Ari Wulu, Andreas “Ucok” Siagian, dan Wok The Rock berdiri di atas panggung Performa ARTJOG pada malam minggu (27/7) lalu. Mereka bertiga mempresentasikan sebuah proyek yang mereka inisiasi bersama: Gaung. Dalam proyek ini, mereka mencoba melahirkan sebuah catu daya dan stasiun jaringan kerja untuk skena musik elektronik di Yogyakarta yang akan berlangsung pada 2025 nanti. Upaya ini dilakukan guna menjawab pertanyaan publik tentang bagaimana skena musik elektronik bekerja.
Hari itu di panggung Performa ARTJOG, Jogja National Museum adalah milik Gaung Ignition. Sedari sore dihadirkanlah penampilan dari para entitas yang kerap mewarnai skena musik elektronik di Yogyakarta. Gaung Ignition diawali oleh penampilan Kisa, Ayash, dan Kombo Lab. Pada Kombo Lab mereka menghadirkan pertunjukan musik improvisasi yang menghadirkan Key Ran, Ramberto Agozalie, Mahamboro, dan Youga. Pertunjukan itu dilanjut dengan Metatesis (Nadya Hatta dan Dyah “Woro” Isaka), Jumat Gombrong, dan ditutup secara meriah oleh Gabber Modus Operandi.
Di tengah pertunjukan itulah presentasi mereka bertiga hadir. Mereka naik ke atas panggung setelah dibuka oleh dedengkot musik di Yogyakarta yaitu Ajie Wartono. Mereka hadir dengan visual panggung atraktif yang membuat mata terbelalak. Satu per satu dari mereka menyampaikan presentasinya. Seperti Beastie Boys, tapi lebih cengengesan khas gaya orang Yogyakarta.
Dalam pembukaannya, Ajie Wartono mengungkapkan pendapatnya soal ekosistem musik di Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa kehidupan bermusik di Yogyakarta sebetulnya sangat menyenangkan. Banyak musisi-musisi yang turut mewarnai musik di Yogyakarta. Pada catatannya saja, periode ’90 hingga 2000-an jumlah grup musik indie di Yogyakarta mencapai 1000 lebih. Hal tersebut menjelaskan akan bagaimana semangat anak-anak muda dalam bermain musik. Namun sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan industri yang memadai.
Ketiga tokoh skena di Yogyakarta ini pun lalu melakukan presentasinya. Ari Wulu membukanya dengan sejarah masuknya musik elektronik di Indonesia. Dari Slamet Abdul Sjukur yang belajar di Prancis pada tahun 1963 hingga hadirnya diskotek-diskotek yang menjamur di Indonesia. Munculnya diskotek atau klab di era 90-an telah mengubah budaya menikmati musik di Indonesia.
Frontman dari grup musik eksperimental Sejuta Kata Makian (SKM) ini menjelaskan bahwa pada tahun 1980-an, musik-musik elektronik semacam ini terus berkembang dan disebut sebagai musik kontemporer. Tokoh-tokoh yang muncul saat itu adalah Harry Roesli, Otto Sidharta, dan Sapto Raharjo. Menjelang tahun 90-an, banyak sekali musisi Indonesia yang mulai menggunakan synthesizer karena banyak di pasaran. Musisi synthesizer gelombang ini di antaranya adalah Igor Tamerlan, Fariz RM, Barakatak, dan Andy Ayunir.
“Di era musisi-musisi itu yang berkembang adalah musik pop. Yang sebenarnya kalau kita cermati itu mirip-mirip kalau di luar sana berkembang dream-pop synth-wave, di era-era setelah kejayaan eranya 70-an. Setelah psychedelic melanda dan seterusnya itu ada era-era nuansa elektronik muncul di musik-musik di seluruh dunia. Kemudian di Indonesia muncul budaya mendengarkan musik atau menikmati musik di diskotik atau klab,” ucap Ari Wulu.
Pada pemaparan selanjutnya, Ari Wulu pun menjelaskan tentang bagaimana musisi indie saat itu membuat musik elektronik hingga skenanya. Musik saat itu dibuat dengan software under DOS, menggunakan hardware device Nintendo, Roland MC-505, hingga membawa pc di atas panggung. Muncul pada gelombang anak muda saat itu kelompok-kelompok macam Future Sound of Pejaten, Homogenic, G-tribe, Teknoshit, SKM, Mobil Derek, Jahanam, Melancholic Bitch, dan sebagainya. Skena tersebut memunculkan gelaran Mencari Harmoni, lalu berubah menjadi Parkinsound di Yogyakarta yang menghadirkan gigs elektronik dan eksperimental pada awal 2000-an.
Ucok melanjutkan presentasi tentang bagaimana perkembangan teknologi telah mempengaruhi musik elektronik di Indonesia. Pada tahun 70-an, Guru Besar Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM Profesor Adhi Susanto sudah menjadi instrument builder berbasis elektronik pertama dengan menciptakan synthesizer dengan bunyi gamelan. Menurutnya, teknologi midi yang banyak dipakai musisi saat itu juga menjadi munculnya kolektif macam House of Natural Fiber (HONF Lab) yang membuat Breakcore Labs yang telah membuat skena musik elektronik kembali hidup.
Disambung oleh Wok The Rock, presentasinya bercerita tentang munculnya gelombang anak muda yang selalu hadir dalam setiap skena musik elektronik underground. Perkumpulan-perkumpulan semacam ini semakin menguat di Yogyakarta. Dari awalnya berkumpul, lalu bikin band, kolektif, hingga mengorganisir acara.
Pertunjukan musik pada awal milenium 2000, menurutnya terus melakukan eksplorasi. Hal tersebut dilakukan dengan menghadirkan interdisiplin seni: menggunakan musik elektronik, teater, seni video, dan sebagainya. Saat itu mereka menyebut pertunjukan semacam ini dengan istilah multimedia performance.
Pada 2000-an muncul kolektif-kolektif yang ingin memainkan musik yang tidak populer di televisi. Di antaranya ada HONF, Common People, Soundboutiqe, Principal of South, dan Art Music Today. Dari kelompok-kelompok ini diinisiasilah acara semacam Urban Gathering, Electrocity, Noise to Meet You, Breakcore Labs, dan Hang The DJ. Pada 2010-an, muncul kemudian Jogja Hiphop Foundation yang dilanjut dengan Yes No Klub, Jogja Noise Bombing, Hellhouse, Indonesia Netaudio Forum, October Meeting, Nusasonic, dan sebagainya.
“Tapi selama perjalanannya itu terus ada bertumbuhnya komunitas event-event, karya-karyanya yang sangat keren bagus, komprehensif, tapi bekerjanya masih serabutan. Meskipun beberapa di antaranya bekerja secara profesional bahkan didanai oleh pendanaan besar. Namun kondisi serabutan ini membuat perkembangan skenanya kurang komprehensif, jadi naik turun kadang hilang,” tambah Wok.
Gaung dirancang untuk menjawab permasalahan skena musik elektronik di Yogyakarta yang rasanya terus mengalami pasang surut. Semua seperti menunggu ada yang datang lalu menghilang. Ada yang digadang-gadang lalu pergi entah kemana. Perjalanan panjang eksplorasi musik elektronik baik secara sejarah, praktik, metode, alat, hingga komunitas akan dipertautkan dan dirangkai menjadi satu wujud bersama.
Inisiatif ini dilakukan sebagai upaya mendesentralisasikan segala gerakan eksplorasi musik elektronik di Yogyakarta tanpa mengabaikan praktik/komunitas musik elektronik yang akan terus tumbuh dan berkembang. Gerakan ini juga sekaligus membuka akses seluas-luasnya terhadap berbagai macam kemungkinan ke depannya. Tidak membuat sesuatu yang baru tapi menciptakan sebuah kebaruan untuk pengorganisirannya.
“Jadi ini kami menawarkan Gaung menjadi salah satu hub yang kemudian bisa mendaya gunakan semua potensi yang ada di Jogja, bahkan di luar Jogja saat ini untuk membuat sebuah festival musik,” sambungnya.
