Nongkrong merupakan bahasa pergaulan anak muda yang dalam bahasa Indonesia hampir sama artinya dengan berjongkok, duduk, atau bersandar pada suatu tempat. Namun dalam definisi selanjutnya istilah nongkrong menjadi lebih luas, salah satunya aktivitas ngopi. Banyak kegiatan dan aktivitas aktif maupun pasif yang kemudian berkembang dari sekadar duduk atau jongkok, seperti seeing, hearing, seating, standing dan staying (Jan Ghel:1987).
Nongkrong juga dapat melibatkan orang lain seperti melakukan aktivitas kumpul bersama pada suatu tempat dengan berbagai kegiatan seperti berbicang dan berbicara dengan orang lain. Namun ada konteks yang melibatkan terjadinya nongkrong seperti konteks tempat, waktu, dan kegiatan.
Kenapa serius banget sih? Mau nongkrong aja kaya mau bikin makalah, ribet.
Nogkrong merupakan kegiatan anak muda maupun dewasa di suatu tempat untuk berkumpul dan melakukan kegiatan untuk mengisi waktu luang (santuy).
Nongkrong juga nggak lepas dari suguhan-suguhan yang tersajikan di daftar menu. Selain camilan yang gurih, bacotan-bacotan di tempat nongkrong juga tambah nikmat kalo sambil ngopi.
Yoi yoi, ngopi merupakan budaya penuh akan cita rasa yang membuat kegiatan nongkrong semakin asyik. Katanya sih efeknya membuat mabuk dan bisa bikin pikiranmu jadi indie.
Lebay lo, emangnya apa itu indie?
Itu lho, subculture yang mengisi hari-hari kehidupannya dengan bacotan-bacotan syahdu, ngopi juga memiliki sumber energi yang menyuntik gairah mereka buat uwu-uwu-an sama indahnya senja yang sendu. Anjay…
Apa iya indie seperti itu?
Halah, peduli setan, saya-kan mau ngopi bukan malah nyariin indie.
Lanjut.
Ngopi memang punya banyak rasa dan cara buat nikmatinnya, dari yang ngopinya di rumah aja, di warung kopi, dan sampai ngopi di kafe (coffee shop), mereka memiliki cita rasanya sendiri-sendiri.
Sebenarnya, tidak ada perbedaan antara warung kopi dan coffee shop atau kafe. Hanya bahasa dan pengucapannya saja yang berbeda, sedangkan artinya sama yaitu sama-sama tempat minum kopi. Selain beda kata dan pengucapan, mungkin juga beda lokasi dan harga jual kopi.
Biasanya coffee shop atau kafe berada di pertokoan elit sampai mall-mall. Dan biasanya juga harganya terkesan elit dan cukup fantastis. Kalau kedai kopi rata-rata berada di pinggiran jalan atau di desa-desa. Nuansa sederhana dan harganya juga merakyat gitu. Karena, tujuan para pembeli datang ke kedai kopi adalah sekadar ngopi dan bacot-bacotan dengan tetangga atau sama teman-teman. Bukan malah julid ajang pamer dan gaya-gayaan.
Emang iya ya? Jangan boong bego, dosa. Gw aduin emak lo, kalo boong.
Konon katanya nih, penampilan merupakan cerminan dari karakter seseorang. Meskipun, pepatah itu tidak selamanya mutlak benar. Namun terkadang penampilan sering menjadi prioritas utama yang dipertimbangkan ketimbang “tujuan utama” pertemuan.
Kok bisa?
Sebenarnya saya nggak begitu peduli dengan kejadian seperti ini, tapi tren ini semakin menjadi edan ketika saya datang ke salah satu kedai kopi dengan pakaian seadanya (kaos oblong biasa, celana jeans buluk, dan sepatu nggak tau merk apaan). Kedai kopi tersebut ramai jadi tongkrongan mas-mas dan mbak-mbak yang @#$%&*+”:=? (tidak bisa diutarakan dengan kata-kata), penampilannya juga gaul-gaul abis, bacot-bacotan mereka juga seru sekali, dari soal sepatu harga jutaan sampai beli hp keluaran anyar.
Eh, tunggu dulu. Itu mereka pesennya bukan kopi? Mereka malah ke kedai kopi cuma numpang bikin story instagram?
Setelah upload story selesai, mereka malah asik sendiri dengan handphone masing-masing. Obrolan setelah itu juga kadang hanya sekadar haha-hihi-hehe.
Kedai kopi era sekarang ibarat bukan tempat sharing ide dan juga bukan tempat romantis untuk berbagi bacotan-bacotan asyik. Kedai kopi sekarang jadi kedai kopi hits; anak hype-beast dengan penampilannya hits abis. Dari gaya kaos brand anyaran, sepatu ori merk kekinian sampe urusan handphone berkamera mega-sultan. Urusan paras rupa cocok atau enggak itu urusan belakang, yang penting ngehits duluan.
Sebenarnya sah-sah saja menjalankan konsep dan metode untuk berbisnis, itu juga tergantung dari masing-masing pemilik tempat usaha tersebut. Mau ngehits atau mau sederhana itu bebas, namanya juga cari rejeki.
Ah, mau ngopi aja ribet, kaya mau kondangan ke nikahan mantan aja. Apalagi nulis opini seperti ini, cuma jadi pelantur.
Udahlah, lagian menurut saya; ngopi juga nggak harus mahal, tapi ngopi ya ngopi, merakyat, nyaman, dan enak buat bacot-bacotan. Tapi inget, yang penting jangan ngutang.
*)Jan Gehl (1987/2011), Life Between Buildings: Using Public Space
Editor: Arlingga Hari Nugroho