Selepas Reuni | Cerita Pendek Kristophorus Divinanto

Dok. @fajarimaniiii

Sore ini aku sibuk dengan reuni. Dua orang kawan SMA mengajakku bertemu sore hari ketika lebaran pertama. Awalnya aku enggan menemui sebelum ibu membentak dan ngotot agar aku bertemu dengan teman-temanku. Kasihan mereka menyempatkan diri datang menemui tapi yang ditemui justru tidak mau menyempatkan diri, demikian kata Ibu.

Akhirnya aku membuat janji untuk bertemu kedua kawanku ini, di waktu dan tempat yang berbeda. Janji pertamaku dengan Giovanni dan janji kedua dengan Kajrut. Giovanni adalah kawan sekelasku di kelas dua dan tiga ketika penjurusan, sedangkan Kajrut adalah kawan sekelasku di kelas satu sebelum penjurusan.

 

Giovanni

Giovanni datang tepat saat pelayan mengantarkan menu ke meja. Aku memang sudah datang lima menit lebih awal. Kami menyapa dan bersalaman. Dia membahas tubuhku yang semakin gemuk. Aku membahas tubuhnya yang tidak banyak berubah sejak SMA. Sebuah basa-basi langganan ketika bertemu dengan seseorang yang telah lama berpisah.

Aku menulis secangkir kopi tubruk sebagai minuman pesananku. Dia memintaku menulis kapucino sebagai pesanannya. Kami juga sepakat memesan kentang goreng untuk camilan. Setelah Giovanni memberikan kertas bertuliskan pesanan kami ke meja pesanan, ia kembali dengan menenteng asbak beling. Sekotak rokok kuletakkan di atas meja, bersamaan dengan rokoknya. Hanya saja rokokku masih keretek, sedangkan rokoknya elektronik. Setelah asap menguar dari mulut masing-masing, Giovanni membuka pembicaraan.

Banyak hal yang berubah dari kota ini, katanya. Sudah banyak sekali kedai kopi. Aku menyanggah perkataannya dengan berkata bahwa kota ini sebenarnya tidak terlalu banyak berubah. Usaha-usaha baru kebanyakan tumbuh dan layu dalam setahun. Seperti halnya kedai kopi ini yang belum seumur jagung. Giovanni mengangguk-angguk sambil menyeruput kapucino pesanannya. Pantas rasa kopinya pun masih seperti kopi kemasan katanya.

Aku menegaskan bahwa tidak banyak yang berubah dari kota ini. Salah satu perbedaan adalah penjual gorengan langganan kami ketika SMA dulu. Gadis cantik yang sering kami goda, kini sudah bersuami dan beranak empat. Giovanni tertawa, nyaris tersedak kapucino. Namun ia benar-benar tersedak sampai matanya berair, ketika aku mengatakan bahwa empat anak itu lahir dari empat laki-laki yang berbeda.

Kalau dunia pekerjaan ternyata sekeras ini, aku tidak akan menghabiskan banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal bodoh. Demikian kata Giovanni sambil mengisap dan menghembuskan rokok elektroniknya. Asap tebal dengan wangi pisang dan susu menguar sebelum hilang perlahan. Ia mulai bercerita tentang perjalannya setelah SMA, tepatnya di malam hari usai konvoi kelulusan kami tujuh tahun yang lalu. Seusai konvoi, malam harinya Giovanni dihubungi oleh orang tuanya untuk segera pulang ke Surakarta.

Hari-hari selanjutnya menjadi neraka, karena ia harus belajar untuk seleksi masuk perguruan tinggi. Setelah kuliah, nasib pun belum menunjukkan keramahannya. Banyak mata kuliah yang harus diulang dan dia lulus dua tahun lebih lama dibanding teman-teman seperjuangannya. Beberapa kali ditolak bekerja oleh perusahaan karena dianggap belum punya pengalaman. Dua kali mendaftar pegawai negeri sipil dan hasilnya masih nihil. Sampai akhirnya ia tanpa sengaja menjual kapulaga pemberian bibinya dan dibeli oleh seseorang dengan harga tinggi. 

Cerita berhenti sebentar karena gawai Giovanni bergetar. Ia meminta maaf kepadaku untuk mengangkat panggilannya. Aku mempersilakan sembari diam-diam mencuri dengar pembicaraan. Seseorang memesan sesuatu dan Giovanni menyanggupinya. Pembicaraan mereka berakhir usai Giovanni mengucapkan salam perpisahan, dan gawainya kembali diletakkan di atas meja.

Cerita berlanjut dengan upaya Giovanni mencoba menanam kapulaga. Setelah kapulaga miliknya panen dua kali, ia memutuskan mengabaikan ijazah kuliahnya dan memulai pekerjaan sebagai petani kapulaga. Hasil belajar di perguruan tinggi selama lima tahun, sama sekali tidak berguna ketika menanam kapulaga di ladang. Hidup dimulai dari nol saat ia berinteraksi dengan alam.

Ia bisa membeli sepetak ladang karena kapulaga, bukan ijazah ahli pertama. Kuliah justru jadi penyesalan terbesarnya. Kalau memang garis takdirnya adalah bertani, lebih baik uang kuliah dipakai untuk membeli tanah. Giovanni juga mengatakan bahwa teleponnya barusan berasal dari seseorang di Banjarnegara yang memesan kapulaga. Dari kapulaga yang baru saja dipesan untuk orang itu saja, Giovanni berkata sudah bisa membeli 20 kilogram beras.

Perjumpaan kami berakhir setelah dua jam lamanya Giovanni menjawab pertanyaanku tentang cara budi daya kapulaga. Kami memang sepakat untuk bertemu dalam durasi dua setengah jam. Aku mengatakan bahwa ada janji pertemuan lain. Kebetulan Giovanni sendiri memang harus ke stasiun untuk memesan tiket kereta. Ia mengucapkan permintaan maaf karena perjumpaan sore ini hanya diisi oleh cerita-ceritanya.

Aku tidak menjadikan itu sebagai sebuah persoalan. Kukatakan pada Giovanni, justru aku sangat senang mendengarkan kisahnya. Ia membayarkan semua pesanan, termasuk kopi tubruk milikku. Kami beranjak dari kedai dan berpisah di parkiran. Perjumpaan sore ini diakhiri dengan saling mendoakan nasib masing-masing dan sebuah jabat tangan. Aku beranjak dari parkiran dengan motor bebek hitam dan Giovanni meninggalkan parkiran dengan mobil sedan hitam.

 

Kajrut

Aku memarkirkan motorku di depan sebuah pohon asem yang rindang. Hari sudah gelap. Azan magrib terdengar di tengah deru kendaraan yang bersahutan. Pekik rombongan burung berkoak-koak di angkasa. Sebuah warung dengan etalase berisi mie instan berjajar tampak remang-remang. Jika lampu jalan yang menjulang di dekat warung tidak menyala, tiada seorang pun di malam hari akan sadar jika ada sebuah warung yang berdiri di sini. Lampu pijar yang menerangi isi warung juga hanya dibiarkan temaram seolah pemiliknya tidak ingin mengganti dengan bohlam yang lebih terang. Sebuah truk boks kuning terparkir di depan warung.

Awalnya aku sempat ragu, meski menurut arahan Kajrut, tempat ini memang tempat pertemuan yang dijanjikan. Kajrut hanya memintaku untuk menunggu di warung dekat pohon asam sebelum batas kota. Sejujurnya aku tidak pernah tahu nama aslinya sampai sekarang. Sejak SMA, kawan-kawan sudah memanggilnya dengan nama Kajrut. 

Sebuah suara memanggil namaku di tengah remang-remang. Suara yang aku kenal; suara Kajrut. Kajrut turun dari truk yang sedari tadi terparkir di depan warung dan langsung memelukku. Baunya setahun pelayaran, apak. Kami bersalaman. Kajrut merangkulku, membawaku ke bangku yang ada di depan warung. Ia berteriak memesan dua porsi mie instan rebus dan dua gelas air putih. Penjual warung ikut berteriak, mengatakan bahwa tidak ada mie instan rebus dan menawarkan mie instan goreng.

