“Skak-Ster!”, seru seorang bapak yang tengah asyik bermain catur di salah satu angkringan di depan Gedung Pakualaman. Angkringan dekat pohon besar di halaman Pakualaman malam ini tidak cukup ramai seperti biasanya. Hujan sore tadi mungkin yang menjadi sebab sepinya angkringan ini. Padahal biasanya angkringan ini cukup ramai. “Pak, kopi pahit satu lagi. Sama rokoknya satu”, minta seorang pemuda kepada pemilik angkringan.“Siap, Mas”, jawab pemilik angkringan seraya beranjak mengambilkan sebatang rokok kretek filter dan membuatkan segelas kopi. “Ini Mas, kopinya. Kopi kenthel pahit dan panas seperti biasa”, kata pemilik angkringan seraya memberikan segelas kopi dengan uap yang masih mengepul seolah sudah hafal benar dengan pesanan pemuda itu. Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum ketika menerima segelas kopi panasnya.
Asap rokok kretek filter mengepul bercampur dengan uap kopinya. “Mas, saya itu heran sama Mas ini”, kata pemilik angkringan memulai obrolan. “Heran kenapa, Pak?”, jawab pemuda itu sambil tersenyum kecil. “Mas itu masih muda, tapi selama ngopi di sini saya perhatikan minumnya selalu kopi hitam panas dan pahit. Seperti orang zaman dulu, Mas”, lanjut sang bapak. Si pemuda tersenyum sambil berkata, “ Pada dasarnya kopi itu pahit Pak. Saya suka rasa yang alami, tidak dibuat-buat”, bapak pemilik angkringan manggut- manggut saja mendengar jawaban pemuda di depannya itu. “Tapi Mas, ini luar biasa lho. Luar biasa, ada anak muda punya selera ngopi seperti ini”, lanjut sang bapak.
Sekali lagi pemuda itu tersenyum singkat sambil menjawab, ”Saya ini pemuda biasa kok, Pak. Soal selera, ya setiap orang kan punya selera masing-masing. Sama juga dengan bapak-bapak yang sudah sepuh, manusia produk lama, tetapi selera ngopinya modern, sudah dicampur gula. Selain itu alasan saya suka kopi pahit adalah kata-kata dari teman saya, Pak. Teman saya itu pernah menerangkan pada saya, ketika seseorang masih bisa merasakan rasa pahit ketika meminum kopi berarti hidupnya masih lebih manis dari kopi itu”. Bapak itu manggut-manggut lagi. “Skak-Ster!” seru bapak yang lain yang bermain catur.
***
Suatu sore, di tepi kali Progo yang indah dengan konturnya yang berkelok-kelok di kaki Pegunungan Menoreh, seorang pemuda duduk sambil memandangi air sungai yang terus mengalir seolah enggan dipandang lama-lama. Sebatang rokok terselip di antara jemarinya ketika sekepul asap terhembus keluar dari mulutnya. Tak lama kemudian pemuda itu berjalan mendekati seorang bapak yang sedang termangu memandangi pelampung pancingnya.
“Sudah dapat banyak, Pak?”, sapa pemuda kepada pemancing separuh baya. “Lumayan, Mas. Itu hasilnya di ember”, jawab sang bapak sambil tersenyum. Pemuda itu mendekat ke ember di samping pemancing, tiga ekor ikan bader sebesar telapak tangan orang dewasa berenang berputar-putar sambil megap-megap. “Wah, mancing berapa lama, Pak bisa dapat ikan-ikan sebesar ini?”, tanya si pemuda. “Lumayan Mas, sekitar dua jam. Masnya suka mancing juga?”, sahut bapak pemancing. “Suka, Pak. Tapi belum pernah mancing di sungai sebesar ini dengan arus sederas ini. Biasanya mancing di selokan atau di kolam, Pak”, jawab si pemuda. Kalau di kolam itu, sembilan puluh persen pasti dapat hasil, Mas. Coba sekali-sekali Mas mancing di sungai seperti ini. Mas bisa mendapat tantangan lebih sekaligus belajar lebih banyak untuk bekal hidup, Mas”, si pemuda mengernyitkan keningnya.
