Aku Harus Pergi dari Kotamu; Kumpulan Puisi Azman Hassam

Kumpulan puisi ini; Aku Harus Pergi dari Kotamu, Untuk (A), Rapuh, dan Sepotong Puisi untuk Siti, ditulis oleh Azman Hassam. Lahir di Singaraja, Bali. Biasa dipanggil Ajeman, seorang mahasiswa yang kini hijrah sementara dan menempuh pendidikan di UIN Maulana Malik Ibrahim kota Malang. Tergolong aktif di komunitas sastra, salah satunya di Pelangi Sastra Malang. @azmnhssmb


Aku Harus Pergi dari Kotamu

Aku harus pergi dari kotamu
Karena setiap perempatan adalah jalan pulangmu
Tikungan-tikungan selalu menunjukkan alamatmu
Lampu merah, celah-celah tembok serta rumput-rumput taman yang seperti menghadirkan senyumanmu
Aku dibombardir bayanganmu saat hendak pergi
Sebab padi-padi di sawah, ladang-ladang di perbukitan, bunga di taman, hingga aroma bekas hujan menyeret seluruh permukaan warasku. 

Apa mencintaimu harus segila ini?
Sampai ketika aku bergegas
Bau asap di jalanan dan bunyi kendaraan
Bagai kenangan yang menyayat lengan.

Apa kau ingat kali ketiga kita berjumpa?
Batas yang memisah kita hanya sebait pilar
Paling tidak, bisa aku hitung dengan derap jengkal
Di situ langit menggugurkan kata-katanya yang pucat
Kau sambil melihat hujan, aku sambil memandangmu tanpa ketahuan
Kita berbincang tentang teman masing-masing.
Tentang kenapa awan bisa ada
Tentang membayangkan bagaimana gersang dunia jikalau pohon-pohon musnah
Tapi tak sesekali kita terdiam seperti memikirkan pembahasan apa yang akan dilanjutkan
Karena waktu semakin bergejolak maju, Dik, dan kita tak tahu bagaimana harus menghentikan itu. 

Lengkung alismu seperti tempat teduh
Tempat segala keindahan berlalu
Dingin saat itu menusuk kulitku, masuk ke dalam pori-pori, melewati nadi, sampai berlabuh di tulang putih
Tapi di mana harus aku cari kehangatan ketika dingin musim datang?
Apa bisa di gelombang kata-katamu yang melayang?

Sementara di sisi lain, kita masih menunggu
Menunggu langit mengering lagi
Menunggu semua yang akan hilang
Dan aku masih belum menemukan
Betapa lancangnya cinta bekerja
Dengan membiarkan hujan menderas lebih lama
Agar kita terus bersama.

Tapi memang aku harus pergi dari kotamu
Karena setiap perempatan adalah jalan pulangmu
Tikungan-tikungan selalu menunjukkan alamatmu
Lampu merah, celah-celah tembok serta rumput-rumput taman yang seperti menghadirkan senyumanmu
Membuatku takkan bisa melupakanmu, takkan bisa lagi menghindarkanmu
Sungguh, aku harus pergi
Aku harus pergi dari kotamu.

Denpasar, 2020

 

Untuk (A)

Di atas puisi ini
Aku mengurung bagian dari namamu
Bersama jingga yang mulai tumbuh dari akar subuh
Bersama langkah-langkah yang tak terukur oleh dzuhur
Bersama sehelai rambutmu yang tersebar saat hening ashar
Bersama senja yang terselip remang-remang maghrib.

Di sini
Di persimpangan waktu yang rumit
Namamu yang terkurung telah kutitipkan
Bersama petang waktu isya’
Dengan ayat-ayat suci
Yang mentadaruskan cintaku padamu.

Malang, 2020

 

Rapuh

Dalam kabut yang samar
Mataku lelah mengintai jalan
Bukit-bukit yang menjulang
Hanya tinggal angan
Ternyata langit menyisakan air mata
Ketika kumpulan awan itu mengabu
Aku menghimpun seluruh butir-butir detik yang runtuh
Tapi yang kudapat hanya sisa detakmu.

Kekasih, aku tak bisa menafsirkan maksud
Saat cintamu perlahan menyusut
Saat hadirmu pelan-pelan surut
Jika benar memilikimu harus melawan takdir terlebih dahulu
Aku siap mengguncang mega-mega di angkasa
Semua galaksi kulenyapkan
Karena kau harus mengerti
Bahwa akulah orangnya
Yang telah menghapus segala harus
Dari yang tercatat di Lauhul Mahfudz
Namun bila kau tak juga di sampingku
Tolong ijinkan aku tetap menantimu
Sampai hatiku rapuh
Dan nafas terakhir ini jatuh.

Bedugul, 2020

 

Sepotong Puisi untuk Siti

Siti, kini malam begitu gelap untuk kulewati
Pun aku terlalu buta ketika terang tiba
Ternyata di hatiku kesepian seperti langit yang hangus dibakar sendu
Sedang sunyi adalah daun-daun yang diruntuhkan gemuruh petir

Apa guna keramaian, Siti
Bila aku masih merasa terasingkan di antara kerumunan orang
Di hadapan waktu yang tak sudi berkesudahan, di sudut toko bunga aku menulis wajahmu dalam ingatan
Sudah kucoba mengakhiri seluruh puisi ini, tapi kecantikanmu seakan melahirkan kata-kata baru.

Siti, aku ingin berkelana sepanjang alismu, berenang di samudera matamu, melayang di langit mimpimu
Bawa aku ke taman, Siti, bawa aku ke taman dan ajak aku bercerita tentang angin topan juga rumput-rumput yang mulai kekuningan
Atau bawa saja aku ke pantai dan ceritakan padaku apa yang tersisa dari surut ombak dan lenyap buih 

Karena di sini, Siti, kesepian begitu jahanam untukku.

Malang, 2020

 

Ilustrasi: Amry Hidayat (Jogja Method)

 

1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts