Kumpulan puisi ini; Melankolia Agustus, Menjaga Fatma Tidur, dan Biar Aku yang Mengantar Kau Pulang Hari Ini, ditulis oleh Azman Hassam. Lahir di Singaraja, Bali. Biasa dipanggil Ajeman, seorang mahasiswa yang kini hijrah sementara dan menempuh pendidikan di UIN Maulana Malik Ibrahim kota Malang. Tergolong aktif di komunitas sastra, salah satunya di Pelangi Sastra Malang. @azmnhssmb
Melankolia Agustus
Agustus tiba, Agustus tiba, Agustus tiba
Menjelajah dan mencari letak sorga di tanah iba ini
Menghitung badai serta gempa laut
Agustus datang, melaju melewati tanah-tanah keputusasaan, goa-goa gelap dan jalan-jalan yang macet.
Rumah-rumah lahan yasan beramai-ramai memasang bendera
Mal-mal berfasad merah putih sudah mulai nampak
Demikian indomart, alfamart, bahkan swalayan-swalayan kota
Apa yang sebenarnya dirayakan mereka, sayang?
Kemerdekaan, kah?
Masih pantaskah ada kemerdekaan di penjara ini?
Di saat rakyat menjadi asing di tanahnya sendiri
Di saat rakyat seperti pengungsi dari negeri berantah
Dipaksa diam padahal perut kelaparan
Dipaksa tak bekerja padahal anak istri mengharap nasi ada di rumah.
Agustus tiba, sayang, Agustus tiba
Sambil membawa bunga kususuri jalan setapak arah rumah kita
Belum sampai perempatan, kulihat mobil-mobil jeep berserakan, membawa wajah kekuasaan
Darinya turun aparat-aparat berseragam coklat, mengepung senggol seperti mengepung markas teroris
Mereka meneriaki dan memaki setiap rakyat yang tak patuh edaran surat
Mereka memporak-porandakan usaha orang-orang kecil
Menutup paksa warung kopi dengan cara tak bijaksana
Namun di sisi lain, mereka merasa bodoh dan idiot saat korupsi berkeliaran di mana-mana.
Berlagak hebat waktu menindas
Berlagak tak tahu apa-apa waktu disuap
Di manakah kemerdekaan, sayangku, di mana?
Haruskah kukibarkan bendera ini dengan wajah tak berdosa?
Sementara di belantara negerimu danau jernih dijadikan tempat pembuangan limbah
Persawahan disulap menjadi hotel-hotel berbintang
Perkampungan-perkampungan kian miskin; tangisan bocah-bocah yang lapar melayang di langit pertiwi
Tanah warga dirampas dan dibangun pabrik-pabrik
Jalanan dipenuhi mayat-mayat mahasiswa yang bergelimpangan akibat demo membela keadilan.
Di mana kemerdekaan, sayangku, di mana?
Pantaskah kukibarkan bendera ini dengan wajah bahagia?
Sementara di belantara negerimu hutan-hutan kian gundul.
Malang, 10 Agustus 2021
Menjaga Fatma Tidur
“Fatma, tidurlah terlebih dulu.” Kukatakan padamu. Tak ada jawabmu barang sebait. Kau menurutiku, seperti Sumarah menuruti Marto tanpa pembelaan.
Aku ingin begadang malam ini, Fatma. Menjaga tidurmu di apartemen murah yang kita sewa bersama, sambil terduduk di dekat jendela, menghikmahi malam, menghirup polusi kota yang dibungkus kerlip bintang-bintang, melihat lampu-lampu kafe, restoran dan jalanan.
Lampu-lampu itu menyeretku ke masa lalu, Fatma, masa lalu. Pada nyala obor di desa kita nan jauh, pada malam-malam ganjil pertemuan kita di gubuk perbatasan desa, pada percumbuan kita di rumpun bambu dan di pematang-pematang sawah pada musim paceklik. Saat itu kuciumi bibirmu yang penuh gincu, kuremas payudaramu yang menyerupai ombak, dan seketika kau gemetar, merasa ada yang memantau persetubuhan kita dari kejauhan.
Mendadak aku keluar dari nostalgia birahi itu dan mendengar dengkuranmu yang begitu keras, begitu keras, begitu keras. Persis dengus kota dari tumpukkan kabut yang terbelah, melayang-layang di pencakar gedung seberang apartemen murahan kita. Dengkuranmu mengelupaskan lembar-lembar kelelahan sebab perjalanan kita dari pinggiran kota ke pusat kota.
Dan kelopakku pun kian menutupi separo mataku, Fatma. Tapi aku akan tetap begadang malam ini, menjagamu yang tidur berselimut kain berdebu yang tak kaucuci semingguan, sampai pagi akan tandang walau langit masih hitam kebiruan, Fatma, walau langit masih hitam kebiruan.
Hingga tiba waktu ketika bulan semakin pudar di langit, mengijinkan cahaya kuning waktu pagi menyusup ke jendela kita dan menyapu halus pulas tidurmu yang masih terkulai di antara mimpi dan kenyataan. Kemudian aku berbaring di sampingmu, mendekap tubuhmu, melindungimu agar tak terbangun oleh kicau burung-burung di luar, di langit kota yang lamat-lamat terang ini.
Malang, 14 Agustus 2021
Biar Aku yang Mengantar Kau Pulang Hari Ini
Biar aku yang mengantar kau pulang hari ini, melewati jalanan berlubang yang tidak diperhatikan pemerintah, melewati lekuk-lekuk gang. Aku ingin memegang tangan kau dan menemani kau pulang dengan melewati senggol, lapak kaki lima, tambal ban, warung orang-orang miskin, dan pasar-pasar bau ikan asin. Aku ingin mengantar dan menemani kau pulang dengan melewati supermarket mewah yang didatangi orang-orang kaya, melewati mal-mal tinggi yang di dalamnya orang-orang merasa berbudaya menggunakan bahasa asing, dan melewati hotel-hotel bintang lima yang diisi pejabat-pejabat korup.
Aku ingin mengantar kau pulang, melintasi rel kereta, nyebrang jalan, melewati sekian lampu merah sekian perempatan sekian simpang lima. Aku ingin menemani kau naik bus kota dan berhimpitan di dalamnya dengan banyak orang, bersidekap dalam pengap. Aku ingin mengelap keringatmu yang menetes dari kening hingga leher dengan tisu di sakuku ketika bus kota terjebak macet. Lalu kita jongkok menciptakan ruang sendiri, berciuman layaknya remaja masa kini.
Malang, 23 Juli 2021
Foto: Paula Natasya