Pada tahun 1980, tiga tahun setelah Bang Ali tak lagi gubernur, Presiden Soeharto berpidato di hadapan para pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dengan ungkapan provokatif ia bilang, ABRI harus berpihak kepada kelompok politik yang dengan terang menjaga Pancasila. Di sisi lain ia memberi kesan kalau dirinya personifikasi dari Pancasila.
Pidato itu kemudian dikecam para tokoh terkemuka dari kalangan militer, politisi, negarawan, dan aktivis. Total ada 50 orang, maka dari itu kelompok ini dikenal dengan nama Petisi 50, salah satu di antara mereka ialah Bang Ali, yang menjadi motor gerakan.
Ia menjadikan rumahnya di Jalan Borobudur No.2 semacam sekretariat dari kelompok Petisi 50. Di sana petisi berjudul “Ungkapan Keprihatinan” tertanggal 5 Mei 1980 tercipta. Petisi itu dibacakan delapan hari kemudian di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Tetapi sayang petisi tersebut seperti tak membuahkan apa-apa, justru Presiden Soeharto malah mencekal para penandatangannya. Mereka tak dibolehkan berkomentar di media massa, bepergian ke luar negeri, sumber ekonomi dipangkas, dan mereka diintai.
Rumah Ali Sadikin bak jadi destinasi utama para intel setiap hari. Bahkan salah satu perusahaan Ali Sadikin terpaksa tutup (Kompas.com, Kisah Habibie dan Tangis Ali Sadikin di Tengah Bayang-bayang Orba, diakses tanggal 1 Mei 2024)
Jauh setelahnya, ketika Soeharto bukan lagi presiden, Ali Sadikin ditanya, apakah ia sakit hati?
Bagi Bang Ali, yang lebih penting ialah mengajarkan demokrasi yang sebenarnya untuk memperbaiki nasib bangsa (Majalah Tempo, 30 Juni 2022:46).
Bang Ali sudah ikut berjuang untuk bangsa jauh sebelum jadi gubernur Jakarta dan ikut dalam Petisi 50.
Dari Bertempur sampai Jadi Gubernur
Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta kurang lebih dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-39. Statusnya masih anggota ABRI ketika itu. Ia datang dengan seragam serba putih, pakaian resmi seorang Mayor Jenderal Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL) untuk menerima pelantikannya di Istana Merdeka dari Presiden Sukarno, pada Kamis 28 April 1966, pukul 10 pagi.
Sebelum mendengar pidato Bung Karno hari itu, Ali Sadikin belum tahu persis apa alasan sang presiden memilihnya menjadi Gubernur. Ia baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Menteri Koordinator Maritim dan Menteri Perhubungan Laut dalam kabinet Dwikora II. Di sisi lain, ia juga sedang membantu Sri Sultan Hamengkubuwono IX di Kementrian Bidang Ekonomi dan Keuangan sebagai Deputi Menteri urusan Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin).
Jauh hari sebelum pelantikan, masih di bulan April, pagi-pagi, masih di jam kerja. Tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk dari Istana Merdeka, meminta Ali Sadikin segera menemui Presiden Sukarno. Apa gerangan presiden memanggilnya, Ali Sadikin tak tahu, pokoknya ia merasa itu sesuatu yang genting. Begitu sampai di sana, rupanya Presiden Sukarno menanyakan kesediaannya menjadi Gubernur.
Belakangan, baru setelah pelantikannya, Ali Sadikin mendengar sendiri dari Dr. Leimana, yang di tahun itu menjadi Wakil Perdana Menteri, ada tiga nama jenderal yang sebelumnya sudah diusulkan menjadi gubernur kepada presiden, tetapi tak ada yang membuatnya sreg. Leimena lantas mengusulkan nama Ali Sadikin. Begitulah, tanpa pertimbangan lama-lama, Bung Karno setuju.
Dalam pidato Bung Karno di hari pelantikan, alasan-alasan kenapa ia memilih Ali Sadikin ia utarakan satu per satu. Pertama ialah, karena Jakarta merupakan kota pelabuhan sehingga harus dipimpin oleh orang yang paling mengerti urusan pelabuhan.
Sebelum menjadi Menteri Perhubungan Laut, Ali Sadikin memulai karirnya dari Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1945. Tahun yang masih penuh dengan pergolakan kemerdekaan Republik Indonesia. Di sana, Ali Sadikin mendapat pendidikan langsung dari Mas Pardi, seorang “tentara laut” senior, yang aktif sejak masa penjajahan Belanda.
Kelak Mas Pardi akan menjadi Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut yang pertama. Di SPT Semarang, Ali Sadikin juga bertemu dengan murid lainnya seperti Sudomo, RE Martadinata,Yos Sudarso, yang akan menjadi tokoh penting di Angkatan Laut.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengamanatkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada tanggal 10 September 1945, BKR Laut dibentuk di Jakarta.
Di bulan yang sama, para instruktur dan pelajar di SPT Semarang, termasuk Ali Sadikin, ikut membentuk BKR Laut Semarang. Ketika Presiden mengeluarkan maklumat untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, BKR Laut berubah nama menjadi TKR Laut.
Ketika pertempuran dengan Jepang meletus di Semarang yang dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari, dari 15 sampai 20 Oktober 1945, memaksa TKR Laut Semarang mundur ke arah barat, lalu bergabung dengan TKR Laut Tegal. Awal November, pasukan TKR Laut yang berada di Tegal membentuk Pangkalan IV Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Salah satu unit pasukannya adalah Corps Marinier yang terbentuk pada 15 November 1945. Corps Marinier Pangkalan IV Tegal menjadi cikal bakal Korps Marinir RI.
Pada masa Agresi Militer Belanda, Ali Sadikin bertugas di Pangkalan IV Tegal, dengan pangkat Letnan. Ia berhadapan dengan pasukan sekutu Belanda ketika mereka menyerang Tegal pada 27 Juli 1947. “… Saat Belanda di Tegal, saya bersama Letnan Ali Sadikin, Mayor Laut Suhadi, berkumpul di Karangmalang,” kata Bakri, veteran dari pasukan BKR Laut Tegal (Warta Bahari, Edisi 105/Agustus 2018).
Meraka melawan dengan bergerilya, berpindah-pindah, dari Tegal ke Pemalang, lalu ke Wonosobo melalui rute Kajen, Peninggaran, Kalibening, Karangkobar, Banjarnegara, dan Purbalingga. Wonosobo kemudian menjadi titik kumpul bagi pasukan.
Mayor Sunaryo Suryo Putro, Letnan Ali Sadikin, Mayor Agus Subekti, dan Haryono Nimpuno lantas mengorganisir pasukan ke daerah Kalibening. Kemudian mereka mendirikan SWKS V sektor Slamet (Sub Wehrkraise Slamet-V). Pasukan berubah menjadi sistem grup, bukan lagi batalyon. Di sini Ali Sadikin menjadi Wakil Komando Resimen Samudera dan Perwira Operasi.
Pada awal tahun 1949 pecah Pertempuran Watukumpul. Pasukan SWKS V grup A yang dalam pengawasan Ali Sadikin ke luar meninggalkan daerah pertahanan dan bergerak secara bergerilya. Mula-mula mereka menuju kawasan Wonoroto, Purworejo untuk menghambat pergerakan musuh. Di sana, mereka meledakkan satu jembatan besar. Mereka kemudian menyisir desa Beji-Banyumas, lalu sampai ke Jatibarang-Brebes pada bulan Februari 1949. Bulan berikutnya, grup ini sudah berada di kota Pemalang dan melancarkan serangan ke wilayah Randudongkal dan Pengiringan.
Setelah Agresi Militer Belanda, Ali Sadikin masih terlibat dalam beberapa pertempuran. Juni 1958, ia mengomandoi resimen tempur KKO AL ketika diterjunkan untuk menghadapi pasukan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. Di sana, ia berperang bak aktor laga Hollywood (Majalah Tempo, 18 Juni 1977). Ia juga terlibat dalam pembebasan Irian Barat.
Tak hanya kenyang dengan pendidikan lapangan, ia pernah meneruskan pendidikan marinir di US Marine Corps School, Amerika Serikat di tahun 1954. Begitu pulang dari negeri Paman Sam, Ali Sadikin menjadi Komandan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Danpusdiklat) KKO AL.
Ia pernah menulis buku-buku ajaran: Indoktrinasi Perang Amphibie, Lintas Udara dalam Perang Amphibie, Tambahan Bantuan Kapal dalam Perang Amphibie, dan Perang di Darat sesudah Perang Amphibie (Majalah Tempo, 18 Juni 1977).
Di mata Bung Karno, Ali Sadikin merupakan sosok yang, kata dia, dalam bahasa Belanda: koppig atau keras kepala. Ini yang menjadi alasan Bung Karno selanjutnya memilih Ali Sadikin. Sikap yang keras itu dirasa cocok mengurusi ndoro den ayu-ndoro den ayu di Jakarta.
Selain itu bagi Presiden Sukarno, yang memimpin Jakarta harus mengerti urusan tata kota, mulai dari persoalan arstitektur, pertamanan, selokan, lalu lintas, kebersihan, dan sebagainya.
Ali Sadikin punya kemampuan manajerial yang baik. Dalam keterbatasan dana akibat krisis – tahun 1966 inflasi mencapai 600 persen – Ali Sadikin mencari cara agar pembangunan bisa berjalan. Hal yang pertama-tama ia lakukan yakni memajaki tempat perjudian, dan kebijakan itu sebenarnya terdapat dalam Undang-undang No.11 tahun 1957 cuma tak pernah dijalankan oleh pemimpin sebelumnya karena takut diprotes warga. Secara bertahap, ia membenahi skema pajak usaha dan kendaraan. Dari situlah modal awal ia membangun Jakarta.
Pada tanggal 19 Juni 1968, Ali Sadikin membentuk Badan Perencanaan Pembangunan dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan ibu kota. Konsep lembaga teknis daerah di bidang penelitian dan perencanaan pembangunan ini boleh dibilang Ali Sadikin adalah pionirnya, karena Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sendiri baru dibentuk oleh Pemerintah pusat pada tahun 1974 (Asvi Warman Adam: Ali Sadikin, Pembangunan Ibukota Negara yang Visioner).
Bappeda versi Ali Sadikin bentuknya masih sangat sederhana, orang-orangnya dari luar Pemda DKI Jakarta dengan beragam latar belakang. Ada yang politisi, cendekiawan, tenaga profesional, dan seterusnya. Mereka menjadi bagian dari Badan Musyawarah lembaga teknis pembangunan ini dan Ali Sadikin yang langsung memimpin.
Meski dalam perjalanannya membangun Jakarta tak selancar yang dibayangkan, misalnya saja setiap tahun, Pemerintah DKI Jakarta hanya mampu membangun 40 gedung Sekolah Dasar, sedangkan target ideal yang harus ia capai adalah 110 gedung untuk bisa menampung anak-anak yang seharusnya sudah bersekolah.
Selain itu, jumlah ketersediaan tempat tidur di rumah sakit masih kurang, angkanya masih 1 banding 1100, padahal standarnya ialah 1 tempat tidur untuk 100 orang sakit. Tenaga dokter pun masih kurang, hanya ada 1 dokter untuk melayani 20.000 pasien, sementara seharusnya 1 dokter untuk 2000 pasien (Majalah Tempo, 19 Juni 1970).
Akan tetapi, Presiden Sukarno sendiri punya keyakinan kepada Ali Sadikin untuk menjadikan Jakarta sebagai kota dunia.
Demikianlah, selama sebelas tahun menjabat, banyak yang sudah ia kerjakan.
Ia membangun Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Ancol, Gelanggang Remaja, jalan raya, Taman Ria, Pasar Jatinegara, halte bus, Dokumentasi Sastra HB Jassin, Museum Wayang, Museum Tekstil, Museum Seni Rupa, menata komplek perkampungan, merehabilitasi 860 gedung sekolah dan membangun 1.140 gedung sekolah baru – yang sebelum Ali Sadikin, di Jakarta baru tercatat hampir 1.100 gedung sekolah.
Ia ikut mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; meyakinkan Presiden Soeharto untuk menerapkan program Keluarga Berencana secara nasional melalui proyek percontohan yang ia lakukan di kawasan Jakarta Utara, mencetuskan Pekan Raya Jakarta dan pemilihan Abang-None; mengatasi bandit di terminal-terminal angkutan kota; kas Pemda menjadi Rp89,5 miliar. Asal tahu, ketika diangkat jadi Gubernur, anggaran Pemda yang tersedia hanya Rp66 juta.
Dari segala yang Ali Sadikin sudah kerjakan, wartawan terkemuka Rosihan Anwar mengusulkan Ali Sadikin dipanggil ‘Bang Ali’ sebagai tanda kehormatan, menjelang HUT DKI Jakarta tahun 1968.
“Anak Betawi asli suka memakai sebutan ‘Abang’ atau ‘Bang’ bagi orang yang disenangi dan dihormatinya,” tulis dia (Ramadhan K.H., 2012:175).
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: dokumentasi buku “Ali Sadikin Membenahi Jakarta menjadi Kota yang Manusiawi” karya Ramadhan K.H.