Pesan dari Ibu
Sebungkus kopi dan gula.
Satu bungkus rokok kretek, Dji Sam Soe, ya
Indomie empat bungkus, yang goreng saja.
Jangan lupa beli telur, seperempat kilo.
Sama pulsa, 20.000, Simpati.
Kalau sisa, simpen aja. Buat jajan.
Di teras depan rumah, 22 Januari 2019
Seorang Guru dan Segelas Kopi (yang hampir habis)
“Aku mendambanya…”
Hening terpecah belah,
karana suara lirih nan serak bak singa tua lapar.
Hening sudah pecah. Dia bercerita…
“Saban sore, aku berlari-lari kecil, ke arah barat.
Sambil berdoa, supaya titik jingga tak berlari menjauhi aku.”
Aku pun terus mendengarkannya, hingga aku lupa, kopi panasku sudah mulai dingin.
Aku perlahan mencucupnya, dan bertanya,
“Apa yang engkau cari?” Tanyaku lirih kepadanya.
“Hasrat…” Ujarnya sambil mengecap segelas kopi hitam pahit.
“Hasrat? Hasratmu mengejar jingga?” Tanyaku lagi.
“Bukan.” Jawabnya dengan tegas. “Hasratku membangkang waktu!”
“Aku melawan kepastian waktu!”
Teriaknya dengan tegas.
Dia berdiri, mengepal tangannya, dan mengangkatnya ke atas sambil berteriak,
“Waktu itu jahanam! Musuh semua insan.
Permainan kejam dewa dewi.
Melihat kita, manusia, perlahan gugur karana waktu.
Aku, aku mengejar jingga, untuk melawan kesombongan dewa dewi!”
“Dengarkan aku,
wahai dewa dewi bangsat dan binal!
Aku ‘kan terus mengejar jingga! Mengejar hasrat! Melawan licinnya usia!”
Tapi aku tahu,
dia agak gagal senja ini.
Dewa dewi, rasanya telah menutup layar hitam lebih cepat.
Dia terlambat, aku pun turut berduka.
Tapi, masih ada jingga-jingga lain.
Dan aku pun tahu, hasratnya tak ‘kan sirna begitu saja.
Sembari aku bergumam dengan nuraniku,
dia menenggak kopinya.
— Hampir habis —
“Kopinya nikmat.” Ujarnya.
“Iya.” Jawabku.
Dia beranjak dari lincaknya,
lalu memesan satu gelas lagi.
Sedangkan aku, aku cukup melihat langit saja.
Berharap mataku yang berkaca-kaca ini, cukup mengetuk hati dewa dewi.
Minggir, 16 Desember 2017
Editor: Endy Langobelen