Lagi-lagi Kajrut menjawab tawaran penjual dengan berteriak. Beruntungnya aku, di tengah suasana yang remang-remang, Kajrut tidak menyadari bahwa aku menggeser posisi dudukku agar tidak terlalu dekat dengannya. Bau tubuhnya sungguh apak ditambah bau oli yang menusuk hidung. Kajrut beranjak menuju truk. Tak lama, ia kembali dengan membawa botol air mineral satu liter berisi air bening di dalamnya. Ini ciu Bekonang yang paling enak di Semarang, katanya. Tebakanku tidak meleset, sudah pasti minuman keras. Kajrut meletakkan botol ciu Bekonang, membanting sekotak rokok keretek dan mempersilakanku mengambilnya. 

Kami mengobrol sambil menyantap mie instan goreng. Kajrut makan dengan lahap sampai kulihat beberapa potongan mie menempel di pipi dan tidak sedikit juga yang menyembur ke luar mulut. Ia terus bercerita tentang nasibnya setelah lulus SMA. Ayahnya meninggal dua bulan setelah Kajrut lulus SMA. Ibunya menikah dengan orang lain dan tidak pernah ada kabar setelah dibawa oleh ayah tirinya ke Kalimantan. Kajrut tinggal dengan warisan sebuah usaha ikan hias, sebidang tanah, dan rumah. Sebidang tanah langsung dijualnya menjadi uang hampir satu milyar. 

Seorang remaja dengan harta sama halnya dengan anak kecil bermain belati. Celaka hanya perlu memulai hitungan mundur. Harta Kajrut ludes tanpa sempat digunakan untuk biaya kuliah, membangun rumah, membeli mobil, atau meneruskan usaha ayahnya. Kajrut menghabiskan seluruh uang hasil menjual tanah di balik meja judi perjudian dan menikmati pergantian malam dengan perempuan yang berbeda setiap harinya.

Ia menghentikan ceritanya sejenak untuk menenggak habis secangkir air putih, dan meletakkan piringnya ke bangku. Kajrut makan secepat mulutnya bercerita. Mie instan milikku bahkan belum habis. Kajrut mengisi gelas air putih yang telah kosong dengan ciu Bekonang, dan langsung meneguknya sampai habis. Ia nyalakan sebatang rokok keretek dan asap menguar dari mulutnya.

Meniduri perempuan dan mencampakkannya adalah cara Kajrut melampiaskan kebencian terhadap ibunya, demikian katanya. Aku meneguk air putih sampai habis. Kajrut menuangkan ciu Bekonang ke dalam gelas kosongku, dan langsung kuteguk habis. Sensasi panas mengalir di kerongkonganku. Kuambil sebatang rokok keretek milik Kajrut dan kunyalakan. Benar-benar tembakau yang buruk. Bau asapnya pun tidak lebih baik dari bau badan Kajrut. Namun aku hanya diam sambil terus mendengarkan Kajrut bercerita. 

Setelah tiada uang yang ia miliki, Kajrut menjual rumah peninggalan orang tuanya. Uang itu Kajrut pakai untuk merantau mencari pekerjaan. Usaha peninggalan ayahnya sudah bangkrut. Semua karyawan meninggalkan Kajrut dengan caci maki. Beberapa kali ia berusaha menghubungi ibunya, tapi tidak pernah ada balasan sedikit pun dari telepon atau pesan singkatnya. Kajrut benar-benar meludah setiap menyebutkan kata ‘ibu’, seolah kata-kata itu sangat najis untuk keluar dari mulutnya.

Ia tinggal dari satu tempat pelacuran ke pelacuran lain. Semakin lama uangnya pun semakin menipis. Preman tempat pelacuran tidak lagi menyambutnya, melainkan menendangnya ke jalan bahkan tidak jarang tanda mata berupa jotosan. Sampai akhirnya musim yang baik datang di suatu masa. Seorang pelacur menawarinya bekerja sebagai pengemudi truk boks. Karena hidup saat itu tidak memberi pilihan selain mati, Kajrut menerima tawaran itu. Begitulah hidupku, mantan jutawan yang dipekerjakan oleh pelacur, kata Kajrut. Ia kembali menuang ciu Bekonang dan meneguknya, begitu juga aku. Gelas-gelas kami terisi ciu Bekonang secara bergantian, hingga ciu ludes tanpa sisa. Kami berdua bertukar kisah dan mentertawakan masa muda yang kembali harum.

