“Surad-san?”
Aku mendongak, “Ya?”
“Kau mendengarku?” polisi itu bersendekap. Aku bisa melihat mulutnya menghembuskan nafas dengan cepat. Udara memang sedang dingin di luar. Atau selalu?
“Jelas sekali. Aku akan membeli gembok atau apapun itu sepulang kerja. Arigato,” kali ini aku membungkuk, dengan susah payah. Berbunyi klek halus tapi pasti hanya aku yang mendengarnya. Polisi itu berbalik, keluar dari pintu.
Tapi yang lain belum. Sebuah tangan keriput buru-buru maju, memegang lenganku.
“Maaf karena membangunkanmu, Surad-kun. Aku tahu pasti seluruh penghuni gedung sedang kesal karena bisa jadi aku yang lupa menaruh di mana uangku sebelumnya. Tapi aku tidak lupa. Jika tidak, bagaimana polisi itu bisa datang?” bukan polisi yang lain. Ini tetanggaku. Pak Tua Akemi, dengan suara seraknya meminta maaf.
Aku tidak pernah terkejut. Semua pekerja di Jepang memang hebat. Termasuk polisi-polisi mereka.
Tapi tidak kusangka mereka akan mau datang bahkan di jam lima pagi. “Tidak apa, Akemi-san. Hanya saja aku sedikit lelah. Lagi-lagi aku mengambil shift malam kemarin,” aku menurunkan tangan milik Pak Tua.
Genggaman itu sebenarnya tidak sakit. Lebih seperti genggaman seorang ayah yang seolah berkata ‘kau juga harus berhati-hati menyimpan uangmu setelah ini ya’.
Pak Tua berdecak, “Hei, aku kan sudah bilang untuk memanggilku Akeno saja. Nama Akemi itu jelek dan tidak cocok untukku.”
Aku tersenyum tipis. Terserah.
Aku tidak punya waktu untuk semua omong kosong yang telah aku dengar ribuan kali sebelumnya. Aku butuh tidur karena aku perlu pergi bekerja beberapa jam lagi. “Baik. Sekarang kalau tidak keberatan, bolehkah aku kembali tidur? Aku mengantuk sekali,” kalimat kuakhiri dengan uapan panjang dan rentangan tangan ke atas ke arah langit-langit kamarku yang cukup rendah tanda untuk menunjukkan bahwa aku serius.
Segera-pergi-dari-kamarku-Pak Tua-jelek!
Pak Tua buru-buru berbalik dan membungkuk-bungkuk, “Oh, kau benar. Maaf-maaf. Aku akan segera pergi. Selamat tidur kembali Surad-kun ,” dan sebelum pintu benar-benar tertutup, Pak Tua itu masih sempat berbicara, “ Oh ya, jangan lupa untuk mengambil satu atau dua apel di pekarangan sebelum pergi bekerja nanti sebagai pencuci mulut. Aku lihat sudah ada beberapa yang cukup matang kemarin sore.”
Seperti biasa. Pak Tua ini. Terlalu peduli. Terlalu ikut campur.
***
Satu sapaan, satu pertanyaan, dan satu pernyataan.
“Hei, Surad-san. Kau tidak apa-apa? Kau tampak buruk”
Siapa lagi kalau bukan Benji. Benjiro si Bajingan. Aku selalu membencinya tapi tidak dengan sekaleng kopi instan yang selalu ia bawakan untukku.
Aku meraihnya cepat, meminumnya dalam beberapa teguk.
Satu lagi hal yang baik di Jepang adalah kopi instan mereka sama sekali tidak buruk. Dunia sekarang terasa lebih masuk akal.
“Kau bekerja di lantai ini?” satu pertanyaan hanya untuk menghargai kopi pemberiaannya.
Benji menggeleng. Tentu saja ia menggeleng, “Tidak. Tugasku di bangsal utara sampai musim semi tiba. Tapi kau jelas tahu apa tujuanku bersusah payah kemari sambil membawa semua peralatan ini.”
Iya, aku tahu. Hanya dua hal yang diinginkan oleh si Bajingan Benji dalam dua minggu terakhir selama aku mengambil shift malam.
