Bagi Gogor Purwoko, kemampuan kita sebagai manusia hanya merespons apa yang kita terima. Itu akan jadi sesuatu yang lewat saja dan hilang jika kita hanya melihat itu sebagai sesuatu yang tidak perlu direspons.
“Kanvas menjadi media manifestasinya. Sering lewat judul dan atau tanpa penjelasan ini akan menjadi tafsir bebas, sebab audiens menafsir karya kita juga secara bebas. Namun sebagai penanda perlu adanya komunikasi, dan semoga rasa kebebasan ini selalu memerdekakan kita.“ – Gogor Purwoko
Pada suatu sore (29/5) di Balai Budaya, Jakarta Pusat setelah seminggu berlangsungnya pameran seni “BLANK-ON”, kami berkesempatan untuk berbincang bersama seniman kontemporer asal Jakarta, Gogor Purwoko. Perbincangan ini membahas seputar eksistensi beserta sudut pandangnya terhadap seni yang digeluti, yakni perupa abstrak.
Di “BLANK-ON” terdapat 11 karya jadi, tiga karya “On Progress”, dan dua karya live performance dengan media kanvas putih panjang yang digelar di tengah-tengah ruang pameran. Proses berkarya performatif yang diiringi penampilan dari beberapa pemusik merupakan bentuk eksperimen yang melibatkan audiens secara langsung.
Hal yang ingin disampaikan ke publik lewat live performance adalah proses kreatifnya, saat semua orang bisa melakukan itu; sejauh mana pemikiran, intuisi, dan talenta hadir. Selain itu, target dari eksperimen ini adalah melihat keterkaitan imajinasi, ide dengan unsur spasial, dan hadirnya pengunjung secara langsung. Tidak lupa iringan nada dari para pemusik juga dapat menciptakan kolaborasi dalam proses terciptanya karya. Eksperimen ini menjadi sarana untuk mengukur diri dalam berkarya.
Dalam pameran ini terdapat dua karya yang spesial dan sangat intim bagi beliau yaitu “Rentang Malam” (2020) dan “Benih” (2020). Dua karya tersebut saling berkaitan menampilkan perenungan diri akan kehidupan manusia yang selalu berubah, perspektif manusia, dan kebebasan berekspresi. Bahkan, dekat dengan pemahaman religi yang personal.
Selain itu, terdapat satu lukisan menarik yaitu “Progress 2” di lembaran kanvas terpajang pada salah satu sisi dinding ruang pameran. Lukisan ini cukup menarik karena terdapat filosofi tentang semesta di dalamnya.
“Alam itu bagai digerakkan oleh sebuah tetabuhan dan Einstein yang merupakan sang penemu relativitas, mengungkapkan science pada suatu titik tertentu telah menjadi sebuah puisi dan sangat puitis. Maka dari itu saya menuangkan pengertian alam semesta dalam gambar, ada daun, ada pohon, yang menari di semesta, mungkin ini judulnya ‘Tetabuhan’. Pemikiran-pemikiran ini sangat mengganggu jika tidak segera dituangkan dalam karya. Kemampuan kita sebagai manusia hanya merespons apa yang kita terima. Itu akan jadi sesuatu yang lewat saja dan hilang jika kita hanya melihat itu sebagai sesuatu yang tidak perlu direspons,” ujar Gogor Purwoko.
Beliau beranggapan bahwa saat ini bukan lagi soal membawa karya pada ruang pamer, tetapi mempunyai target ketika publik yang hadir melihat karya beliau. Mereka mendapatkan sesuatu bagi dirinya. Pameran yang beliau usung bertema “Suwung” bermakna bahwa pada malam yang sunyi, sepi, kosong adalah kepenuhan dari suwung itu sendiri, jadi dapat dikatakan kosong adalah isi dan isi adalah kosong. Nilai-nilai ini lah yang menjalin kombinasi antara latar belakang formal beliau sebagai teknisi dengan garis-garis tegas, lalu masuk dalam sisi seni, dan sastra hingga terciptalah karya abstrak sebagai perenungan akan kehidupan.
Gogor Purwoko yang sejak kecil akrab disapa “Wowok” sering dimarahi karena suka corat-coret dinding rumah. Sejak kecil ia selalu menggambar garis-garis diagonal di tembok maupun papan tulis. Semasa kecil dengan hasil gambar garis-garis tersebut ia dapat memainkan imajinasi sebebas mungkin. Menurut beliau, imajinasi memberi ruang bagi setiap insan, maka abstrak juga memiliki potensi untuk memberi ruang bagi para penikmat seni untuk berimajinasi.