Ari Wulu menjelaskan bahwa dalam praktiknya, Gaung akan bekerja secara modular: memberdayakan dan menghubungkan komunitas, inisiatif, juga proyek musik untuk secara kolektif menyelenggarakan penelitian, seminar, lokakarya, pertunjukan dengan beragam skala dan bentuk di berbagai lokasi di Yogyakarta selama 10 bulan. Platform ini bertujuan untuk memperkuat jaringan kerja budaya yang berkelanjutan dengan mengadopsi model kerja gotong royong.
Gaung juga mencoba tidak mengubah semua upaya yang sudah dilakukan oleh para kolektif lain. Ucok mengungkapkan prototype seperti ini sudah pernah dilakukan dalam gelaran Nusa Sonic.
“Dengan itu kami akan menciptakan Gaung sebagai platform untuk menunjang korelasi dan interaksi baik para penyelenggaranya, para pemainnya, dan spektatornya yang bersifat saling menguntungkan,” tambahnya.
Wok mengungkapkan Gaung digunakan sebagai uji coba sistem kerja baru yang merupakan pengembangan tradisi kerja kolaboratif lokal yang sudah Yogyakarta miliki. Hal tersebut dilakukan lewat bekerja sama dengan beberapa kolektif, inisiatif, dan proyek musik lokal yang telah membuktikan konsistensi dan komitmen mereka terhadap kancah musik elektronik di Yogyakarta hingga Indonesia secara global. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan kapasitas musisi dan pelaku kerja kreatif melalui edukasi budaya, keahlian teknis, dan tata kelola program.
Dalam bekerjanya, Gaung memiliki 12 program yang nantinya akan direalisasikan dengan bentuk festival musik. 12 program itu adalah Kenduri Kolektif, Laboratorium, Seminar, Diskotek, Musik Improv, Musik Kampung, Ambient Spasial, Hip Hop, Mobile Noise, Musik Klab, Rave, dan Gaung Gong.
Kedua belas program tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Kenduri Kolektif, sebuah acara di mana semua kolaborator berkumpul untuk kenalan. Setiap kolaborator melakukan presentasi tentang kolektifnya dan acara diselenggarakan dengan gaya kenduri dan pertunjukan musik sederhana. Hal ini penting untuk menciptakan Gaung sebagai sebuah ekosistem komunitas bersama.
Laboratorium, lokakarya penciptaan karya kolaboratif bagi musisi dan lokakarya pengelolaan pertunjukan musik bagi pegiat musik. Seminar, sebuah seri diskusi dan kuliah umum yang membahas tentang Sejarah, perkembangan musik, dan pemikiran kritis. Diskotek, sebuah wahana pengetahuan yang menampilkan ruang perpustakaan musik dan pameran arsip Sejarah musik elektronik di Indonesia.
Musik Improv, konser musik improvisasi yang ditampilkan secara kolaboratif dan partisipatoris melibatkan musisi dan public untuk berpartisipasi. Musik Kampung, pertunjukan musik elektronik yang digelar di dalam kampung. Ambient Spatial, konser musik ambient yang ditampilkan sound system spatial multi-kanal di ruang terbuka.
Hip Hop, konser musik hip-hop yang dikelola bersama kolektif musik Jumat Gombrong. Mobile Noise, pertunjukan musik noise yang digelar di beberapa ruang public di Yogyakarta. Musik Klab, pesta musik elektronik yang menampikan musik klab/dansa kontemporer. Rave, kemah dan pertunjukan musik yang digelar di tepi Pantai. Program ini juga mengajak pengunjung untuk membersihkan Pantai dan lingkungan sekitarnya secara gotong royong. Terakhir Gaung Gong, konser musik yang secara khusus dikuratori oleh Gaung dengan menampilkan musisi elektronik terbaik dari Indonesia.
Mendengarkan apa yang dipaparkan, para penikmat musik elektronik di Indonesia semestinya menanti gebrakan baru apa yang akan dilakukan para abang-abangan skena musik di Yogyakarta ini. Mereka seperti memberi nafas baru dalam skena musik elektronik yang saat ini terkesan muncul namun bisa jadi besok hilang.
Gebrakan ini seperti mengunggah sebuah wacana ekosistem musik baru yang patut dinanti dalam festival dengan rentang waktu yang cukup panjang tersebut. Selamat lahir Gaung, sampai jumpa di 2025 nanti.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Swandi Ranadila