Pentas; Kumpulan Puisi Benny Pradipta

Empat puisi dalam kumpulan Pentas ditulis oleh Benny Pradipta. Penulis pernah menerbitkan buku puisi bertajuk Membunuh Sokrates (2019). Buku grundelan bertajuk Euforia Cinta Platonik (2019).  Sekarang menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indoneisa di SMP Mardi Waluya Cibinong.


PENTAS

Bersiaplah untuk pentas
karena kita bersandiwara
kita memakai topeng
karena ini hanya dongeng

janganlah kau telanjang muka
sungguh berbahaya
karena ini hanya cerita

pentas adalah totalitas
tubuh dan mulut berucap bebas
karena peran adalah tugas
maka tak perlu was-was

Teriak bergaung tak usah bingung
kecuali kita demam panggung

Seluruh hidup kita sandiwara
Tonil alam semesta
Hidup adalah pentas di dalam pentas
Kejadian dalam kejadian
Alasan dalam alasan
Topeng dalam topeng
Cerita dalam cerita
Hukum dalam hukum

Harap penonton maklum
Dan Kematian adalah
Jika seluruh panggung runtuh
tak ada kejadian
tak ada hiasan
tak ada topeng
tak ada cerita
tak ada apa-apa.

 

KUBUR

Duka adalah rasa ketika seorang pergi
Duka adalah keprihatinan
Duka adalah ketika kita berbuat kesalahan dan barangkali kecelakaan

Kesedihan
Semua orang telah melewatinya
Semua kehidupan menyajikan pelajaran
Ketika itu kita bertanya-tanya: apakah kesedihan pernah melunak atau berkurang
Apakah tidak, mungkin beban dibagikan untuk mengurangi kesedihan
Oleh sebab ada duka yang di bingkai dan dipalsukan

Duka seperti lemari gelap di musim hitam kesedihan
Ia adalah realitas kehidupan
Tak hilang, tetapi dapat sedikit ditekan
Atau diam-diam mencari tempat perlindungan
Dalam bawah sadar yang kelam

Ketika kita berhati-hati menatap kenangan
Mungkinkah kesedihan bisa ditangguhkan?
Mungkinkah ia tak melarikan diri seperti embun pagi?
Atau tumbuh seperti tumor, menyangkal rasa humor?

Maka kubur adalah sepi
Kita bisa menangisi
Tetapi ia hilang tak akan kembali

Maka kubur adalah sunyi
Sia-sia kalau tak ada kebangkitan lagi.

 

PENTAS 1

Seperti layar lebar memenuhi horizon setiap titik adalah nuansa dunia kabut tanah langit awan dan rembulan.
Matahari tak bisa di tatap langsung, sakitlah mata dan kitapun harus membelakanginya supaya bayangan kita memang ada di belakang tak usah diusut tak usah di pandang-pandang.

Sebab pentas mata kedepan menatap segenap titik yang masuk ke dalam rona kornea dan apapun di sana tinggallah pikiran dan hati kita.

Di panggung yang mata tak pernah bosan terhenti berjam-jam duduk di atas kursi fantasi meretas kesana kemari sampai batas tahu diri:
Waktunya untuk bekerja, menukarnya dengan uang dan belanja sehari-hari.

 

SAMAR-SAMAR REMANG-REMANG

Dalam pandangan samar-samar
Dalam keremangan sinar
Mari melihat sambil menanti
Tinggal menunggu dengan diam

Ada gema suara, datang dari sana
Sebab kita telah diundang,
memasuki titik pertemuan

Ketika engkau dalam keremangan
ketahuilah bahwa engkau telah mencapai keseimbangan
Jiwa telah diperlakukan dengan kemurahan yang berbeda hanya mulainya pengalaman
Tetapi itu tak usah dipersoalkan
Sebab pengalaman memang berbeda pada masing-masing jiwa:
Suatu undangan bagai nyanyi tanpa kata
Suatu pemandangan samar tak teraba
Dimensi baru tak tertangkap
yang melingkupi segalanya

Nikmatilah apa yang terasa sekarang:
Kedamaian, kegembiraan, kasih sayang
Semuanya begitu sederhana dan jernih yang tidak bisa dibandingkan dengan pikiran

Pada saat remang
Janganlah mengingat apa yang sudah hilang
Janganlah membangun panggung hiasan
Janganlah menyusun tipuan-tipuan
Sinar remang-remang di kejauhan

Berdiri dan duduk di sana
Sambil menantikan.

 

Ilustrasi: Roni Driyastoto

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts