Awal tahun sudah lewat di depan mata. Kemalasan beraktivitas masih menggelayuti tubuh sebagian besar masyarakat.
Sebagian orang sudah menuntaskan itinenery yang ruwet dan menghabiskan banyak biaya atas nama kerja keras setahun dalam judul liburan.
Sebagian sisanya, merutuki nasib dan menghela napas panjang karena merasa setahun ini tidak ada siginifikansi berarti dalam hidupnya, tapi siapa peduli.
Namun yang pasti, berjuta-juta orang sudah membangun sederet harapan awal tahun kemarin dan tidak satupun terjadi, namanya resolusi.
Panjul, keluar dari rumah untuk satu tujuan pasti yakni angkringan Kang Ramto. Tak peduli air lewah dari langit, ia lari ke angkringan.
Dilanda hujan lebat, payung cenderamata perusahaan asuransi jadi satu-satunya proteksi yang dipercaya Panjul melindungi dirinya dari basah kuyub.
Dengan kualitas payung seadanya, ia pasrah menadah basah dan angin di sekujur tubuhnya.
“Kang, sambutlah aku dengan segelas jahe panas yang hangat,” ujar Panjul.
“Pemuda nekat,” Kang Ramto melengos.
Awal tahun memang karib dengan basah hujan yang mungkin akan bertahan sampai hari raya Imlek nanti. Sebagian percaya, derasnya hujan adalah rejeki yang tak akan turun sepanjang tahun.
Sedangkan untuk sebagian lainnya, hujan dan hawa lembab adalah kombinasi alasan paten untuk tetap meringkuk bersama selimut di rumah.
“Awal tahun kok sudah jualan Kang Ramto?” sapa Panjul.
“Buat aku ini sudah jadi yang kesekian puluh ganti tahun, sudah biasa aja,” Kang Ramto ketus.
“Apapun yang berulang itu kan perlu diberi makna kembali to Kang, supaya berkesan,” ujar Panjul.
“Ya masih bisa ngaduk jahe panas ini saja sudah terkesan kok aku, sehat bergas waras, cukup,” Kang Ramto menyuguhkan segelas jahe panas.
Tahun baru ini, hujan deras melanda, kembang api ditunda. Angin yang lincah menyelinap di sela-sela baju hangat.
Sebagian warga berkalang sarung. Lainnya memilih sibuk dengan gawai dan menghamburkan pesan selamat tahun baru kepada sejawat.
“Resolusimu apa Kang tahun ini?” Panjul membuka obrolan.
“Nggak ada,” Kang Ramto jawab singkat.
“Ha mbok ada gitu lho, apa yo buka cabang, pindah ke ruko, miara sapi, atau opo ngono lho Kang,” Panjul kekeuh.
“Lha wong nggak ada tu ya nggak ada, kok maksa,” ujar Kang Ramto.
“Barangkali mau kaya Mixue itu lho Kang, sudah jualan di mana-mana sudah merebak bak jamur di musim penghujan kalo kata koran pagi,” kata Panjul.
“Mixue itu jualan apa? Susu?” tanya Kang Ramto.
“Es krim kang, pake contong, pake gelas, pake boba, pake mangga, seger,” Panjul menjelaskan.
“Halah, lha dari dulu tung es tung-tung juga sudah banyak, mana lebih gesit karena saban hari bisa keluar masuk kampung-kampung. Malah bisa pake roti, di Mixue ada roti tawarnya nggak?” seloroh Kang Ramto.
“Iya itu iya, tapi sek to. Mixue ini es krim dari China lho Kang,” Panjul menerangkan.
“Nah kalo itu tukang es tung-tung baru kalah, soalnya nggak kuat nggenjot sampe sana. Lagi pula kalo bisa sampe sana juga belum karuan bisa bahasanya, dan esnya pasti sudah cair,” kata Kang Ramto dengan bercanda.
“Intinya bukan itu Kang, maksudnya itu punya resolusi nggak? Keinginan apa gitu lho punya cabang apa gimana,” kata Panjul.
“Kalo punya dua angkringan malah bingung to Njul, nanti aku bolak-balik sana sini bikin es teh pelanggan,” Kang Ramto sibuk menambah arang ke tungku.
“Kalau satu gini kan fokus, ada waktu luang bisa buat ngaso,” timpal dia bergumam.
“Wes angel, ya cabangmu dibuat kantin kejujuran aja Kang,” Panjul kesal.
Tahun baru memang kerap dipenuhi resolusi-resolusi yang mutakhir. Semacam rapalan doa satu tahun sekali yang rasa-rasanya sayang untuk dilewatkan.
Seseorang memancang impian dalam 300 hari ke depan dan melihat segagah apa dia bisa melewati itu semua. Bertaruh, tak sampai tengah tahun semuanya telah terlupakan.
“Ya kan tidak setiap orang itu kudu punya resolusi to Njul? Aku punya cabang 10 kalau hati tidak tentram ya mau buat apa?” kang Ramto menerangkan.
“Ya apa nggak FOMO to Kang, takut ketinggalan, wong yang lain pada bikin,” Panjul menyela.
“Nggak tuh, santai aja,” kata kang Ramto.
“Ya yang mau punya resolusi ya nggak papa, yang tidak ya jangan dipaksa, gitu aja to,” imbuh Kang Ramto.
“Kang, ini cuma perkara resolusi lho, bukan milih agama,” Panjul menyeruput jahe panasnya.
Tanpa tolah-toleh, Panjul kemudian kusyuk dengan ritual sarapannya yang tak bisa diganggu gugat.
Setelah hujan reda, Panjul pamit dari angkiringan Kang Ramto. Payung asuransi yang dibawanya ketinggalan di pohon talok. Ia percaya diri saja pulang ke rumah dengan perut terisi.
Hari itu Bowie tak menampakkan diri ke angkringan Kang Ramto karena baru masuk angin. Yunita belum pulang dari rumah keluarganya di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ahong ambil perlop, setahun penuh tak pernah lihat pantai selatan katanya.
Sedangkan Bandot kecapekan karena terus-terusan terjebak macet di Malioboro waktu liburan Natal dan Tahun baru kemarin.
Ditinggal Panjul, Kang Ramto merogoh HP dan masuk aplikasi pencarian, di sana ia tulis “Resolusi Bakul Angkringan 2023”.
Editor & desain sampul: Arlingga Hari Nugroho