Satu, apakah aku akhirnya melihat hantu yang banyak dibicarakan oleh petugas kebersihan lain di koridor tengah rumah sakit (lantaiku bekerja sampai musim semi) dan dua, apakah akhirnya Yamada Chitora — pasien naratama jantung koroner akhirnya membicarakan Benjiro yang telah memberinya sepaket bingkisan cokelat pada malam natal minggu lalu. Jawaban dari keduanya adalah tidak. Jadi aku menggeleng dan Benji menghela nafas kasar.
“Sial!” Benji mengumpat.
Aku memalingkan muka sambil kembali meneguk kopi kaleng di tanganku, “Tidak lebih sial daripada yang terjadi padaku pagi ini.”
“Ah, biar aku tebak , ” Benji buru-buru bersemangat kembali, “Apa ada yang terjadi antara kau dan Pak Tua itu lagi?”
Aku menendang ember air kotornya, “Diam!”
Benji tertawa. “Kenapa? Ada apa lagi kali ini?” Benji memajukan badannya. Suaranya nyaring tapi tidak ada yang peduli padanya. Banyak orang lalu lalang di antara kami tapi tidak ada yang tertarik. Semua sibuk dengan urusan masing-masing.
Aku meremas kaleng di tanganku. Kopi instan dari Benji habis.
Aku mengusap wajah, “Pak Tua dan seorang polisi kemungkinan mengetuk pintu semua orang jam lima pagi ini. Polisi itu datang untuk mencari bukti-bukti sekaligus memperingatkan semua orang di gedung terkait kejadian pencurian yang pernah aku ceritakan padamu. Untuk kedua kalinya, pencurian itu kembali terjadi. Polisi memang harus terlibat tapi entahlah, menurutku tidak seharusnya mereka datang pagi-pagi buta.”
Benji diam.
“Kau mengerti maksudku tidak? Kalau tidak, lebih baik kau pergi saja. Kau membuang waktuku,” aku menggerutu. Kesal karena tidak mendapatkan respon apa-apa dari Benji.
Aku kembali menggenggam gagang pel dan meninggalkan si Bajingan itu. Beberapa langkah dan menoleh, Benji masih berdiri di tempatnya sambil menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku jelaskan.
Sedetik kemudian Benji melangkah maju, “Ada dua hal lain yang aku ingin tahu, Surad-san. Bukan hantu dan bukan Yamada Chitora.”
Aku mendengarkan.
“Ini terlalu mencurigakan dan aku akan bicara terus terang. Menurutmu, Pak Tua itu adalah tetangga yang menyebalkan. Tapi aku juga mendengar bahwa Pak Tua itu baru saja mendapatkan uang pensiunnya baru-baru ini dan kita selalu memiliki masalah dengan finansial,” Benji bicara panjang lebar.
Aku menelan ludah, “Aku tidak mengerti apa maksudmu”
“Kau tahu pasti apa maksudku. Tapi yang ingin aku tahu adalah apakah kau terlibat dengan semua pencurian ini …”, Benji semakin mendekat. Pertanyaannya seperti petir di siang hari yang panas, memekakkan telinga, “ … atau tidak?”
***
“Muhammad Surad. Kampung Bajau, 10 April 1989. 34 tahun. 161 cm. Golongan darah B. Nomor paspor A 6971069. Petugas kebersihan Rumah Sakit Takanawa Tokyo — hm, kira-kira apa lagi yang belum aku sebutkan?” Aku sedang menulis biodata singkat yang diminta oleh pengelola gedung sebelum mendengar ketukan halus dari luar pintu.
Aku buru-buru berdiri, membuka pintu. Angin kering menerpa wajah.
Sepanjang mata memandang yang bisa kulihat hanya atap-atap membosankan dan daun-daun kering berwarna oranye kekuningan.
Dan tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada kecuali sekantung penuh dengan gulungan tisu toilet baru yang tergantung pada pegangan pintuku. Aku meraihnya.
Apa ini?
Sebelum bertanya-tanya lebih lanjut, pintu tetangga di sebelah kiri kamarku terbuka. Sebelumnya lorong gedung ini juga tidak kalah membosankannya.
Seorang kakek tua melongok dan terkejut sebelum tertawa salah tingkah saat aku menatapnya, “Oh, hello-hello. Ohayo-eh good morning! How are you? My, my, my name is Akeno. This, this, this, from me.”
Pak Tua itu masih membungkuk-bungkuk dan menunjuk-nunjuk sekantung tisu di tanganku dengan senyumnya yang kelewat sumringah. Aku menghela nafas.
