Perjalanan demokrasi Indonesia pasca reformasi 1998 merupakan sebuah episode bersejarah yang membawa harapan baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir kita menjadi saksi situasi compang-camping dalam pelaksanaan demokrasi, menciptakan apa yang kemudian disebut oleh ilmuwan politik asal Australia John Keane sebagai despotisme baru dalam bukunya “The New Despotism”.
Fenomena yang diusung oleh Keane, menyajikan tantangan serius terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang seharusnya menjadi jalan tengah untuk mengakomodasi kepentingan rakyat, kini mengalami kemunduran. Korupsi yang merajalela, gerakan populis yang berkembang, dan penegakan hukum yang lemah telah merongrong pondasi demokrasi yang seharusnya kokoh.
Terlebih lagi, kompleksitas proses demokrasi di Indonesia menempatkannya pada peringkat ketiga di Asia Tenggara. Dengan Indonesia masuk kedalam kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat) yang dibuktikan dengan tingginya angka money politics, diskriminasi politik, dan kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat (Hilmy, 2020 : 148).
Hal pokok dari kemunduran demokrasi di Indonesia tidak lepas dari peran partai politik yang seharusnya menjadi pelopor pendidikan politik dan pengakomodiran aspirasi masyarakat, mengalami perubahan signifikan. Pergeseran fokus partai politik dari debat ideologis menjadi strategi pemasaran untuk memenangkan pemilihan umum menurunkan substansi pendidikan politik dan menyisakan kekhawatiran akan berkembangnya “Partai Post-Demokrasi”.
Firman Noor dalam penelitiannya mengenai “Fenomena Post Democracy Party di Indonesia : Kajian Atas Latar Belakang, Karakteristik dan Dampaknya,” menyatakan bahwa beberapa partai menunjukkan karakter sebagai partai post–democracy dengan peran besar pengusaha dan pemanfaatan jaringan bisnis sebagai penggerak utamanya (Noor, 2017 : 124). Maka menjadi suatu asumsi yang logis jika kepentingan politik partai adalah kepentingan elit pengusaha daripada kepentingan rakyat banyak.
Dalam konteks ini, despotisme baru muncul sebagai dampak dari penurunan kepercayaan terhadap pejabat publik, kebijakan pemerintahan yang kurang menyentuh seluruh elemen masyarakat, dan ketidakpuasan terhadap pemimpin yang dihasilkan dari proses pemilihan umum.
Namun dari ketidakpuasan tersebut tidak menghadirkan oposisi yang kuat untuk melawan kebijakan dari kekuasaan disisi lain gerakan sosial yang berangkat dari kaum marginal, mahasiswa maupun kaum buruh juga seakan hanya menjadi momentum. Dinasti politik semakin memperkuat kendali partai politik atas sumber daya, mengekang ruang demokrasi yang seharusnya terbuka bagi berbagai elemen masyarakat.
Penting untuk mencermati dampak despotisme baru terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Dengan mengungkapkan kenyataan bahwa despotisme baru adalah model kekuasaan lalim. Tidak hanya bersifat otoriter atau bentuk kekuasan pemimpin tunggal dengan tangan besi yang dapat mengkontrol penuh kebijakan negara dengan keputusan sepihak, melainkan model yang dapat berjalan secara demokratis melalui undang-undang dan kontrol ekonomi.
Dalam bukunya Keane juga memberikan karakteristik dari despotisme baru ini yaitu “tinju beludru” penjajahan dan pemerasan secara halus. Alih-alih demokrasi menjadi penyelamat justru despotisme baru ini mampu beradaptasi serta menyulap demokrasi menjadi pisau bermata ganda yang kedua sisi tajamnya mengarah pada rakyat non elit. Kehebatan model ini juga adalah mempertahankan ketegangan seolah meninabobokkan rakyat dalam kedamaian dan kesejahteraan semu. Hasilnya masyarakat terjebak dalam keadaan serba relatif, tidak terlalu sejahtera dalam kata lain banyak problem dalam kehidupan sosial bernegara namun juga merasa tidak terlalu dirugikan.
Situasi relatif ini juga dipengaruhi oleh keberadaan lembaga dan prosedur demokratis yang tetap. Namun pada kenyataannya, perbaikan yang diharapkan dari sistem demokrasi tidak sepenuhnya terwujud secara otomatis.. Alih-alih mengatasi permasalahan sosial, prosedur pemilu malah membungkam dan menekan permasalahan tersebut dengan memberikan perasaan gembira yang bersifat sementara (Dimova, 2020).
Kondisi praktik demokrasi tersebut terkait dengan kenyamanan dan relatifnya rasa aman masyarakat karena pemerintah memenuhi kebutuhan materi dan mendorong budaya konsumerisme. Namun di sisi lain, eksploitasi sumber daya berjalan lancar karena hubungan dekat antara kekuasaan dan kapitalisme melalui celah hukum. Ini memunculkan produk hukum yang memperpanjang kepentingan kapital. Para elit menikmati kekayaan, sementara pemilik usaha kecil dan kelas pekerja terperangkap secara ekonomi.
Secara keseluruhan, kelas menengah merasa mendapat manfaat, walaupun kecil, seperti kemampuan untuk berlibur dan berbelanja di pusat perbelanjaan.. Hal ini penting secara strategis karena dapat menetralisir perbedaan pendapat di kalangan mereka dan juga karena hal ini berfungsi untuk membuktikan kepada masyarakat miskin bahwa sistem ekonomi berjalan baik (Dimova, 2020).
Dalam bukunya Keane mengajukan bahwa gejala despotisme baru yang menjangkit demokrasi ini berjalan secara global di negara-negara demokratis. Oleh karena itu Keane menyampaikan bahwa despotisme baru ini perlu ditinjau secara sosiologis bahwa setiap negara memiliki ciri masing-masing yang menyuburkan tumbuhnya despotisme baru.
Dalam konteks Indonesia setidaknya dapat dilihat secara jelas yaitu feodalisme eksekutif bahwa revolusi Indonesia 1945 tidak sepenuhnya merubah masyarakat Indonesia melainkan hanya merubah sistem politik dari Hindia Belanda menuju Republik Indonesia. Maka sangat wajar jika Tan Malaka menantang konsep kemerdekaan diplomatis dan mengajukan pernyataan dalam kumpulan pandanganya dengan judul “Merdeka 100%” sehingga pada masa kini feodalisme eksekutif seolah terinternalisasi dalam tatanan negara.
Despotisme Baru di Indonesia memiliki ciri khas yang berkaitan dengan budaya feodal masyarakat. Kekuasaan yang terpusat pada individu atau golongan tertentu masih terasa, meskipun telah terjadi reformasi pada tahun 1998. Beberapa ciri khusus dalam feodalisme eksekutif yang disebutkan antara lain kekuasaan ganda, tatanan politik hybrid, otoritas swasta, kekerasan selektif, dan ilusi ruang publik.
Ketegangan yang terjadi atas ketidakpuasan terhadap pemerintah seakan dapat dijaga dengan baik oleh kekuasaan. Hal tersebut pula yang kemudian menjadikan sumbu perlawanan menjadi tidak keras dan lantang sebab kondisi sosial politik menjadi begitu membingungkan. Setidaknya despotisme baru dari John Keane ini mampu menjadi alternatif untuk melihat kondisi Indonesia masa kini.
Tentunya perbaikan demokrasi memerlukan kolaborasi masyarakat sipil dan media untuk membangun fondasi demokrasi yang sehat dan inklusif. Langkah-langkah konkrit harus diambil untuk memulihkan kualitas demokrasi Indonesia. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa demokrasi yang seharusnya menjadi penjaga kebebasan dan kesejahteraan rakyat tidak diubah menjadi alat yang melanggengkan kepentingan elit politik. Itulah langkah awal menuju masyarakat yang lebih adil, transparan, dan demokratis.
Meskipun apabila ditakar tingkat perubahan yang diharapkan masih jauh dari kata berhasil. Namun usaha untuk mengembalikan nilai-nilai demokrasi secara substansional adalah langkah jangka panjang yang dapat menyelamatkan kondisi sosial masyarakat dari keterpurukan demokrasi.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Tufail Rosyad Abdi