Empat Canto Musim Pagebluk
Karya A. Bram Adintyo
(i)
Dan pagebluk mendatangkan
kepada kita gerowong kesenjangan.
Beberapa dapur cukup senggang
mengocok kopi bungkus,
tetapi jalanan adalah meja kocok dadu
tanpa mata keberuntungan
yang berputar terus.
Seperti sumbu kepanikan yang meledak
pagebluk menghamburkan para pemburu dan peramu
dengan lemari pendinginnya
menjadi sekumpulan penimbun.
Sebab perut lapar lebih nyaring
dari gaung apapun,
Kepakaran bukan makanan mudah cerna.
Lebih mudah mengizinkan kemarahan bekerja menjadi api
di linimasa, di jalan-jalan, di ribut-ribut rumah tangga.
Karena kewarasan tak terlalu relevan
di musim wabah yang fitri ini.
(ii)
Pukul empat sore negara sibuk
mengeja hitungan maut.
Tetapi sunyi hidup di luar waktu.
ia iseng menghitung kata-kata
yang melata dari mulut.
Lalu pagebluk memaksa kita
mengeja kamus besar bahasanya:
pe.nya.kit
n permukaan-permukaan meja, gagang pintu
dan kerumunan abai.
su.rat ka.bar
n obituari tanpa titik.
wak.tu me.nung.gu
v panasea paling mujarab.
tak ber.ta.mu
v saling jaga.
pu.lang
v bentang jarak asing pada sebuah lamunan diri.
ren.ca.na
v semakin karib dengan kata tunda.
ke.lazi.man ba.ru
v cara pembantaian baru.
Beserta kata dan frasa lain
kamus besar bahasa pagebluk
mendikte ulang haluan zaman,
meresap ke alam pikiran,
bersemayam jadi mimpi buruk.
(iii)
Pada saatnya nanti masa mereda
bisakah kita menjungkalkan negara
ke hulu liang neraka?
Sebab tak usainya mereka
saling tuding sembunyi tangan
melempar granat tanpa tuas!
Lalu blowin in the wind kata Dylan. Entah sampai kapan
pagebluk menguarkan bau bangkai. Berhamburan
bersama hembus angin sunyi malam hari.
Selama ini lindap
terabai masing-masing kesibukan.
masing-masing kepentingan.
Satu kedipan, kota-kota mati menelungkup
menjelma lorong panjang
kedap cahaya tanpa ujung.
(iv)
Tetapi manusia adalah tambo seribu siasat.
Selalu ada Dunia Kecil yang menyala dalam batin.
Selalu ada doa yang mengendap dan merangsek
meski kenahasan pada apapun seperti kejat.
Ada tenggang hati yang berpilin
mendorong tangan yang mengulur
menghalau binasa yang sudah sedekat
satu tarikan amin.
Tadah; doa paling indah ialah alhamdullilah.
Pradah; segala pamrih lesap dan rebah.
Meski dunia sedang menunjukkan kepada kita
bagaimana cara untuk
tak berharap pada apa-apa.
*) Puisi karya A. Bram Adintyo, juara 3 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.