Kata-kata dari bapak itu cukup mengena di hati si pemuda. “Rokok, Pak”, kata si pemuda menawarkan rokok kretek filter kepada sang pemancing. Bapak pemancing itu mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.“Terima kasih, Mas”, ujar sang pemancing sambil mengepulkan asap dari hisapan pertama pada rokoknya. Tak lama kedua orang itu sudah duduk berdampingan, sama-sama memandang pelampung kail sambil terus menghisap dan mengepulkan asap rokoknya. “Saya tertarik dengan kata bapak tadi, Pak”, ungkap si pemuda. “Wah? Kata yang mana, Mas?” tanya sang pemancing sedikit terkejut namun tetap santai. “Tentang mancing dan belajar untuk bekal hidup”, jawab si pemuda sambil mengepulkan asap rokoknya.
Sang pemancing tersenyum kemudian berkata, ”Besok sore, silakan datang lagi ke sini. Bawa pancingmu, Mas. Biar Kali Progo ini yang mengajarimu”, si pemuda terdiam memandangi sang pemancing. Berbagai macam pemikiran berputar-putar di otaknya. Sang pemancing beranjak menggulung senar pancingnya dan berkemas, hendak menyudahi kenikmatan sore di pinggir kali ini bersama pancing nampaknya.“ Pak, ikannya ketinggalan”, Seru si pemuda ketika bapak itu beranjak pergi setelah berpamitan namun tanpa membawa embernya. “Buat Mas saja. Atau kalau tidak, silakan lepaskan lagi saja ikan-ikan itu”, jawab bapak pemancing sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
Sore hari berikutnya, si pemuda kembali mendatangi tepi sungai Progo. Agaknya ia cukup penasaran dengan ungkapan-ungkapan dari bapak pemancing kemarin. Sepi. Hanya ada ember kosong milik bapak pemancing kemarin. Ia duduk di sebuah batu yang cukup besar sambil menyulut rokoknya. Sebentar ia memandangi Kali Progo dengan arusnya yang cukup deras itu. Setelah tampak merenung sebentar, pemuda itu menyiapkan pancingnya dan tak lama mata kailnya sudah terendam di air kali. Pemuda itu terus anteng, memandangi pelampung pancingnya. Berkali-kali pula ia tampak tergesa menyentakkan kailnya, tapi tidak ada satu pun ikan yang tersangkut di kailnya. Satu jam, dua jam, hampir dua setengah jam berlalu. Belum ada satu pun ikan tersangkut dalam kailnya, begitu juga dengan bapak kemarin yang belum juga hadir. Sampai hampir senja ketika jemarinya merasakan getaran yang berbeda dari senar pancingya, ia sentakkan sekali lagi pancingya dan seekor ikan bader sebesar telapak tangan anak-anak menggelepar. Ia termangu memandangi ikan itu, kecil, tak seperti yang diharapkan. Namun pemuda itu hanya sebentar saja termangu, ia lalu tersenyum dan melepaskan ikan itu dari kailnya dan memasukkan ikan itu kedalam ember.
“Sudah mengerti kan, apa yang saya maksudkan kemarin sore, Mas?”, Sapa seorang bapak yang tanpa disadari oleh pemuda itu sudah berdiri di sampingnya. “Woh-eh, Bapak… Kapan datangnya, Pak? Hemph, sejujurnya saya belum mengerti, Pak. Mungkin kali ini sudah mengajari saya dan memberi saya bekal hidup. Tetapi, sepertinya, isi kepala saya terlalu sempit untuk dapat mewadahi apa yang diajarkannya”, jawab pemuda itu agak kaget. “Kamu memang masih muda, Mas. Wajar.Pemuda jarang memperhatikan hal- hal kecil yang ada, yang tampak hanya hal-hal luar biasa dan istimewa saja. Padahal di dalam hal-hal sederhana ini, bersemayam keluarbiasaan yang sangat besar”, jawab sang bapak sambil menghisap rokok kreteknya. “ Saya masih belum paham”, jawab pemuda dengan pelan dan ragu. “Rokok, Mas… Biar tidak pusing”, Tawar sang bapak sambil masih tersenyum melihat si pemuda tampak kebingungan. “Sudah, Pak. Saya ada rokok kok”, jawab si pemuda sambil memegang saku jaketnya. “Sudah, pakai ini dulu. Rokokmu tidak seenak ini”, kata sang bapak sambil mengulungkan sebungkus rokok kreteknya.
Pemuda itu pun segan untuk kembali menolak. Ia tarik sebatang dan ia sulut rokok kretek dari bapak itu. “Mas tahu kenapa saya suka rokok kretek?”, tanya bapak tiba-tiba. Si pemuda hanya menggeleng. Belum selesai penasarannya gara-gara satu soal, dan sekarang bapak itu menambahkah satu “teka-teki” lagi. Pemuda itu menjadi semakin antusias, mempersiapkan telinga untuk mendengar penjelasan dari bapak pemancing.“ Rokok kretek itu jika terjilat ujungnya, sebelah manapun, rasanya pahit. Seperti hidup ini, bila sengaja atau pun tidak terjadi hal yang di luar harapan, rasanya pahit. Namun pada saat yang sama, rokok kretek tidak pernah mempermasalahkan mau dibakar ujungnya yang mana. Beda dengan rokoknya Mas. Kalau rokoknya Mas itu, kalau salah membakar ujungnya, habislah. Kenikmatan rokok itu hilang, bahkan akan langsung mas buang dan menjadi satu batang yang sia-sia. Dari situ kita belajar, Mas. Belajar untuk melihat hal yang terjadi dalam hidup kita seperti rokok kretek ini. Tidak ada yang sia-sia dalam hidupmu, Mas.”
Pemuda itu hanya mengangguk-angguk. Dalam hatinya ia merasa kagum pada bapak pemancing satu ini. Luar biasa refleksinya pada hal-hal lumrah. “Lalu, mengenai pelajaran dari kali ini, Pak? Bisakah bapak menambahkan wawasan saya soal itu?”, tanya pemuda itu mengingatkan. Bapak pemancing separuh baya itu memandangi si pemuda sejenak. Sejenak itu pula tatapan teduhnya menjadi terasa sangat tajam bagi si pemuda. Tak lama, bapak itu tersenyum dan tatapannya kembali teduh. “Saya memperhatikan Mas sejak Mas datang. Tadi Mas sejenak duduk di batu ini kan sebelum menyetel pancing? Apa yang Mas lakukan?”, tanya sang bapak. “Mas sedang menimbang, dengan arus sederas ini, Mas akan pakai pemberat yang mana, yang seberat apa. Itu hal pertama yang di ajarkan oleh kali ini. Dalam hidup ini, ketika menghadapi masalah, timbang dulu. Jangan grusa-grusu dihadapi. Jangan sampai masalah utamamu terletak pada caramu memecahkan masalah itu”, lanjut sang bapak tanpa menunggu respons dari si pemuda atas pertanyaan sebelumnya.
Pemuda tetap diam, menyimak dan mencerna penjelasan dari bapak tersebut. “Selanjutnya, ketika beberapa kali Mas menyentakkan kail tanpa hasil sampai akhirnya baru saja Mas mendapatkan ikan itu, Sebenarnya Mas belajar tentang kepekaan. Mulai dari jari tanganmu, Mas membedakan getaran kail oleh arus atau tarikan ikan. Dari getaran itu dan arah goyangan pelampung Mas tahu arah pergerakan dan posisi ikan. Kemudian Mas secera cepat, bahkan tanpa sadar, mengerti harus menyentak kail ke arah mana sehingga ikan itu tersangkut dan tidak luput.” Lanjut sang bapak dengan detail menerangkan hal-hal luar biasa dari sekedar menarik ikan. “Yang terakhir, hal yang paling umum sudah dipahami. Memancing itu mengajari kita bersabar. Yang namanya menanti tidak pernah menyenangkan. Apalagi yang Mas nantikan ini hal yang tidak tentu. Namun selama harapan masih ada, semua akan menjadi seperti rokok kretek tadi, tidak akan menjadi sia-sia. Sampai sini apakah Mas mengerti?”, sang bapak mengakhiri penjelasannya.
Si pemuda hanya mampu mengangguk lemah, ia tak pernah menyadari hal luar biasa yang selama ini bisa ia pelajari dari memancing yang sudah lama ia gemari. “Saya suka semangat belajarmu, Mas. Teruslah seperti itu. Mari kita pulang, sudah hampir maghrib. Eh, Ngomong- ngomong, kenapa Mas suka memandangi Kali Progo ini?”, tanya sang bapak sambil mereka berjalan beriringan meninggalkan tepi sungai setelah sebelumnya melepaskan ikan bader kecil dalam ember. “Orang yang saya sayangi menyukai keindahan Kali Progo ini, Pak. Saya berharap suatu saat kami bisa memadangi Kali Progo ini berdua, walau itu hampir tak mungkin.” Jawab si pemuda.
***
“Kopi panas dan pahit?”, tanya pemilik angkringan di dekat pohon besar di muka Pakualaman. “Wah, nampaknya bapak sudah hafal dengan pesanan saya. Sama rokoknya satu ya, pak. Kali ini rokoknya yang kretek saja. Biar mantap”, jawab pemuda sambil tersenyum.“Wah, tumben ini pengen yang mantap. Eh, Mas. Kalau boleh tahu Mas itu aslinya mana kok sering banget mampir di sini? Padahal kalau orang sekitar sini, rasanya saya jarang melihat Mas, kecuali pas mampir kesini”, tanya pemilik angkringan.“Saya ini dari Godean, Pak”, jawab si pemuda sambil menerima kopi panasnya dan mengepulkan asap rokok kreteknya. “Weh, kok jauh ternyata. Lha Mas ini ngekos di sekitar sini apa gimana?”, lanjut sang pemilik angkringan. “Tidak kok, Pak., tapi saya suka main ke sini. Ada harapan yang mungkin tidak akan tercapai di sini”, jawab pemuda itu. “Skak-Ster!”, seru seorang bapak yang asyik bermain catur.“ Mas, dengar itu tadi? Skak-Ster, Mas.”, tanya pemilik angkringan. “Iya, saya dengar.,terus kenapa, Pak?”, jawab si pemuda.“Skak-Ster, itu pamungkas dalam catur Mas. Menghasilkan keuntungan yang besar, tapi Mas, sebelum skakmat, pertandingan belum usai. Mas juga begitu. Mas bilang mungkin harapan Mas tidak mungkin tercapai. Tapi selama Mas masih berharap dan mau berikhtiar dengan setia ke sini, semua masih mungkin Mas. Belum skakmat, lho itu”, papar pemilik angkringan.
Luar biasa. Entah itu tulus untuk memberi pemuda itu semangat, atau sekedar memancing agar pemuda itu mau terus datang setiap sore untuk membeli kopi pahit dengan harga yang sama dengan kopi manisnya sehingga ia bisa mengambil untung lebih dari penghematan gula. Namun bagi si pemuda kata-kata itu luar biasa. “Lha emang apa toh harapannya, Mas?”, tanya pemilik angkringan. Pemuda itu tersenyum. Dalam hati pemuda itu mengakui ke-Jawaan pemilik angkringan yang memberikan perhatian dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tampak personal. “Saya menantikan seorang gadis dari daerah Bintaran ini, Pak. Berharap bisa bertemu, tapi entah”, jawab si pemuda. “Woalah, sabar Mas. Belum skakmat”, sahut pemilik angkringan dengan candanya.
Di Pakualaman dan tepi kali Progo, pemuda itu merasa belajar banyak hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Belajar dari hal-hal sederhana dan bimbingan orang-orang sederhana yang luar biasa. Sekali ia tarik hisapan panjang pada rokok kreteknya. “Mas, sudah baca koran?”, tanya pemilik angkringan seraya memberikan sebuah koran harian lokal kepada si pemuda. “Belum, kenapa?”, tanya pemuda seraya menerima koran dari pemilik angkringan. Di headline tertulis berita tentang penemuan jenazah korban tenggelam di kali Progo seminggu yang lalu. “Mas kan orang Godean, dekat dengan lokasi berita itu.”, jawab pemilik angkringan sambil menunjukan berita yang menjadi headline koran. Pemuda itu memandangi foto korban. Sebentar kemudian ia terkejut. “Pak, orang di foto ini baru saja mancing bersama saya di kali Progo kemarin sore”.
Yogyakarta, Maret 2015
Editor: Agustinus Rangga Respati