“Belajar itu bagaimana mengajak anak untuk bahagia.’’
Begitulah rangkuman setelah saya menonton film pendek berjudul Nggiwar. Film yang dibuat oleh Sekolah Eksperimental Mangunan ini membicarakan potret belajar dari nilai-nilai eksplorasi, kreasi, dan integral. Film ini juga menjadi salah satu doa dan upaya untuk pendidikan di Indonesia agar tetap terus tumbuh.
Film Nggiwar ini disutradarai oleh Romo Basilius Edy Wiyanto, Pr. bersama tim keluarga besar Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Film ini sudah tayang di kanal YouTube sekolah Eksperimental Mangunan sejak 11 Maret 2022. Penayangan film ini mendapatkan berbagai komentar yang beragam.
Mengangkat cerita guru dan murid dalam potret pendidikan, film ini dibuat dengan tujuan untuk mengajak siapapun untuk melihat kembali bagaimana praktik-praktik pedagogi di ruang kelas. Pun, mengenai sejauh mana merdeka belajar dilakukan oleh segenap pihak yang terlibat.
Kata nggiwar dipilih dari semangat yang diusung dari buku Y.B. Mangunwijaya berjudul Sekolah Merdeka. Hal ini didasari dari gagasan Romo Mangun untuk memekarkan anak dalam kemampuan Lateral Thinking. Lateral thinking merupakan metode yang mengajak anak untuk berpikir kreatif guna menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Dari pengabdian Romo Mangun bersama pendidikan orang miskin, beliau ingin mengajarkan anak miskin untuk mandiri atau mlarat ning ningrat. Oleh sebab itu, Romo Mangun mengajak anak untuk berpikir kreatif atau nggiwar; kreativitas tanpa batas.
Sementara, nggiwar untuk masa kini lebih populer dikenal dengan istilah out of the box. Atau, orang Jawa biasa menyebutnya dengan nyleneh atau tidak biasa.
Cerita film Nggiwar mengemas beberapa dinamika belajar yang terjadi di sekitar. Di mana di dalamnya melibatkan penokohan peran guru di sekolah.
Misalnya, sosok Ibu Tami digambarkan sebagai guru yang menganggap kelas yang tenang adalah kelas ideal. Sementara, Pak Yoles adalah guru yang meyakini bahwa sumber belajar ada di lingkungan sekitar. Adapun, sosok Pak Bayu digambarkan sebagai guru yang menginspirasi untuk muridnya.

Seperti informasi di atas, film ini diproduksi oleh Sekolah Eksperimental Mangunan. Dengan pemikiran Romo Mangun-nya, Sekolah Eksperimental Mangunan konsisten mengarahkan anak didiknya untuk menuju sistem kebudayaan yang memerdekakan. Caranya, dengan menyinergikan antara pendidikan formal, nonformal, dan pendidikan informal secara seimbang.
Dalam dokumentasi Romo Mangun berjudul Bergagasan & Praktik Pendidikan Pemerdekaan, Romo Mangun mengatakan, pendidikan dasar memang aspek yang penting bagi pengangkatan kaum miskin.
Selain itu seluruh sistem pendidikan tidak menguntungkan anak-anak miskin. Sebab, selain biayanya semakin tinggi, juga terdapat hukum rimba di dalam dunia pendidikan pengajaran.
Dari gagasan dan tujuannya untuk mengabdi kepada pendidikan anak miskin, Sekolah Eksperimental Mangunan akhirnya lahir.
Semakin berjalannya waktu dan sistem pendidikan yang kerap berubah, ditambah kemajuan teknologi yang ada sekarang, sekolah ini menerapkan kompetensi nilai-nilai EKI dalam mewujudkan kompetensi belajar. EKI itu sendiri adalah Eksploratif, Kreatif, dan Integral.
Adanya kemampuan eksploratif membuat seorang anak memiliki dorongan untuk suka mencari, bertanya, dan menyelidiki. Sedangkan, kreatif dan integral membuat anak bisa berkreasi dan berinovasi, sekaligus kemampuan menghadapi kehidupan dari berbagai segi.
Sekolah Eksperimental Mangunan juga menerapkan hubungan terbuka dan komunikatif antara guru dengan murid. Guru dan murid sama-sama menjadi subjek belajar dan bukan untuk saling mendominasi. Alhasil, guru berfungsi menjadi teman, pendamping, sekaligus penolong dan bukan sekadar profesi.
Menjadi guru di Mangunan adalah bagian panggilan hidup untuk belajar dalam mendampingi.
Bagi saya pribadi, setelah menonton film ini lebih dari lima kali, Nggiwar adalah bentuk sikap yang unik dalam melaksanakan segala hal.
Meskipun berkaca dari pengalaman saya yang kadang menemukan dan membuat hal yang tidak biasa itu sering dikira aneh oleh teman-teman dan lingkungan sekitar, tetapi hasil dari hal aneh tersebut bisa saya pakai untuk menemukan solusi dari setiap masalah.
Sehingga, saya tidak hanya memiliki satu opsional dalam menyelesaikan permasalahan, tetapi saya bisa memiliki lebih dari satu dan paling tidak ada tiga solusi untuk saya ambil dalam menyelesaikan permasalahan yang saya miliki.
Selama 19 menit, film ini juga akan banyak sekali menyisipkan berbagai pesan dan pandangan mengenai tumbuh dalam belajar.
Salah satunya pada film ini terdapat bagian yang mengatakan, berlatih itu untuk menyalurkan bakat dan kreasi, bukan hanya untuk menang. Pesan itu ditujukan kepada guru selaku penata maupun instruktur dalam kelas. Guru yang tidak hadir di rumah, membuat orang tua juga terlibat menjadi guru dan partner belajar untuk anak.
Peran orang tua murid di dalam film ini juga diikutsertakan, sebab adanya orang tua juga sebagai pendamping dan merupakan bagian misi juga visi dari Sekolah Eksperimental Mangunan untuk selalu bersikap terbuka dengan perkembangan belajar setiap anak didik Sekolah Mangunan.
Setelah tayang selama satu pekan, pihak sekolah beserta tim melakukan bedah film Nggiwar. Acara ini dilaksanakan dengan diskusi bersama dengan Romo Basilius Edy Wiyanto, Pr. dan serta teman-teman yang memperjuangkan pendidikan merdeka lainnya.
Diskusi dengan menggunakan Zoom meeting dan sudah diarsipkan di kanal YouTube Sekolah Eksperimental Mangunan ini dilakukan kurang lebih selama satu jam dan menuai berbagai kritik, saran, ide, serta pandangan mengenai belajar yang nggiwar.
Dari kesaksian teman-teman pejuang pendidikan merdeka yang telah mengikuti sesi diskusi ini, film Nggiwar dirasa cocok dan relevan untuk situasi pendidikan yang sekarang menggunakan kurikulum merdeka belajar. Proses diskusi yang banyak membicarakan dunia pendidikan ini juga membahas mengenai pendidikan yang borderless atau tanpa batas.
Meskipun kemajuan terus berkembang, tetapi pola pendidikan yang benar dan tepat belum dapat ditemukan sampai sekarang. Teknologi yang sudah hadir dan membantu kita pun belum tentu sepenuhnya benar-benar membantu kita. Bisa jadi banyaknya informasi yang ada masih menjadi hoax belaka.
Dari berbagai pertanyaan yang ada dalam sesi diskusi, jawabannya membutuhkan diskusi yang panjang. Namun, menurut Hendra Sigalingging terdapat tiga kata paling sulit untuk diterjemahkan dalam hidup. Yang pertama yaitu Tuhan, kedua kebudayaan, dan yang ketiga pendidikan.
“Bagi temen-temen guru yang saat ini join dan waras. Itu bukti otentik, kalau sebenernya itu programisasi. Karena aku tidak membayangkan menjadi guru di jaman sekarang itu horror,” kata Hendra yang juga dosen Universitas Kristen Duta Wacana ini.
“Orientasi pendidikan itu personal choice, capaian yang digapai adalah personal choice. Tidak perlu mengkutubkan Ibu Tami, tidak perlu juga meng-hero-kan Pak Yoles, dan tidak mengkutubkan juga Pak Bayuga. Bahwa tiga-tiganya adalah entitas yang hidup dan perlu dihidupi di sekolah, iya. Tapi, apakah ini proses yang sudah tepat, kupikir tidak. Ini adalah proses senantiasa sepanjang hayat. Persoalannya adalah apakah sekolah membuka ruang itu tidak untuk didialogkan?” urai dia.
Setiap proses dan pendapat dari alur film ini akan mengajak kita untuk merefleksikan, apakah benar kelas yang tenang adalah kelas yang tepat? Atau, riuh pertanyaan dan proses mencari ilmu di luar kelas adalah pembelajaran? Mungkinkah kreativitas seorang guru memberi inspirasi bagi setiap anak muridnya? Silakan temukan jawaban itu sendiri dalam Nggiwar.
Salam Nggiwar, salam kreativitas tanpa batas, gas!