Berjalan di Antara Kepungan Tembok Kota: Apa yang Dapat Diwariskan oleh Seni Grafiti?

Tulisan ini pada mulanya difungsikan sebagai walltext pada pameran Berjalan di Antara Kepungan Tembok Kota, 17 – 31 Desember 2022 di Galeri Lorong. Dengan menampilkan tiga seniman yaitu, Begok Oner, Burhanudin Reihan Afnan, dan Riski Reas. Namun, karena terlalu kepanjangan walltext ini tidak terbaca dan memerlukan media lain untuk menyampaikannya. Perpindahan media ini pun semoga menjadi alternatif dari kegagalan tersebut, mari membaca walltext yang gagal ini.

Ruang publik menjadi titik temu dari beragam aktivitas masyarakat. Berbagai elemen di dalamnya memungkinkan masyarakat untuk meresponnya. Banyak terjadi di ruang publik perkotaan adalah sebagai panggung dari perebutan eksistensi. Kota yang menahbiskan dirinya sebagai pusat selalu menjadi tolak ukur maupun rujukan dari wilayah-wilayah pinggiran. Banyak infrastruktur penting berdiri di perkotaan, laju dinamika masyarakat pun turut terdongkrak. Dalam kencangnya laju masyarakat itu, kebanyakan individu di dalamnya mencoba mengais-ngais atensi atas kehadiran dirinya di tengah percepatan. Ruang publik pun menjadi pilihan termurah dan egaliter supaya mereka memperoleh perhatian di sana.

Perebutan eksistensi di ruang publik terjadi dalam beragam cara dan media. Kepentingan yang melatar belakangi aksinya juga berbeda-beda. Setidaknya, hampir seluruh pergulatan perebutan eksistensi di ruang publik fisik terjadi pada tembok-temboknya. Sebagai cara dari perebutan tersebut beragam informasi yang perlu publik tahu tertempel tak beraturan dan saling menindih di tembok; banner parpol terpaku di sana, lembar-lembar fotokopi berisi informasi pagelaran saling menindih, spanduk pengusaha jalanan memohon untuk dilirik dan segudang embel-embel lainnya. Nasib dari “keberadaan” mereka pun sepenuhnya diserahkan kepada bentang tembok perkotaan.

Dari sekian banyak cara guna mendapat antensi publik, grafiti dan tag—atau yang populer di Indonesia disebut dengan tagging—memiliki frekuensi yang paling tinggi penggunaannya dan intensitasnya untuk berada dalam tembok kota. Dua jenis praktik itu berada pada kategori seni jalanan. Yang kehadirannya sekarang bahkan sulit dipisahkan dengan infrastruktur perkotaan.

Grafiti dan tagging sangat mudah ditemui di tembok-tembok perkotaan. Namun, perlu diakui bahwa tagging lah yang paling banyak ditemui bahkan pada sudut-sudut tersempit bangunan perkotaan sekalipun. Kebanyakan dari tagging bertuliskan nama samaran penulisnya atau nama-nama kelompok sosial tertentu seperti geng. Karena sifatnya yang instan, cepat dan mudah untuk dibuat menjadikan tagging lebih dipilih oleh khalayak luas guna menandai suatu wilayah serta menunjukkan kepada publik bahwa mereka ada. Hal ini berbeda dengan grafiti pada umumnya yang memerlukan ruang lebih lebar dan membutuhkan waktu lebih lama dalam pembuatannya.

Gambar 1. Pameran “Berjalan di Antara Kepungan Tembok Kota”, 17-31 Desember 2022.

karya Reas memposisikan tagging sebagai bentuk citra dari sifat dan kondisi masyarakat urban khususnya anak muda. Mengingat tagging memiliki bentuk huruf (font) tersendiri hal ini memungkinkan dapat menjadi gambaran seperti apa konteks dari lahirnya bentuk huruf tagging begitu pun karakter masyarakat yang memakainya. Peristiwa serta lingkup kehidupan sosial tertentu memiliki pengaruh kuat dari lahirnya sebuah bentuk huruf. Bentuk huruf alfabet yang sekarang menjadi piranti tulisan utama di hampir seluruh penjuru negeri memiliki beragam jenis dan berbagai konteks melatarinya. Seperti, huruf stensil yang berkembang pesat di kehidupan militer serta perang, huruf roman/serif dipergunakan dalam alat percetakan industri media massa koran dan buku, huruf script yang banyak digunakan untuk mengekspresikan tulisan-tulisan bersifat sastrawi. Beragam bentuk huruf itu pun membawa kesannya tersendiri sesuai konteks di mana dia lahir atau dipergunakan, huruf stensil menimbulkan kesan tegas, sistematik dan strategically. Bentuk huruf roman/serif menimbulkan kesan klasik, anggun dan feminin. Sedangkan script lebih menimbulkan kesan intim, pribadi dan akrab. Konteks, kesan, pengetahuan dan semangat itu pun juga besar kemungkinan terkandung dalam tagging yang secara khas lahir dan dipergunakan oleh sebagian masyarakat urban di masa ini.

Gambar 1. Riski Reas, “Funk Yeah”, Hand Cut on Paper 84 cm x 1000 cm, 2022.
Gambar 2. Riski Reas, “Funk Yeah”, Hand Cut on Paper 84 cm x 1000 cm. (detail)

Tembok-tembok perkotaan sebagai media penyiar turut memiliki narasi tersendiri di antara riuhnya coretan di wajahnya. Tembok di ruang publik itulah yang menjadi alam dari grafiti dan tagging. Kondisinya yang dalam keadaan berbagai macam adalah tantangan sehari-hari para petarung eksistensi hadapi. Bentang tembok cukup menentukan dari bentuk tagging maupun grafiti yang akan dieksekusi. Pengaruh tembok untuk kedua praktik itu turut memberikan nafas panjang atas kehadiran dan perkembangannya di ruang publik.

Begok Oner dan Burhanudin Raihan Afnan memfokuskan karya mereka saat ini untuk mempelajari tembok-tembok yang dipakai oleh masyarakat luas sebagai media percaturan eksistensi. Berangkat dari tempat-tempat tak berpenghuni (abandoned place) Begok Oner menunjukkan proses perebutan eksistensi telah menjalar di ruang-ruang yang tak tersentuh oleh publik luas sekalipun. Berbagai tempat kosong, terbengkalai, tinggal hanya puing-puing penuh coretan tagging dan grafiti menjadi subject matter dari karya Begok Oner. Dalam karyanya itu, Begok menunjukkan kepada publik bahwa abandoned place memiliki prespektif lain di mata seniman grafiti.

Di penglihatan pada umumnya abandoned place lebih dipersepsikan sebagai bangunan kosong dengan kondisi rusak dan menimbulkan rasa enggan untuk menapakinya. Sisa tembok-tembok dari tempat dengan kondisi seperti itu pun dianggap sebagai “tembok mati” karena telah kehilangan fungsinya. Sedangkan di mata seorang seniman grafiti, abandoned place memiliki daya tersendiri yang selalu berhasil mengundang mereka untuk memenuhi tempat tersebut dengan grafiti dan tagging. Perbedaan itu pun memperlihatkan persepsi bahwa “tembok mati” bersifat relatif, sebab di lapangan “tembok mati” kemudian diperebutkan oleh seniman grafiti guna menunjukkan eksistensi mereka dengan cara menandai tembok-tembok tak berpenghuni itu. Pada akhirnya, yang di awal abandoned place lebih dikenal sebagai “tembok mati” menjadi “tembok hidup” oleh seniman grafiti karena memiliki daya untuk menciptakan aktivitas di sana. Selain itu, Begok dengan karyanya menegaskan bahwa grafiti dan tagging hari ini telah menjadi bagian dari bangkai-bangkai arsitektur.

Gambar 3. Begok Oner, “Object Study #1-5”, Beton, Acrylic on paper, Variable dimension, 2022.
Gambar 4. Begok Oner, “Object Study #1-5”, Beton, Acrylic on paper, Variable dimension, 2022. (detail)
Gambar 5. Begok Oner, “Object Study #1-5”, Beton, Acrylic on paper, Variable dimension, 2022. (detail)

Kondisi tembok yang dijadikan media perebutan eksistensi ditangkap lebih detail oleh karya dari Burhanudin Raihan Afnan. Selain tembok yang menjadi kedekatan Burhan ketika membuat grafiti di jalanan sebagai keberangkatan berkaryanya, dia turut memiliki kegelisahan atas perkembangan grafiti saat ini. Burhan melihat grafiti hari ini, di beberapa sisi, cenderung dibuat untuk memenuhi permintaan pasar seni rupa. Jika keliaran grafiti yang mulai tereduksi oleh permintaan pasar hal ini berpotensi membuat seni grafiti mengalami stagnasi artistik dan gagasan. Karya grafiti yang dibuat dalam niatan seperti itu kebanyakan hanya dieksplorasi pada unsur formalnya seperti garis, warna, komposisi, dan karakter-karakter bergaya lowbrow. Kenyamanan berkarya tersebut berpotensi akan menimbulkan berhentinya pembacaan kritis terhadap grafiti. Unsur formal dalam grafiti tentu tidak salah jika dikembangkan, tapi jika hal itu membuat rasa enggan untuk membicarakan grafiti lebih jauh akan menyebabkan ketidakmampuan seniman grafiti untuk menambah nilai karya grafiti di hadapan citra masyarakat di negara ini yang masih menganggap praktik itu sebagai kriminal.

Dalam karya Burhan, seni grafiti dibicarakan beriringan dengan konteksnya yaitu, tembok. Kondisi tembok yang lapuk, penuh cat kusam saling menimpa, menjadi gambaran detail tembok-tembok yang dibuat Burhan atas pengamatannya selama menjadi seniman grafiti. Dari pengamatan sampai pembuatan ulang tembok itu, Burhan secara otomatis mempelajari seperti apa kondisi tembok dari masyarakat urban hingga bagaimana terbentuknya. Karakter-karakter lowbrow yang digambarkan Burhan di atas tembok yang dibuat turut menjadi katalis dari pesan yang hendak disampaikan.

Gambar 6. Burhanudin Reihan Afnan, “Head Cut”, mix media on fiberglass 70 cm x 70 cm, 2022.
Gambar 7. Burhanudin Reihan Afnan, “Head Cut”, mix media on fiberglass 70 cm x 70 cm, 2022. (detail)
Gambar 8. Burhanudin Reihan Afnan, “Leftovers”, mix media on fiberglass 70 cm x 70 cm, 2022.

Antara Begok Oner dan Burhan keduanya membicarakan grafiti melalui alamnya. Bangunan kosong dan tembok-tembok rapuh adalah bagian tubuh grafiti yang tidak dapat dipisahkan. Hal itu membuat karya mereka berdua begitu kuat membawakan aura grafiti tanpa harus menampilkan grafiti secara langsung. Melalui praktik artistik, mereka juga memahami bagaimana ruang itu terbentuk dan direbutkan. Aura atau semangat grafiti yang dibawakan mereka berdua turut mengindikasikan bahwa praktik seni jalanan ini telah menyublim menjadi ideologi.

Masyarakat urban saat ini menjadi susah dipisahkan dari kehadiran grafiti maupun tagging. Kedua seni jalanan itu telah menjadi bagian dari arsitektur bangunan kota dan realitas keseharian masyarakat urban sekarang. Reas, Begok Oner dan Burhan melalui karya mereka bersama-sama memaparkan bagaimana perebutan eksistensi itu terjadi di ruang-ruang publik masyarakat urban. Kondisi-kondisi tembok yang diperlihatkan adalah gambaran bagaimana masyarakat urban saat ini menjalankan kehidupan. Takdir tembok grafiti menjadi artefak masa kini pun tak terhindarkan. Grafiti di atas tembok-tembok kota adalah jejak peradaban manusia di suatu masa yang dapat dibaca sebagai gejala.


Editor: Tim SudutKantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts