Sekilas membaca tajuk diskusi Sastra Tahun 2000-an yang merupakan judul yang telah diunggah ulang untuk mengganti judul sebelumnya, Sastra Yogya Pasca 98, nampaknya pembabakan masa menjadi satu hal yang penting. Kesan tajuk tersebut agaknya memberikan gambaran mengenai terjadinya transisi dari suatu zaman ke zaman berikutnya.
Mungkin pengunggahan ulang atau revisi tajuk acara disebabkan oleh pertimbangan angka atau tahun sensitif, yang dalam konteks politik angka tersebut merujuk pada tahun terjadinya reformasi. Kemudian angka tahun 2000-an dipilih dalam kerangka rujukan pembabakan dekade, sebagaimana salah satu narasumber memperlihatkan perjalanan sastra di Yogya mulai dari tahun 2000 hingga 2010 dan seterusnya.
Diskusi yang diinisiasi oleh Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dalam lingkup Sarasehan Sastra kali ini mengundang tiga narasumber yang sudah malang melintang di kancah sastra regional maupun nasional. Diskusi tersebut melibatkan Raudal Tanjung Banua, Hasta Indriyana, dan Katrin Bandel serta dimoderatori oleh Anis Mashlihatin. Kamis (07/07/2023) di Ruang Seminar TBY, saya dan hadirin diceritakan perjalanan sastra Yogya dan romantisasinya.
Gerak Sastra Yogya yang Tidak Dapat Dilepaskan dari Konteks Nasional
Raudal Tanjung sebagai pembicara pertama membuka diskusi dengan penyampaiannya soal keberadaan posisi sastra Yogya. Untuk memperlihatkan posisi tersebut, beliau menarik ingatannya tentang aktivitas sastra di masa lampau—sebelum 98 dan lebih jauh lagi. Soal semangat kolektif dalam Sastrawan Malioboro (1960-an ke bawah), Linus lewat Pengakuan Pariyem-nya (1970), dan pembentukan tradisi media cetak (1990-an).
Namun, peristiwa sebelum 1998 disampaikan sebatas lintasan ingatan saja. Sejatinya, sastra 2000-an memiliki kait kelindan dengan peristiwa-peristiwa di masa lalu dan tidak hadir begitu saja. Selanjutnya, fokus beliau membahas sastra Yogya 2000-an. Raudal Tanjung mendefinisikan sastra Yogya 2000-an dengan percabangan dan keberjamakan jalan kesusasteraan. Saya menangkap, definisi tersebut mengarah pada komunitas-komunitas dan media cetak yang jamak di Yogya.
Keberjamakan media cetak terbilang cukup masif setelah melewati krisis moneter dan memasuki masa reformasi. Ditandai kebangkitan tabloid Nova, tabloid Nyata, dan majalah Horizon dengan mengadakan macam-macam event sastra. Akan tetapi, kebangkitan media massa bentuk tabloid atau majalah diikuti juga dengan bangkitnya media arus utama (koran) layaknya Kompas, Jawa Pos, Tempo, serta Media Indonesia di awal dekade 2000-an. Hal ini lantas menciptakan kelesuan, seperti yang terjadi pada majalah Horizon dalam segmen tertentu.
Dominasi sastra koran memunculkan pandangan mengenai “fakta-fiksi” yang kemudian menghantarkan pada titik gaya kepengarangan tertentu para penulis. Disadari atau tidak, identitas koran juga membentuk gaya dan pandangan para penulis, terlebih para penulis Yogya yang memiliki target untuk menerbitkan karyanya di koran “nasional”.
Menariknya, dominasi sastra koran “nasional” mencuatkan percabangan jalan sastra Yogya. Raudal Tanjung memberi patokan, “Walaupun koran sastra ibukota sebagai arus utama, tetapi eksistensi koran lokal Kedaulatan Rakyat tetap menjadi representasi sastra Yogya,” pungkasnya.
Percabangan ini diawali dengan adanya semacam pandangan soal sastrawan Yogya tradisional (langganan Kedaulatan Rakyat) dengan sastrawan Yogya nasional (langsung mengirim karya ke koran ibukota). Ada anggapan mereka yang kirim karya ke ibukota tanpa berpijak ke koran lokal, bisa digolongkan tidak masuk pergaulan sastrawan Yogya Tradisional. Akibatnya? Mereka yang tak masuk pergaulan, membikin suatu komunitas dengan tujuan dan demi kenyamannya sendiri.
Lebih lanjut menyoal komunitas di Yogya, hal ini tidak dapat dilepaskan dari iklim pendidikannya sendiri. Mengingat Yogya sebagai kota pelajar yang selalu menarik berbagai mahasiswa dari daerah-daerah di luar Yogya. Posisi ini kemudian menciptakan ruang untuk perkumpulan penulis-calon penulis yang belajar pada komunitas kampus di Yogya, seperti Balairung (UGM), Kreativa, Ekspresi, dan Susastra (UNY), Arena (UIN), dan Taferil (ISI).
Adanya wacana-wacana mengenai Yogya sebagai pusat studi, sastrawan Yogya tadisional, dan sastrawan Yogya nasional kemudian menjadikan Yogya sebagai suatu ruang strategis bagi perkembangan dunia sastra. Raudal sendiri menyebut Yogya dalam geo-literasi Tanah Air. Fenomena geo-literasi tampak dalam sirkulasi peredaran surat kabar terbitan ibukota yang eksis di kota Yogya juga. Tidak sampai situ, koran-koran dari daerah lain juga turut beredar luas di kota ini.
Raudal sempat menyeletuk dan membawa bukti konkritnya (walaupun bukan koran). Beliau keluarkan beberapa majalah dari tasnya. Di antaranya, ia menunjukan Majalah Horizon edisi khusus Madura terbitan 2006 atau 2007. Dalam edisi tersebut, hampir seluruh penulis Madura itu sedang tinggal di Yogya atau pernah studi di Yogya.
Wacana mengenai geo-literasi tadi yang membuat Raudal cukup yakin bahwa apa yang terjadi di Yogya menjadi pokok bahasan di lingkup nasional. Muasal itu kiranya berasal dari lingkup penulis yang ber-sastra di Yogya, lalu mulai berpindah ke kota lain (untuk urusan pekerjaan atau pulang kampung) yang tetap membawa cap ke-Yogya-annya. Sebaliknya, sastra Yoyga tidak bisa lepas dengan dinamika sastra nasional sebab isu-isu nasional juga direspons oleh sastrawan Yogya (seperti kasus sastrawan Yogya nasional).
“Bahwa sastra nasional dimatangkan oleh sastrawan-sastrawan Yogya,” ujar Raudal Tanjung.
Komunitas yang Terbangun Atas Kultur
Melanjutkan apa yang telah dipaparkan oleh Raudal Tanjung mengenai komunitas, Hasta Indriyana seolah mengamini dengan beberapa klarifikasi lebih lanjut. Beliau melihat, fenomena sastra Yogya pada saat ini bergerak pada lingkup-lingkup yang setidaknya dapat digolongkan pada tiga cakupan, yakni komunitas kampus, komunitas tanpa nama, dan komunitas tidak jelas. Pergerakan komunitas kampus sama seperti yang telah disampaikan Raudal Tanjung, komunitas yang lahir dari kampus dan diisi oleh para mahasiswa yang memiliki minat pada sastra.
Setelahnya, dalam pandangan beliau, komunitas tanpa nama, timbul dari sesama peminat sastra tanpa melihat latar belakang. Yang kemudian bergerombol saling tukar pandang kesusastraan dan sesekali saling kritik karya yang telah dicipta dari orang-orang yang berkomunitas ini. Secara tak sadar, mereka betah dan menjadwalkan hari untuk bertemu. Perkumpulan ini boleh dikatakan sebagai komunitas tanpa nama, yang (awal mulanya) hanya diketahui anggota atau pendirinya sendiri.
Saya sekali waktu pernah bertemu dengan peristiwa ini, komunitas tanpa nama. Seseorang pernah bercerita kepada saya, bagaimana ia pernah saling bergerombol untuk mendiskusikan cerpen satu sama lain dalam setiap pertemuannya. Ia beri nama gerombolan ini Sekte Cerpen.
Selain itu, ada pula komunitas tanpa nama lainnya di bawah naungan Warung Sastra yang menjual buku dan sering mengadakan diskusi “Malam Buku”. Mereka juga punya lingkaran bawah tanah yang saling berdiskusi karya sastra dari karya satu sama lain. Akan tetapi, mereka sangat terbuka dengan orang baru.
Untuk penggolongan yang ketiga, disebut dengan istilah komunitas tidak jelas. Hasta Indriyana menyebut komunitas tidak jelas kepada orang-orang yang secara personal mendatangi seorang guru (orang yang dianggap sudah berpengalaman di bidang sastra). Untuk cakupan ini, saya mengalaminya!
Kehadiran Sastra Cyber: Sebuah Upaya Subversif?
Berbeda dari Raudal Tanjung dan Hasta Indriyana, Katrin Bandel membicarakan medium sastra yang terbilang segar (mula tahun 2000-an). Beliau menceritakan peralihan medium sastra dari cetak ke ranah digital, atau yang sekarang dikenal dengan nama sastra cyber.
Katrin membuka obrolan dengan menyebutkan soal betapa romantisnya masa-masa pemakaian situs mailing list (milis). Dari situs itu, Katrin mengunggah tulisannya yang bisa dilihat semua orang dengan akses internet. Lebih jauh lagi, milis juga sebagai medan pertemuan virtual-text antar penulis dan pembaca. Orang-orang dapat saling berbalas pesan dengan cair. Mereka berpuisi sekaligus saling berbalas pesan, sebagaimana yang biasa dilakukan di tempat tongkrongan non-virtual.
Seiring dengan berkembangnya waktu, jangkauan cyber sastra semakin lebar dengan ditandai munculnya website seperti cybersastra, bumimanusia, dan lain-lain. Eksisnya platform Facebook sebagai media sosial pada masa itu juga tak luput kena sasar. Terlebih, Facebook mempunyai fitur grup atau forum yang dapat menjangkau peminat sastra secara khusus.
Melalui aktivitas sastra di internet ini, Katrin menyebut gerakan sastra cyber sebagai suatu gerakan di mana setiap orang dapat dengan bebas dalam memunculkan karya tanpa otoritas seleksi. Memang pada mulanya kehadiran sastra cyber seakan menjadi wujud pemberontakan terhadap sastra cetak atau koran, yang karya-karyanya melewati prosedur kurasi dan editing sebelum layak tayang. Sedangkan pada milis, kehadiran karya muncul dengan kondisi apa adanya. Tidak menuntut jumlah ataupun unsur tematik.
Katrin juga memposisikan sastra cyber sebagai suatu upaya subversi terhadap dominasi nama-nama besar (personal, komunitas, pandangan). Upaya subversi terhadap dominasi Jakarta, dominasi komunitas besar, dominasi koran, hingga dominasi maskulin.
Tentunya gagasan mengenai gerakan subversi ini menuai perdebatan dari beberapa pihak, khususnya mengenai mutu karya sastra di internet. Tidak adanya proses seleksi karya pada milis, dianggap tidak menjamin kualitas karya tersebut.
Akan tetapi, kemunculan situs-situs pada satu dekade belakangan ini, membenahi asumsi (kualitas karya tak terjamin) dengan menghadirkan redaksi untuk menyeleksi. Anggapan saya pun, situs-situs akhirnya menjelma koran namun dengan otoritas yang lebih luwes dan fleksibel. Bukan untuk membatasi kebebasan, justru mereka menciptakan lalu lintas sastra di internet secara lebih rapi. Karya-karya yang mengalir di internet, mereka saring dengan pertimbangan redaksi yang nantinya berkaitan dengan kepentingan website-nya.
Diskusi selesai. Para hadirin membubarkan diri. Setelah melewati pintu ruang seminar sastra TBY, saya melihat beberapa orang mulai bergerombol sesuai kenalan, saya hinggap di salah satunya. Membicarakan wacana atau sekadar temu kangen. Satu-dua orang tak cukup pada satu gerombolan, beralih dan melingkar pada gerombolan lainnya. Lalu, beberapa orang lainnya memilih langsung pulang dengan sendirinya. Saya merasa peristiwa di halaman ruang seminar TBY kala itu sungguh romantis, seraya mengamini percabangan iklim sastra di Yogya dengan cara dan tujuan masing-masing.
Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: Dokumentasi Bella