Sentimental: Catatan Mendengarkan Dua Album BUKTU

Dari dua album Buktu, kita belajar merasakan perasaan gelisah, cemas, dan marah yang dialami oleh siapa saja.

Beberapa bulan ke belakang, kondisi mentalku tidak baik-baik saja. Entah, aku saja yang mengalaminya atau orang lain pun sama. Radang tenggorakan kian tak sembuh-sembuh, kerjaan menumpuk, tanggungan orang tua, beban moral, dan bahkan hubunganku dengan seseorang pun kandas.

Apa boleh buat demi melanjutkan hidup seperti sediakala walau meski ditemani tangisan, kesedihan, dan kesendirian, aku mulai menyibukan diri dengan kembali melakukan kegiatan yang sudah lama kutinggali. Mulai dari membaca beberapa buku, menghasilkan beberapa tulisan, mempelajari sastra, dan mendengarkan musik.

Terdapat salah satu band berasal dari Yogyakarta yang kusukai semenjak masalah datang silih berganti. Sering kali musik post rock berpusat pada instrumen dengan sedikit atau tanpa adanya vokal. Karena kemampuan membangun suasana dari berbagai genre musik, termasuk rock progresif, ambient, klasik, dan eletronik menciptakan suasana yang intens dan emosional. Salah satunya adalah grup musik Buktu.

Aku pertama kali menyukai genre musik ini ketika mendengarkan album “Mengeja Gejala Menjaga Dendam” karya Buktu. Pada saat itu aku dan beberapa kawan berkumpul memutarkan seloki berisikan alkohol mendengarkan keluh kesah kehidupan, negara, ataupun kisah asmara yang berakhir tragis.

Buktu merupakan band kombinasi genre eksperimental, ambience, post rock alternatif yang terbentuk pada tahun 2016. Para personil Bodhi IA (Vokal/Narator), Yusak Nugroho (Drum), Adhie Bona (Bass), Aryo Bhaskoro (Gitar), Zaen Pahlevi (Gitar), Teguh Joss (Gitar), dan Dhandy Satria (Synth). Saat ini Buktu sudah merilis dua buah album, yaitu “Mengeja Gejala Menjaga Dendam” dan album terbaru “Histeria”.

Menurut pendapatku pribadi yang menjadi ciri khas Buktu dibanding dengan band post rock lainnya ialah hadirnya pembawaan narasi puitik oleh Bodhi IA layaknya pembacaan narasi samar-samar. Jadi, Buktu itu bukan menyanyi seperti band pada umumnya, melainkan pembacaan sebuah narasi dengan menggunakan berbagai efek suara.

Menurut Bodhi dalam ANKER’S TALK Podcast episode 13, banyak orang yang salah memahami Buktu seperti musikalisasi puisi. Akan tetapi, sebenarnya konsep vokal narasi yang dihadirkan menjadikannya sebuah instrumen. Jika kita melihat band konvensional pada umumnya, biasanya suara vokal lebih kencang secara mixing dibanding instrumennya sendiri. Sedangkan Buktu, suara vokal dan instrumen secara mixing seimbang.

Kalau kita mendengarkan musiknya terkadang samar-samar. Kita harus menerka-nerka narasi yang akan dibawa oleh Bodhi. Ketika Buktu tampil secara live, narasi yang dibawa akan berbeda-beda menyesuaikan dengan kondisi venue. Dalam proses produksi album, narasi yang dihadirkan akan tetap karena menjadi sebuah patokan dalam setiap karyanya.

Sedikit yang kupahami, Bodhi selalu menciptakan narasi dalam lagu-lagunya dengan menggali tema mendalam seperti eksistensialisme, alienasi, kehampaan, dan pencarian makna dalam kehidupan. Hal yang kemudian sering kali membuat pendengarnya meresapi dan mengolah emosi dalam setiap narasi lagu-lagu Buktu. Sejujurnya, aku belum menemukan band Indonesia dengan pembawaan instrumen narasi seperti Buktu. Jika kalian mengetahui band indonesia lainnya harap beri tahu aku.

Mendengarkan “Mengeja Gejala Menjaga Dendam”

Pada tahun 2017 Buktu merilis album perdana mereka bertajuk “Mengeja Gejala Menjaga Dendam” yang lebih banyak bercerita keresahan yang dialami pada dunia era saat ini. Dikutip dari Harian Merapi, proses pengerjaan rekaman, mixing, dan mastering dikerjakan di Satrio Piningit Studio milik Sasi Kirono. Buktu juga bekerja sama dengan Flyingpants.Lab untuk mengilustrasikan desain sampul album “Mengeja Gejala Menjaga Dendam”.

Hadir pula zine album oleh Ruang Gulma Collective yang ditulis oleh Enesto Setiawan. Tak luput juga karya ilustrator oleh Anzi Matta, Bara Widarga, Kanosena, Dede Cipon, Nadia Diandra, Antino Restu Aji, Fatoni Makturodi, Anggi Wismandaru, Thegoodtheweird, Dian Suci Rahmawati, Sekar Bestari, Doni Y.H.Singkadirama, dan Robertosaurus.

Album “Mengeja Gejala Menjaga Dendam” berisikan 13 lagu. Saat ini sudah dapat didengarkan di berbagai platform digital. Pada album ini aku sangat menyukai track berjudul Aku dan Dialektika.

Lagu Aku berdurasi 07.09 menit. Ketika mendengarkan lagu ini, alunan melodi yang tenang disambut dengan narasi santai. Namun ketika masuk dalam menit ke 05.00 tempo instrumen meningkat lebih cepat dan tinggi, suara narator semakin berteriak meledak-ledak secara cepat seperti orang yang mengalami berbagai masalah menumpuk lalu dikeluarkan pada saat itu juga.

Akulah anak anak cahaya // akulah anak anak cahaya // kau katakan padaku // inilah karbala
setiap hari adalah asyura // kau katakan padaku
dari madura hingga athena // dari vatikan ke kepala // kepala harus diledakan

Beralih pada lagu Dialektika, menggambarkan perasaan terasing dan kehilangan. Hal ini mungkin menyoroti perasaan alienasi perjuangan yang dihadapi oleh sepasang individu di tengah kebisingan dunia modern. Orang orang ramai menyaksikan tubuh kita dirubuhkan digambarkan sebagai tekanan sosial atau terjebak dalam tatanan masyarakat yang memaksakaan norma-norma.

Aku digantung sebagai penghianat ruang // Dan kau dirajam sebagai pencuri waktu
Di plasa orang-orang ramai melihat tubuh kita dirubuhkan // Dan mereka sepakat
Kita sudah menjumpai ajal

Kematian menjemput sepasang individu, hanya kematianlah yang dapat membebaskan jiwa seseorang dari rasa sakit, penderitaan masyarakat, perasaan bebas dari realitas, dan pencarian makna dalam batasan dunia fisik.

Sejujurnya, dua lagu tersebut benar-benar membuat aku menangis ketika mendengarkannya. Instrumen dan vokal narasi yang dibawakan sering kali membuat aku masuk ke dalam bayang-bayang romansa bersama pasangan yang hanya ada dalam kepalaku saja.

Sentimental dalam album “Histeria” 

Buktu merilis album kedua di Sangkring Art Space pada 5 Desember 2023 sembari mengajak para pendengarnya untuk mendengarkan secara perdana “Histeria”. Album kedua ini menceritakan kondisi perasaan gelisah, cemas, dan marah yang dapat dialami oleh individu ataupun masyarakat. Ada gambaran tentang pergulatan seorang individu atau masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah, mulai dari kondisi kesendirian, otoritarian, harapan, pengkhianatan, kematian, kegamangan, keputusaan, dan belenggu pikiran.

Nuansa sentimental dan atmosfir histeria membawa para pendengarnya dalam perasaan yang sesuai dengan album “Histeria”. Narasi album memperkuat perasaan histeria tersebut sambil memberikan harapan yang mungkin bisa atau tidak terwujud. Di sisi lain, histeria merujuk pada kemarahan kolektif masyarakat ketika impian akan masyarakat utopis semakin sulit terwujud karena kerasnya zaman. 

Album ini diproduseri oleh Nathanael Damaris, di-mixing dan mastering oleh Dhandy Satria di Catpaws Lab, sampul album didesain oleh Bodhi IA, direkam di Rockstar Studio, dan dirilis bersama label Inferno.wav. Terdapat 8 track di album ini. Lagu Pulih menjadi favoritku. Tulisan ini akan memberikan deskripsi singkat dari setiap track.

Tandus, menggambarkan ketidaknyamanan dan frustasi yang muncul pada saat adanya keramaian. Kerumunan orang bagai kawanan hewan atau sekelompok orang bodoh yang menjengkelkan mencermirkan keterasingan dalam ketidakpuasaan terhadap perilaku manusia itu sendiri. Manusia-manusia yang sibuk dengan dirinya sendiri menggenggam sebuah gawai tanpa memperdulikan apa yang terjadi di sekitar, ketegantungan terhadap teknologi dan kurangnya kesadaran lingkungan. Bahkan dalam keadaan sesak, manusia tetap fokus dalam dunia digital yang dianggap lebih menarik daripada realitas itu sendiri. 

Neonatus, merujuk pada kondisi masyarakaat saat ini yang sedang mengalami kontrol berlebihan dari pemerintah atau otoritas, menciptakan masyarakat patuh, bukan karena patuh saja melainkan karena ketakutan, rasa teror, dan ancaman terhadap pemerintah seperti digambarkan dalam novel “1984” karya George Orwell. Neonatus dapat diartikan pada setiap kelahiran bayi disamakan dengan meningkatnya sumber daya yang dapat dieksploitasi oleh kekuatan yang lebih besar, seperti dalam film “The Matrix”.

Manusia adalah makhluk ganas, kita hidup diibaratkan bagai medan pertempuran, setiap individu bertarung satu sama lain merebutkan kebutuhan yang bertolak belakang dengan apa yang diinginkan. Lagu Laga mencoba menangkap realitas sisi gelap sifat manusia, di mana manusia menjadi mahkluk menyeramkan tanpa adanya belas kasihan dan saling memburu.

Kejora, kematian dianggap momok menakutkan. Manusia seringkali takut dalam ketiadaan setelah kematian. Namun, perlu kita sadari bahwa sebelum kelahiran, sebelum adanya kesadaran, kita juga berada dalam ketiadaan dalam ketiadaan itu kita sering kali merasa takut. Banyak dongeng lama mengisahkan para petualang mencari air keabadian, tetapi pada akhirnya petualang tetap akan mengalami kematian hingga dilupakan oleh waktu.

Otomat. Perputaran pola hidup kadang membosankan, seperti layaknya lingkaran setan, bangun tidur, kuliah lalu bekerja hingga malam, dan yang kita selalu impikan berakhir dengan hancur lebur. Ada istilah dalam bahasa jawa “weruh sakdurunge winarah” yang menggambarkan konsep melihat sesuatu dari sudut pandang sebelumnya. Hidup ataupun mati merupakan proses dari kehidupan yang berkembang ke arah mana pun, memiliki makna atau tanpa ada maknanya sama sekali. Kita mengetahui kehidupan yang kita jalani pasti tidak akan terduga dan tidak pasti dari kehidupan itu sendiri.

Ingar. Perang terjadi di berbagai tempat dan nampaknya menjadi hal yang lumrah dengan korban yang terus bertambah hari demi hari layaknya kehidupan kita sendiri. Konflik perang sama halnya dengan konflik internal manusia itu sendiri. Dalam diri kita sendiri, terkadang merasakan peperangan batin setiap waktu setiap hari, mempertanyakan ketidakpastian yang membelenggu pikiran kita dan kita khawatir akan terjadinya masa depan ketika ribuan pertanyaan kegelisahan menghampiri pikiran kita sendiri.

Kita terkadang khawatir atas anggapan orang lain terhadap kita sendiri, seperti penampilan kita, pendidikan, literatur yang kita baca, atau pilihan makanan dan minuman kita. Sering kali aturan yang diberikan bertentangan dengan apa yang kita inginkan. Lagu Bebas mengajak para pendengarnya untuk membebaskan diri dari belenggu anggapan orang lain. Kita dapat mencapai keberadaan kita yang sejati dengan penuh kesadaran, yaitu dengan cara mempercayai pilihan kita sendiri tanpa dipengaruhi rasa takut akan konsekuensi dari orang lain.

Pulih, diciptakan semasa pandemi Covid-19. Proses pembuatan single dikerjakan sejak akhir tahun 2019. Menggambarkan harapan yang lebih baik bagi orang yang kita sayangi. Bahkan, pengorbanan diri kita sendiri, merelakan eksistensi demi menjaga eksistensi orang yang kita cintai tetap utuh. Track ini seperti memberikan wasiat untuk tidak merasa bersedih jika suatu waktu kita meninggal, karena kematian adalah bagian alami dari kehidupan. Namun menjadi harapan bahwa orang yang kita sayangi akan mendapatkan kesembuhan, baik secara fisik ataupun emosional. Keyakinan ini akan muncul bagi mereka yang mampu untuk berbahagia dan damai dengan kondisi yang dialami. 

Jika tiba waktuku mati // Jangan datang ke makamku // Aku tak bersemayam di sana
Kau tak perlu menangis di makamku // Aku yang kau kenal sudah tak ada lagi di sana
Seluruh luka yang kulalui // Membawaku menjadi segala obat yang bisa kau ciptakan

Sebuah pesan kepada kita bahwa setiap orang yang sudah meninggal, mereka tidak ingin meninggalkan kesedihan dalam setiap makam mereka. Setiap kenangan atau pengalaman akan menjadi bagian penting bagi setiap orang yang ditinggalkan. Kehadiran kekuatan cinta dan dukungan terhadap orang yang ditinggalkan akan hadir dalam segala situasi, melalui hujan, embun, kabut, ombak, mimpi, senyum, peluk, atau dalam kecupan. Luka orang yang sudah meninggal berharap tidak akan menjadi beban bagi orang yang ditinggalkan.

Musik yang dihadirkan oleh Buktu mungkin tidak semua orang akan menyukainya. Mungkin hanya segelintir orang sebab musik yang dibawa sangat jarang sekali di Indonesia dan ketika mendengarnya pun sedikit kebingungan konsep yang dibawa oleh Buktu ini sendiri.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: BUKTU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts