Menengok Pameran Anak Saba Sawah: Biennale Jogja 2023

Pameran Anak Saba Sawah di Biennale Jogja 2023, siasat kerja kesenian yang mendekatkan anak-anak pada isu lingkungan dan lokalitas.

Yayasan Biennale Yogyakarta menampilkan karya yang melibatkan puluhan anak-anak dari berbagai sekolah negeri, dan sekolah nonformal dalam Pameran Anak Saba Sawah. Pameran dibuka pada Sabtu, 21 Oktober, hingga Kamis, 16 November 2023, berlangsung di Limasan Balai Budaya Karangkitri, Panggungharjo. Partisipan dalam pameran ini berpusat pada anak-anak yang terhimpun dari tiga belas sekolah, baik itu sanggar belajar, sekolah negeri, dan juga teman-teman home schooling yang antusias mengikuti Pameran Anak Saba Sawah.

Saba sendiri merupakan kata yang diambil dari bahasa Jawa, yang artinya jalan-jalan ke, atau bermain ke. Maka, Saba Sawah berarti bermain ke sawah. Dari makna judul tersebut, Biennale Jogja 2023 berupaya mengenalkan kepada anak-anak tentang lingkungan sekitar mereka dan tidak memandang sebelah mata aktivitas para petani. Biennale Jogja ingin menumbuhkan keakraban dan rasa keingintahuan anak-anak terhadap aktivitas di sawah, seperti bercocok tanam, memelihara sawah, bermain layangan, juga untuk mengalihkan pandangan anak-anak yang terkurung di pojok kamarnya, di tengah gempuran era digital.

Manajer Program Yayasan Biennale Jogja, sekaligus Koordinator Pameran Anak Saba Sawah, Karen Hardini mengatakan bahwa pameran ini sebagai bukti respons ulang terhadap ruang-ruang yang terpinggirkan. Dalam hal ini termasuk pemilihan lokasi penyelenggaraan pameran yang berdampingan dengan aktivitas pengolahan limbah. Juga sebagai bentuk pendekatan kepada anak-anak tentang kesadaran akan isu lingkungan, dan tidak melupakan keberadaan sawah.

“Sebetulnya fokus kita adalah merespons ulang ruang dan Saba Sawah menjadi satu judul yang tepat, menarik, menggugah, karena ketika melihat lokasi sekitar sini, aktivitas di Panggungharjo sendiri, yaitu melakukan pengolahan limbah organik menjadi pupuk kompos,” kata Karen dalam pembukaan Pameran Anak Saba Sawah di Limasan Balai Budaya Karangkitri, Panggungharjo, Sabtu (21/10/2023).

“Melalui ini kami berharap dapat mendekatkan anak-anak ke isu-isu lingkungan, ekologi, dan membuat hal-hal nostalgia tentang sawah,” sambungnya.

Anak-anak berfoto ria di depan lukisan (dok. Instagram/Biennale Jogja)

Terpilihnya desa Panggungharjo sebagai lokasi penciptaan karya anak-anak beserta pamerannya, karena memiliki area sawah yang cukup luas. Selain itu, di desa tersebut cukup ramai akan pemukiman penduduk, dan memiliki sebuah tempat pengelolaan sampah.

Desa Panggungharjo juga dikenal sebagai sebuah desa yang memiliki komitmen tinggi terhadap pengelolaan limbah. Terbukti dari adanya lokasi pengelolaan limbah organik menjadi pupuk kompos di sekitar area Balai Budaya Karangkitri. Aktivitas dari para warga dalam mengolah limbah juga mampu memantik respons anak-anak, dan menginisiasi aktivitas bersama warga.

Sebelum kegiatan Pameran Anak Saba Sawah dibuka, pihak penyelenggara sudah melakukan beberapa macam workshop pra pameran kepada anak-anak, sebagai bekal mereka dalam memasuki proses pembuatan lukisan dan permainan anak. Karya mereka merupakan hasil pembacaan terhadap lingkungan sekitar. Karya hasil workshop akan ditampilkan dalam pameran, dan bagi mereka ruang ini akan menjadi ruang apresiasi dari hasil karya-karya yang telah dibuat.

“Sebelumnya juga sudah kita lakukan beberapa workshop pra pameran, yang nanti ditampilkan karya-karya dari hasil anak-anak kita. Semua mengirim karyanya dengan beragam. Artinya ruang ini sebagai ruang apresiasi teman-teman kecil kita,” ujar Karen.

Rangkaian acara dalam beberapa hari ke depan akan terus melibatkan warga sekitar, khususnya anak-anak untuk beraktivitas di sawah. Hasil dari beragam workshop yang sudah dilakukan juga akan ditampilkan, seperti membuat layangan dan memainkannya, sampai membuat mural bersama yang akan dilaksanakan pada minggu kedua pameran. Tujuan dari mural tersebut adalah merespons tembok sudut desa yang berada di sepanjang jalan masuk menuju Balai Budaya Karangkitri.

Anak-anak menari bersama teman-temannya (dok. Instagram/Biennale Jogja)

“Dalam rangkaian acara ke depan akan menghadirkan banyak aktivitas. Karena Saba Sawah ini sebetulnya adalah beraktivitas di sawah,” ucap kurator muda itu, “Kita juga akan menghadirkan bermacam-macam workshop, seperti membuat layangan dan memainkannya, dan membuat mural bersama. Hal ini menjadi semangat kami untuk bersama-sama dengan anak-anak merespon lingkungan, dan memperkuat solidaritas anak-anak.”

Biennale Jogja 2023 secara berkala selalu memanggil anak-anak dalam bentuk tur ke pameran-pameran yang diselenggarakan. Namun kegiatan Pameran Anak Saba Sawah menjadi kali pertama Biennale Jogja menyelenggarakan pameran yang pelaku keseniannya adalah anak-anak. Berangkat dari kesadaran untuk menilik ulang ruang yang bebas bagi anak-anak bereksplorasi dan berkesenian, serta membantu mereka membangun kesadaran akan lingkungan sekitar melalui rasa dan raga yang dibungkus menjadi karya.

Rangkaian acara mengandung aktivitas yang secara keseluruhan adalah tentang anak-anak. Melalui kegiatan ini, anak-anak diberikan kebebasan untuk berekspresi menunjukkan dunianya melalui karya-karya yang ditampilkan. Di sana orang dewasa diajak untuk memahami karakteristik karya, memahami bahwa karya anak-anak tidak sama seperti milik orang dewasa, tetapi tidak memandang rendah karya mereka. Tidak hanya itu, rangkaian acara pada pembukaan Pameran Anak Saba Sawah juga menampilkan tarian kuda lumping dari anak-anak bersama teman-temannya, menonton layar lebar bersama, sampai memainkan permainan anak-anak yang membuat senyum dan tawa mereka pecah. 

Lokasi pameran yang outdoor mendukung suasana menjadi terasa lebih hangat bagai taman bermain anak-anak. Hal ini terlihat dari penataan pameran yang dikelilingi kincir angin yang menghasilkan bunyi, replikasi manusia yang ditempatkan di atas tanah, dan berbagai lukisan yang tampil di dalam sekat-sekat bilik bambu. 

Penampilan kelompok musik Gandana (dok. Gilbert Natanael Pardosi)

Kelompok musik Gandana yang berasal dari komunitas Jogja Disability Arts, biasa disebut JDA, pun turut meramaikan pembukaan Pameran Anak Saba Sawah. Keterlibatan mereka dalam pembukaan tersebut bermaksud untuk menarasikan teman-teman yang inklusi, bahwa mereka dapat bersama-sama ikut berkarya dan menikmati karya yang ditampilkan.

“Kami melibatkan JDA untuk mencoba bekerjasama dengan teman-teman yang inklusi, untuk belajar bagaimana caranya menyelenggarakan pameran bersama teman-teman inklusi,” ungkap Karen saat ditemui di lokasi Pameran Anak Saba Sawah.

Gandana merupakan project dari JDA dengan membawa misi untuk mengakomodasi atau memberdayakan teman-teman difabel melalui medium seni. Selama ini program yang sudah berjalan di JDA adalah seni bagian rupa. Saat ini pihak JDA membentuk program di seni bagian musik, yang dibuktikan melalui lahirnya kelompok musik Gandana yang dimainkan oleh beberapa teman-teman difabel menggunakan instrumen musik yang dibuat dari alat-alat bantu disabilitas, seperti tongkat; dan kursi roda.

Melalui kegiatan semacam ini, Biennale Jogja 2023 berharap dapat menjadi media yang berkelanjutan untuk melibatkan anak-anak menyuarakan ekspresinya. Tidak lagi terselenggara di ruang yang mainstream, tetapi konsisten untuk menghidupkan ruang-ruang yang dekat dengan keseharian anak-anak. Ini sekaligus sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan sekitar yang teralienasi akibat kedatangan digital yang menggelapkan kepekaan anak-anak sampai orang dewasa.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Saba Sawah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts