Kumpulan puisi ini: cikarang bekasi, jendela, kursi, dan derai-derai cedera. Ditulis oleh Amos Ursia, seorang yang gemar menulis berbagai puisi dan prosa. Karya terbarunya diduga agak berkualitas oleh juri Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2023.
cikarang bekasi.
kami yang kini empet-empetan antara Cikarang Bekasi: nggak duduk,
digenggam gagang besi,
dipeluk ransel sendiri.
yang penting sih gak kram dan kesemutan aja.
tapi semua juga pasti jadi gila,
bolak-balik kayak gini tiap hari.
speaker tolol nggak bisa diem,
omong kosong soal kehormatan:
“Penumpang kami yang terhormat, saat ini kereta anda masih tertahan di sinyal masuk Stasiun Tambun”
setiap rush hour,
kami mati muda,
dengkul ditabrak dengkul penumpang lain,
BJIR anak tangga Manggarai tadi sore!
tulang ditabrak tulang penumpang lain, sampe tulang nenek buyut yang perang di tepi kali Bekasi jadi keikut ngilu.
kami bukan penumpang yang terhormat,
apalagi manusia yang dihormati,
kami dipaksa jadi antrian tubuh yang bergerak dalam jesgekjes antar stasiun.
sembilan ratus ribu kepala orang dalam ribuan gerbong setiap harinya cuma jadi kelinci percobaan dari teori kerja, kerja, kerja.
emang berapa nilai kepala-kepala kami?
apa delapan jam upah sama dengan harga tengkorak utuh nenek buyut?
atau kepala kami ini cuma beterbangan untuk cicilan, pinjol, dan cita-cita masa muda?
— tapi apa itu cita-cita? apa itu masa muda? apa itu masa?
kami nggak tau,
dan ngapain juga repot-repot nyari tau.
soalnya udah keburu gila duluan bolak-balik kayak gini tiap hari.
menjaga dompet,
menjaga hape,
menjaga kantong dari copet
— lebih gampang dari jaga harga kepala sendiri yang digelindingin balai lelang dan sirkuit central business district.
udah,
ya,
daripada nulis,
pwisie,
mending saling,
waspada bareng mbak-mbak,
sebelah,
yang dari,
tadi,
ditatap-diincer,
om-om cabul skizofrenik,
lagian semua kadung udah jadi mayat berjalan a.k.a tengkorak hidup yang skizofrenik
— setiap rush hour adalah mati muda.
jendela, kursi.
rumah kosong itu dijual, plang udah dipasang — konon dulu dihuni seorang penyair.
dia gak punya temen ngobrol,
tetangga juga ngehindar.
konon dia ubah tubuhnya jadi ornamen,
jadi jendela, kursi, atau meja gitu ya.
kita sekarang gak tau dia ada di mana atau udah berbentuk apa,
konon masih
jadi jendela,
kursi,
atau nganga di meja.
derai-derai cedera.
cedera kepala,
tiba-tiba datang pada malam minggu yang sudah hampir selesai.
sekolah tinggi-tinggi adalah soal teknis dan administratif aja, toh ilmu setinggi itu belom tentu bisa ngebangun hunian layak untuk tubuh.
bangkelah, susah banget kuliah di program studi teknik produksi pengetahuan.
soal perbengkelan tekstual,
soal bongkar pasang semantik,
soal tetek-bengek diskursus.
ilmu emang agak penting dipertimbangkan demi dapet duit. walaupun, hakikatnya dia adalah ruang solidaritas dengan luka sejarah — lagian, ia selalu terwariskan.
kamu mau ngapain aja hari ini?
terus, besok pagi dan petang?
mungkin hidup hanya menunda kegiatan yang sehat dan kuat — senam kesehatan jasmani atau aerobik misal.
oh iya, kita emang gampang nyerah di dunia yang sibuk menutup aurat.
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Amos Ursia