Malam semakin larut. Penjual mie instan mengambil piring dan gelas, sambil menawarkan seorang perempuan untuk ditiduri. Aku dan Kajrut menolak tawaran itu. Ia  menyodorkan uang untuk membayar dua porsi mie goreng instan dan dua gelas air putih. Awalnya aku menolak Kajrut membayar pesananku, namun ia berkata hanya berbagi kebahagiaan dan sebagai hadiah perpisahan.

Perjalanannya harus dilanjutkan. Ia bisa singgah sejenak di kota ini karena trayek yang kebetulan melewati kota ini. Sudah saatnya perjumpaan singkat ini berakhir. Kami bersalaman. Ia memelukku. Aku menahan bau apak tubuhnya agar tidak muntah. Kajrut naik ke atas truk boks kuning miliknya. Dari luar, kulihat seorang perempuan setengah telanjang sedang tidur di bangku sebelah tempat supir mengemudi. Gadisku sekarang, kata Kajrut. Aku mengangguk. Kajrut menekan klakson truk. Asap hitam mengepul tebal. Truk memasuki bahu jalan perlahan, melaju kencang, meninggalkanku dalam remang-remang dan malam yang mulai dingin.

 

Ibu

Aku masuk ke rumah pukul sebelas belas malam. Ibu masih menonton YouTube di ruang keluarga. Beberapa hari ini ibu tengah asyik mengikuti berita tentang pernikahan seorang artis yang dihadiri oleh jajaran orang penting di negara. Aku memberikan selembar uang lima puluh ribu ke dekat ibu–uang yang aku minta sebelum pamit sore tadi.

Lho, kamu nggak jajan? Uangnya kok dikembalikan?” tanya ibu heran.

“Tidak. Mereka semua yang membayar makanannya.”

Aku langsung bergegas menuju kamar sebelum panggilan ibu menghentikanku.

“Bagaimana teman-temanmu? Sehat?”

Aku hanya mengangguk tanpa memberi jawaban lisan.

“Sudah bekerja semua ya?”

Aku kembali mengangguk.

“Lalu, kamu bagaimana? Mau kuliah dahulu, atau langsung bekerja?”

Aku tidak tertarik lagi mendengar pertanyaan ibu dan melanjutkan langkah ke kamar.

“Sudah tujuh tahun lulus SMA, masih saja tidak jelas mau bekerja atau kuliah.”

Ibu mengatakan itu dengan sangat lirih sebenarnya. Barangkali memang ia sengaja mengatakan itu selirih mungkin agar aku tidak mendengarnya, guna menjaga perasaanku. Namun sebenarnya ucapan ibu seperti teriakan bocah di depan daun telinga. Aku mendengarnya dengan jelas, dan kupahami betul maksud di balik ucapannya. Aku melanjutkan langkahku menaiki tangga, menuju kamarku, satu-satunya tempat di rumah ini yang tidak pernah mengajukan pertanyaan kepadaku soal kehidupan.

“Apapun pilihannya, takdir manusia selalu meleset pada akhirnya,” kataku.

Aku menjawab perkataan ibu dengan sangat lirih, dan dapat dipastikan ia juga tidak mendengar jawabanku. Jawabanku memang sangat lirih, sampai aku sendiri ragu menjawabnya dalam hati atau memang kuucapkan secara lisan. Barangkali aku memang hanya menjawab itu dalam hati. Aku tidak pernah tahu. Sama halnya dengan aku yang tidak pernah tahu soal takdirku.***

 

Stasiun Madiun–Stasiun Kutoarjo 

Kereta Kahuripan

25 Februari 2022

 

Penyelaras Aksara: Tim Editor Sudutkantin.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts