyapa juga sesekali melambaikan tangan kepada mereka, ditambah aku juga tidak lupa untuk memberi senyum pada mereka. Aku akhirnya berhenti sebentar, lalu memberanikan diri untuk mendekati salah satu dari mereka. Kali ini aku mendekati kira-kira seorang perempuan. Perempuan ini memiliki rambut yang panjangnya sepinggang, dan warnanya hitam berkilau. Dia juga memiliki sayap di punggungnya, tampak seperti malaikat yang ada di film-film yang pernah aku tonton di duniaku.

Tanpa ragu, akhirnya aku mendekatinya, dan aku ucapakan “hallo” berserta aku menepuk punggungnya. Sontak aku kaget ketika dia menoleh dan memperlihatkan wajah beserta tubuh bagian depannya. Aku masih berdiri di sana, begitu dekat dengan dia. Begitupun dengan dia, dia berdiri tepat di depanku, kira-kira hanya berjarak dua jengkal tangan orang dewasa pada umumnya.

Dia akhirnya mengucapkan kata pertama dari mulutnya,

“Hallo, namaku Dewi, ada yang bisa saya bantu?” Ucap dia sembari mengarahkan tangannya padaku untuk berkenalan.

“Oh iya, namaku Jiwa. Aku baru saja tiba di dunia ini, dan aku sekarang sedang berjalan-jalan untuk mencari teman,”jawabku dengan menjabat tangannya sebagai tanda kami sudah berkenalan.

“Benarkah? Kalau begitu sekarang kita berteman, karena kita sudah berkenalan dan saling menjabat tangan. Benar kan?”

Setelah kami selesai berjabat tangan, akhirnya aku menjawab pertanyaan Dewi tadi.

“Tentu, kita sekarang sudah menjadi teman.”

“Oh iya, boleh kutau, sebenarnya ini tempat apa ya?” Tanyaku dengan muka yang penuh kebingungan.

“Ini adalah alam baka. Memangnya kamu baru pertama kali ke sini?” Tanya Dewi padaku sembari dia menggaruk tanduk sebelah kiri yang ada di kepalanya.

Aku mengiyakan dan memberikan senyuman, juga sesekali menggaruk kepalaku, 

Dalam pikiranku, aku juga bertanya-tanya. Apa benar ini alam baka?

Sembari aku mencari topik perbincangan yang lain, aku juga sempat berpikir untuk meminta maaf terlebih dahulu pada Dewi, karena aku sempat melihat buah dadanya.

Dewi aku akui memiliki wajah yang cantik, di samping wajahnya yang cantik, Dewi juga memiliki tatapan mata yang tajam, bola matanya seakan memiliki sihir yang tidak bisa aku tolak. Mataku benar-benar harus fokus pada matanya. Karena Dewi ternyata tidak memakai pakaian atas, dia benar-benar telanjang dada, dan itu membuatku begitu kaget tidak karuan. Itu membuatku susah menghindar dan harus memilih fokus dengan tatapan matanya. 

Selain telanjang dada, Dewi juga memiliki dua tanduk di kepalanya, tanduknya mirip dengan tanduk domba garut. Ini mengingatkanku dengan iblis yang pernah aku tonton di film-film, aku juga menjadi bertanya-tanya mengenai Dewi. Apakah Dewi ini iblis? Apakah Dewi ini malaikat? Tapi kalau malaikat dia memiliki tanduk yang menyerupai ibllis, giginya juga ada taring. Tapi jika dia iblis, dia begitu cantik, senyumnya juga manis, apalagi Dewi juga memiliki sayap, mirip dengan malaikat-malaikat yang aku saksikan di film-film. Sebenarnya ini dunia apa ya?

Aku tak henti-hentinya memikirkan itu. Aku juga semakin penasaran dengan dunia ini, terlebih aku semakin ingin kenal dengan Dewi dalam perjalanan di dunia misterius ini.