“Gomen, tapi Anda tidak perlu melakukan ini,” aku mundur selangkah.
Pak Tua itu terkejut mendengar logat Tokyo yang fasih keluar dari mulutku. Aku mengangkat sekantung tisu-tisu pemberiannya.
“Aku sudah hidup sepuluh tahun di Jepang. Lima tahun di Sapporo dan hampir lima tahun juga di sini, di Tokyo. Kau tidak perlu repot-repot seperti ini karena aku bukan turis dari Filipina yang datang untuk liburan singkat tapi tidak mau mengeluarkan biaya besar untuk akomodasi sehingga memilih tinggal di gedung jelek ini. Aku akan tinggal lebih lama. Jadi kalau boleh, anggap saja aku tidak ada. Aku hanya ingin bekerja dengan tenang.”
Pak Tua itu mungkin terkejut mungkin tidak, aku tidak peduli.
Tapi memang hidupku selama ini tidak berjalan mudah. Ada banyak yang terjadi hingga aku bisa tiba di titik ini. Tidak di Kampung Bajau, Sapporo, Tokyo — semuanya sulit. Aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri.
Orang-orang tidak membutuhkan kebaikan hati. Jadi sebaiknya Pak Tua ini pergi karena aku juga tidak membutuhkan kebaikan hatinya.
Detik berikutnya Pak Tua kembali bicara. “Kau mungkin lelah. Aku akan pergi, tapi tisu-tisu itu tetap milikmu. Sampai nanti,” Pak Tua itu tidak bisa menyembunyikan raut kecewanya dan kembali masuk ke dalam kamarnya.
Bagus. Setidaknya untuk sekarang dan selamanya, sudah tidak ada lagi urusan dengan tetangga yang suka ikut campur.
***
“Surad-kun, apa badanmu masih demam? Aku memasak bubur ayam. Aku melihat resepnya di internet. Dari apa yang ku baca, orang-orang di Indonesia suka sekali memakan makanan ini saat sedang sakit.”
“Surad-kun, kau akan pergi bekerja ya? Hati-hati di jalan. Aku dengar sedang ada perbaikan jalan menuju Takanawa. Kenakan masker supaya tidak terbatuk-batuk karena debu perbaikan itu.”
“Surad-kun, pakailah penutup telinga ini. Aku tidak mau tidur siangmu terganggu. Aku sedang memperbaiki gantungan bajuku yang tiba-tiba terlepas pagi ini. Aku akan memberitahumu, kalau aku telah selesai.”
“Surad-kun, kau membawa apa? Astaga! Apakah orang-orang di Takanawa yang menyuruhmu merakit semua alat itu? Baik, diam di tempatmu. Aku akan turun dan membantumu membawanya ke atas.”
“Surad-kun, apa kau mau memberitahuku tentang apa arti namamu? Biar ku beri tahu sesuatu tapi ini rahasia. Nama asliku adalah Akemi. Tapi aku lebih suka dipanggil Akeno karena lebih bagus dan terkesan lebih ceria. Aku sangat bahagia saat orang-orang akhirnya memanggilku Akeno.”
“Surad-kun, kau sudah makan?”
“Surad-kun, aku membawakanmu oleh-oleh.”
“Surad-kun, perkenalkan ini adalah tetangga baru kita.”
“Surad-kun.”
“Surad-kun.”
“Surad-kun…”
Apa aku pernah bilang bahwa aku tidak akan memiliki urusan lagi dengan Pak Tua yang suka ikut campur itu?
***
Aku menaiki tangga dengan sisa-sisa tenaga yang ku punya. Hari ini tidak ada perbedaan berarti dengan hari-hari lain. Sangat melelahkan.
Satu-satunya yang berbeda hanyalah Yamada Chitora akhirnya ingat untuk menitipkan salam untuk Benji.
Lantai dua seperti biasa tampak lengang. Di pikiranku saat ini hanyalah tidur, tidur, dan tidur. Aku hanya ingin tidur.
Tapi dasar kedua mataku yang sial. Sempat-sempatnya menangkap bayangan manusia dari balik pintu Pak Tua yang terbuka setengah. Manusia itu berisik. Terdengar seperti sedang membuka-buka laci dan kertas-kertas.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja nafasku menderu.
Akhir pekan jam tiga sore, Pak Tua sedang tidak ada di rumah. Ia biasanya berjalan-jalan di taman kota.
Aku melepas jaket. Mengirimkan pesan kepada beberapa nomor yang ku hafal di luar kepala dengan cepat. Detik selanjutnya, pintu milik Pak Tua terbuka sempurna oleh tendangan kakiku. Firasatku benar. Polisi memang harus terlibat di sini.
***
“Surad-kun! Surad-kun! Bangun, anak bodoh! Bangun! Lima menit, tidak, tiga menit. Ambulan akan sampai dari Takanawa. Kau tahu betul rute dari Takanawa kemari tidak jauh bukan? Bangunnn!” Pak Tua berteriak-teriak kalap.
Aku setengah mati membuka mata.
Masih berkelebat dengan jelas di kepala tentang kejadian di kamar Pak Tua sepuluh menit yang lalu.
Aku yang sok jagoan mendobrak kamar Pak Tua. Seorang laki-laki menoleh dengan cepat dan menggeram. Aku tidak mengenalnya tapi perawakannya sama persis dengan yang ku lihat tempo hari berjalan turun dari lantai dua gedung dengan sangat mencurigakan. Karena itu lah aku buru-buru menelfon polisi. Benar saja, pencuri itu menarget Pak Tua dan uang pensiunnya.
Tapi siapa dia? Dan bagaimana dia bisa tahu?
“Jangan ikut campur! Orang tua itu boleh membuangku. Tapi tidak dengan uang-uang miliknya!”
Oh, ternyata rumor mengenai Akemi Sasaki itu benar adanya.
Pak Tua mengusir anak laki-laki semata wayangnya karena anaknya tidak mau bekerja dan keinginannya hanyalah bermain judi dan menghabiskan uang Pak Tua. Mungkin itu juga alasan Pak Tua tidak ingin lagi disangkut-pautkan dengan nama ‘Akemi’. Nama yang menghubungkan mereka berdua.
Aku menghardiknya.
Untuk segala apapun yang hendak dilakukannya sebaiknya ia tinggalkan saat itu juga karena pemilik rumah dan polisi akan segera tiba. Aku telah lelah karena seharian bekerja, tapi kalau Sasaki menghendaki perkelahian maka akan aku iyakan. Aku pernah memenangi perkelahian dengan Ama Karabu — tetuah kampung saat aku masih remaja dengan tangan kosong. Berkelahi dengan pria paruh baya setengah mabuk seharusnya tidak ada apa-apanya.
Tapi dasar hidupku yang sial, saat merengsek maju, Sasaki tidak banyak bergerak dan hanya mengeluarkan pistol kecil dari balik jaketnya.
Dengan cepat — Dor! Dor! Dor!
Satu tembakan meleset, dua yang lain tidak. Aku tidak tahu di mana, yang jelas aku ambruk seketika.
Detik selanjutnya, Sasaki kabur. Lima menit selanjutnya Pak Tua, disusul polisi dan para tetangga datang.
Sesuatu yang cair dan hangat terasa memenuhi area bawah pangkal pahaku. Mungkin saja genangan darah? Mungkin saja dari perutku yang robek? Oh, yang pasti aku benar-benar butuh istirahat sekarang.
Tetangga-tetangga di depan pintu menunjukkan berbagai macam ekspresi. Paling banyak menangis sambil menjerit-jerit. Tapi untuk pertama kali, atap-atap dan daun-daun oranye kekuningan di belakang mereka tidak terlihat membosankan. Aku menarik tangan Pak Tua, “Akemi-san, apakah aku pernah berkata bahwa kau sangat suka mencampuri urusan orang lain dan itu menyebalkan? Aku ingin meralatnya.”
“Bukan saatnya berkata yang tidak-tidak,” Pak Tua Akemi menangis.
Tapi aku tidak menurutinya, “Sebenarnya dunia butuh sekali dengan orang-orang seperti Anda. Terima kasih, Akemi-san.”
Aku tidak mendengar lagi jawaban balasan dari Pak Tua karena aku sudah beristirahat sekarang.
Surabaya, 8 April 2023
Terinspirasi dari “Gembok” karya Desi Puspitasari dan “Robohnya Bukit Kami” karya Ilham Q. Moehiddin.
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: namnamstory.blogspot.com