Beliau merupakan lulusan Politeknik Universitas Brawijaya. Pada tahun 1997, ketika bekerja sebagai supervisor di konstruksi gedung Roxy Mas, Jakarta, beliau kerap membuat sketsa realis terkait kehidupan di sekitar proyek. Gambar itu seperti pekerja bangunan, scaffolding, dan proyek-proyek bangunan. Mulai dari situlah semangat berkarya beliau terasah dan mulai melukis secara otodidak. Sejak memutuskan bergabung pada komunitas perupa di Pasar Seni Ancol pada tahun 2003, ia memilih menjadi pelukis full-time. Berkaitan dengan latar belakang beliau sebagai orang teknik, tentu memberikan sentuhan tersendiri bagi karya-karyanya seperti bentuk-bentuk tegas, garis lurus dan berbagai bentuk ruang yang menjadi pattern dan nilai-nilai formalis. Ketertarikan beliau pada seni rupa semakin meningkat berkat pertemanan yang berjejaring dan rutinnya datang ke pameran seni rupa khususnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sejak tahun 2003 hingga saat ini beliau sudah terlibat dalam 39 pameran bersama dan tiga pameran tunggal. Beberapa kurator yang pernah bekerja sama dengan Gogor Purwoko adalah Dolorosa Sinaga, Mirwan Yusuf, Citra Smara Dewi, dan Agus Darmawan.
Beliau percaya bahwa seni rupa adalah buah pemikiran dan banyak hal saling berjalin berkelindan dalam kehidupan. Antara seni dan ilmu-ilmu eksakta dalam dunia teknik ternyata saling terkait, walau banyak orang terkadang melihatnya sebagai bentuk yang bertentangan, tapi bagi beliau ini hal yang menarik. Salah satu contoh, Plato memiliki unsur ideal, ide, dan gagasan. Sedangkan, Aristoteles memiliki unsur praktis, materi, dan nilai-nilai yang bersifat produktif. Ketika kita ingin mendapat nilai yang bersifat produktif maka tidak mungkin berangkat dari ide yang idealis. Beliau menggabungkan unsur simbolis dan impresionis dalam karya-karyanya menjadi abstrak formalis. Beliau juga memaknai –isme sebagai perjalanan dan kreativitas adalah keberanian.
“Saya melihat pergerakan abstrak impresionisme di Amerika itu sangat kuat. Salah satu tokoh seniman yang menjadi inspirasi saya ialah Jackson Pollock karena saya tertarik pada cara kerja yang spontan, lebih mengalir” ujarnya.
Untuk unsur arsitektur dan formalis beliau terinspirasi dari Naum Gabo yang avant-garde pada zamannya. Lewat karya-karya Gabo yang konstruktif beliau merasa tercerahkan bahwa wujud karya itu bisa berkembang tidak hanya yang berupa dua dimensi.
Selain melukis beliau juga menyempatkan diri untuk menulis. Terkadang beliau juga terlibat menulis untuk pameran di beberapa institusi. Tak menutup kemungkinan, beliau juga membuka diri pada dunia sastra seperti tulisan-tulisan Jawa dan sanepo yang juga menjadi sarana refleksi. Nilai-nilai tersebut turut memberi peran dalam proses berkarya.
Lewat karya-karyanya, beliau ingin memberi ruang bagi audiens untuk merasakan imajinasi yang sama. Namun, akan semakin bagus jika terdapat perbedaan dalam berimajinasi antar audiens lewat karya-karya beliau.
Dalam era digital masa kini, beliau mempublikasikan segala proses yang dilaluinya dalam berkarya. Ada beberapa teman beliau yang menanyakan, apakah tidak takut dapurnya keliatan. Namun, beliau memandang sebaliknya. Hal tersebut dilakukannya untuk menampilkan keintiman beliau dengan karyanya karena proses keintiman tersebutlah yang membuat beliau bahagia.
“Karena setiap hari kita diam, melihat, mengalami prosesnya, mengalami ekstasinya, sampai nangis lho maka proses adalah hal yang paling penting yang harus dimiliki seniman,” tambahnya.
Seni rupa yang memiliki pola tersendiri. Hal itu memotivasi beliau untuk terus berkarya dan menghadirkan karya-karya baru. Oleh karena itu. beliau yakin bahwa seni adalah penyeimbang dan suatu agen perubahan dalam kehidupan. Walau kita tidak bisa mengingkari kenyataan, tetapi setidaknya lewat kesenian kita dapat merasakan keseimbangan, dimulai dari lingkup yang kecil dan dekat seperti keluarga lalu merambah ke lingkup-lingkup lainnya yang lebih luas seperti komunitas dan masyarakat.
Perkembangan seni dari periode ke periode menjadi petunjuk untuk menumbuhkan semangat kebaruan artistik yang diusung oleh para seniman terdahulu. Bukti kuatnya adalah kemunculan ragam gaya seni di Indonesia yang memiliki kontribusi besar bagi pelaku seni hari ini. Bagi para pelaku seni dan kreatif, ini tentu menginspirasi, begitu juga untuk penikmat karya seni. Selain itu karya seni bisa dikatakan sebagai representasi tumbuh kembang negara dalam pemetaan industri seni secara global.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Penulis: Emmanuella Sekar & Muhammad Agung
Foto: Muhammad Agung