Kemudian aku masih berlanjut ngobrol dengan Dewi. Kali ini kami sambil jalan-jalan dan sambil menceritakan isi dari dunia misterius ini.

“Aku minta maaf, tadi aku sempat melihat buah dadamu,” dengan sadar aku mengucapkan maaf pada Dewi. “Aku tidak tau, kalau kamu telanjang dada, sekali lagi aku minta maaf.”

“Tidak apa-apa, ini adalah hal yang biasa di sini,” jawab Dewi dengan santai. “Oh iya, aku mau memberitahumu sesuatu.”

“Di alam baka ini memiliki pintu-pintu kehidupan, masing-masing pintu terdapat jenis kehidupannya masing-masing. Sebab aku pikir, kamu bukanlah makhluk yang berasal dari sini, dari penampilanmu saja kamu terlihat jelas bukan makhluk yang normal di sini hehehehehe,” jawab Dewi sembari cekikikan.

“Hehehe, aku juga sebenarnya heran, kenapa aku bisa di sini. Makhluk hidup di sini juga unik-unik, dan lain dari makhluk hidup di duniaku sebelumnya. Oh iya, kalau boleh aku tau.  Di mana pintu-pintu kehidupan itu berada?” Jawabku sembari melemparkan tanya.

Aku melirik kaki Dewi. Karena sedari tadi kami berjalan, kaki Dewi tidak terlihat seperti sedang berjalan. Tentu, sangat benar, sedari tadi Dewi terbang di sebelahku. 

Aku bisa memakluminya, karena Dewi memiliki sayap di punggungnya.

“Jika kamu masih lama di dunia ini, mungkin kamu akan melihat hal-hal yang menarik lainnya,” jawab Dewi dengan menunjuk sebuah tempat.

Kami rupanya telah sampai pada tempat di mana pintu-pintu kehidupan itu berada. Kemudian Dewi memberikan sebuah pertanyaan kepadaku.

“Hei Jiwa, apakah kamu menikmati kehidupanmu?”

Dewi memberikan pertanyaan ini dengan ujung telunjuk tangannya tepat menunjuk pada dahiku.

“Iya, aku begitu menikmatinya, tapi aku sekali pernah ingin mengakhirnya,” jawabku dengan tegas.

“Kenapa kamu hanya sekali ingin mengakhiri hidupmu?”

“Hidup itu seperti panggung sandiwara, tragedi yang harus dialami, tugas yang harus segera dilaksanakan, juga perjuangan yang tanpa henti. Tapi kehidupan itu sendiri, dipahami atau tidak, ia akan tetap terus berjalan sebagaimana waktu itupun terus berjalan. Jadi aku memilih untuk melanjutkan hidupku,” jawabku sambil menurunkan tangan Dewi yang berada di dahiku.

“Hari ini kamu selamat. Kau pantas untuk hidup. Sekarang pulanglah, duniamu ada di sana.”

Sontak aku gugup, dan tidak bisa mengucapkan kata-kata apapun.

Dalam pikiranku, mendengar Dewi mengucapkan kata-kata itu aku begitu ingin segera pulang ke duniaku. Mungkin ini yang dinamakan hari pengadilan, di mana akan ada hari ajal dari kematianku.

Dewi kemudian menunjukan pintu kehidupan yang semestinya aku temui. Ia juga membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk masuk ke dalam pintu kehidupan tersebut.

Aku berjalan pelan menuju pintu kehidupan tersebut, kemudian aku mengucapkan terima kasih kepada Dewi.

Aku telah masuk dalam pintu kehidupan itu, kemudian aku bangun dan tanganku langsung aku tempatkan di dada sebelah kiri, tepat di mana jantungku berada.

Jantungku masih berdetak, dan itu tandanya aku masih hidup.

Tamat.

 

Foto: Andrew Wyeth | The Daily Hatch

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Tiga Catatan Cinta; Kumpulan Puisi Antonius Wendy

Next Article

Senandung Fajar; Kumpulan Puisi Rina Stiarahayu