Di saat orang-orang desa memutuskan hijrah ke kota, ada kalanya orang-orang kota menepi menuju desa untuk mencari sebuah ketenangan di antara hirup-pikuk kota yang terburu-buru, individualistis, egois, dan kata-kata sifat lainnya dirasa tepat untuk menggambarkan orang-orang kota.
Kehidupan perkotaan terkadang membuat lelah—sumpek, sesak, ruwet—yang terkadang kesehatan mental pun ikut terganggu. Saya atau kamu sepertinya membutuhkan waktu untuk menepi dan menghilang dari perkotaan, walaupun secara sadar ataupun tidak, kita hanya memiliki waktu yang sangat pendek, maka ambilah cutimu itu.
Saya memutuskan pergi dari pusat kota Jogja menuju dusun Siyono, Petir, Rongkop, Gunungkidul yang berjarak sekitar enam puluh kilometer dari pusat kota untuk mengikuti kegiatan “Tur De Ngalas” edisi Bedhidhing dan festival pada hari Sabtu (28/09) lalu.

Tur De Ngalas merupakan aktivitas jelajah dusun yang diinisiasi oleh Se.dusun dengan pendekatan tourism sembari mengenalkan keberagaman flora, fauna, kuliner, tanah, serta kehidupan tradisional yang ada di dusun Siyono. Edisi yang dihadirkan Tur De Ngalas akan berbeda-beda tergantung dari musim yang ada di desa, pada edisi kali ini bertepatan dengan musim bedhidhing.
Bedhidhing, sebutan masyarakat Gunungkidul ketika memasuki musim kemarau yang biasanya identik dengan musim panen singkong, kemudian akan diolah menjadi gaplek sistem pengawetan makanan yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan thiwul makanan pokok masyarakat Gunungkidul selain beras.
Karena jarak Jogja ke dusun Siyono terbilang cukup jauh, saya dan beberapa kawan yang baru saya kenali memutuskan untuk berkumpul terlebih dahulu di Kotagede. Selanjutnya melakukan touring bersama mengendarai sepeda motor dengan menghabiskan waktu sekitar satu jam setengah.
Sesampainya di dusun Siyono, kami beristirahat sejenak di rumah milik Kris Mheilda Setiawati yang rumahnya dijadikan sebagai laboratorium dusun. Kami berbincang satu sama lain seputar konsep dusun, kemandirian, dan ketahanan pangan. Tak lupa menikmati kuliner lokal berupa olahan singkong—jenang tela, satlit, opak—yang dahulu kala menjadi bahan makanan pokok masyarakat Gunungkidul sebelum terjadinya revolusi hijau.
Ida Mandalawangi, berpendapat bahwa dusun ibarat laboratorium besar yang dapat dieksplorasi, karena begitu luasnya sumber daya alam yang bisa diteliti dan dikembangkan. Dari pandangan inilah, Ida dan kawan-kawan akhirnya membentuk komunitas Se.dusun sebagai wadah penelitian dan pengembangan berbasis kearifan lokal.
“Se.dusun itu sebagai ruang penelitian dan pengembangan yang ada di dusun dengan basis kearifan lokal, penelitian dan riset pengembangan yang ada di dusun,” ujar Ida.
Setelah berbincang banyak hal dan menikmati hidangan yang disajikan, tur berlanjut mengunjungi lokakarya pangan ke rumah lik (bibi) Sulini dan lik Sulih sembari mempelajari dan menikmati olahan kuliner berupa rujak bebeg jambu mete, tiwul, dan tempe mande.
Saya baru menyadari setelah diberi tahu lik Sulih bahwasanya di dusun Siyono, olahan tempe dapat dibuat dari berbagai macam kacang-kacangan seperti tempe mande, tempe bungkil, tempe koro, dan tempe benguk.

Dengan menaiki truk seperti di film pendek Tilik (2018), terkadang kami beberapa kali memparodikan gosipan Bu Tejo, Yu Ning, dan ibu-ibu lainnya yang membuat suasana bertambah hangat. Kami berlanjut menuju gua atau orang Gunungkidul menyebutnya Song (hunian purba) Braholo yang mirip gua hanya saja tidak berbentuk panjang dan masih terpapar cahaya matahari.
Karena Gunungkidul dikelilingi karst, maka lahan pertaniannya pun akan berbeda dengan daerah lainnya, masyarakat hanya bisa menanam pada saat musim penghujan saja dengan menggunakan sistem menanam tanaman secara campuran di satu lahan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini guna menyiasati dan memaksimalkan mangsa (lihat: musim).
Selain itu, kami juga mengunjungi resan (penjaga) yang berbentuk perpohonan besar berfungsi sebagai tempat resapan air dalam tanah dan memiliki sistem perakaran untuk menjaga aliran mata air. Ida bercerita kondisi resan akhir-akhir ini semakin berkurang dikarenakan ketidakpedulian masyarakat untuk menjaga ekosistem alam, apalagi ketika melakukan ritual adat di sekitaran resan seringkali dianggap menyimpang dari agama.
Pada penghujung kegiatan di sore hari, kami mendatangi Song Luwang untuk menikmati Festival Bedhidhing. Festival tersebut menampilkan The Jeblogs, FM Abends, Berrieroots, Wayang Bayang, Mbako Ijo, macapatan, dan pameran kesenian hasil karya masyarakat dusun Siyono.
Festival Bedhidhing memiliki keunikan tersendiri, mulai dari latar panggung yang membelakangi Song Luwang, dengan lampu sorot yang memperindah tampilan song tersebut. Suara kolecer yang terus berputar karena angin kencang menambah suasana khas festival, sementara jajanan tradisional Gunungkidul, seperti wedyangan loik, thiwul, sega goreng thiwul, kripik tela, tempe melanding, jadah jemawut, gathot, tape, tahu susur, koro, bongko gude, dan lainnya, melengkapi kehangatan acara.
Sebagai seseorang yang baru pertama kali mengikuti kegiatan budaya Jawa, saya merasa sedikit bingung saat penampilan macapatan, yang di mana syair-syair dalam bahasa Jawa dilantunkan secara bersama-sama.

Menurut Ida, tema macapatan bisa diambil dari berbagai aspek, karena desa tidak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Banyak hal yang dapat diulas melalui proses dialektika, identifikasi, dan riset, seperti yang dilakukan di dusun Siyono, terutama saat musim bedhidhing. Setiap momen dan fenomena di desa menjadi sumber inspirasi yang kaya untuk diangkat dalam syair-syair macapatan
“Judulnya Memuji Gunung Sewu, memuji pegunungan seribu ini dan segala hal apa yang ada di dalamnya. Dalam mocopatan ini kita belajar meromantisasi dusun kita sendiri, meromantisasi apa yang kita lakukan sendiri biar makin suka sama apa yang kita lakukan, jadi memang mocopatan kali ini meromantisasi Gunung Sewu,” cerita Ida.
Berikut ini potongan macapatan Memuji Gunung Sewu yang dipimpin oleh Farid Stevy.
Gunung Sewu tênger nami / jalanidhi mulanira / toya surut wěkasané / badan bumi ginelaran
ardi giri twin arga / guwa tlaga lan songipun / praènaning Sasra Arga //
Langkung dennya awlas asih / Gunung Sewu jêmbar banar / tégal karang laladané
nuwuhké sarwa pepala / yěku luhuring arga / mung sumedya among tuwuh / nêtëpi darma utama //
Wiwara song lungid nguni / kagebyugan (ə)lun segara / rungsit rumpil mastakané / arêpit leng sarwa titah
ruji karang (nge)purancang / dadya song guwa rahayu / tan rinusak déning janma //
Dari potongan macapatan tersebut, diceritakan tentang awal mula terbentuknya Gunung Sewu. Lautan yang dulunya menggenang akhirnya surut, dan daratan terbentang dengan ladang-ladang yang luas dan subur. Gua-gua di Gunung Sewu, tempat-tempat tersembunyi sejak zaman dahulu, dikelilingi oleh hempasan ombak besar dari lautan. Tempat-tempat ini dianggap suci dan terlindungi, tidak tersentuh oleh manusia yang merusaknya. Begitulah kira-kira yang saya pahami dari syair tersebut.
Di tengah keindahan pariwisata Gunungkidul yang banyak disorot akhir-akhir ini membawa dampak negatif yang tak bisa diabaikan. Banyak orang dari luar daerah datang untuk membeli tanah yang akhirnya masyarakat terpinggirkan, kebudayaan lokal tergantikan menjadi budaya kota.
Gunung-gunung dibabat habis, dan air tanah yang seharusnya dijaga untuk kebutuhan masyarakat diambil secara berlebihan hanya demi kepentingan pembangunan resort. Akibatnya, hewan-hewan kehilangan habitat aslinya dan terpaksa melarikan diri karena lingkungan mereka telah hancur.
Tur De Ngalas bisa menjadi contoh bagaimana tradisi lokalitas dapat diperkuat dalam menghadapi tekanan urbanisasi ketika kota mengepung desa. Kegiatan ini mengajak masyarakat kota untuk hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, menikmati keindahan dan kekayaan alam tanpa harus merusaknya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: @alexis.favian_
