Hilmy Fadiansyah: “Zine itu penghubung kabar gerakan di berbagai kota!”

Bagi Hilmy Fadiansyah, semangat memproduksi zine tak pernah lekang oleh waktu, meskipun pola pendistribusiannya sudah berbeda. Zine menjadi alat komunikasi kabar komunitas di berbagai kota.

“Setiap terpelajar mulailah mendokumentasikan sejarah. Supaya setiap saat punya bahan yang bisa dipakai. Tanpa dokumentasi, gerayangan saja.”

Begitulah anjuran Pramoedya Ananta Toer. Bagi Pram, upaya mengingat segala peristiwa di masa lampau adalah senjata ampuh bagi warga untuk melawan pengaburan sejarah oleh penguasa. Salah satu upaya melawan lupa yang dianjurkan Pram adalah: mengkliping atau mengumpulkan arsip-arsip yang berserakan. 

Apa yang dikatakan Pram, kemudian dilakukan oleh Hilmy Fadiansyah, lulusan Magister Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui pameran arsip bertajuk “Sampai Sekar Menjadi Alang” (selanjutnya disingkat SSMA) di Jogja National Museum (JNM) dalam perhelatan Yogyakarta Art Book Fair (YKABF) 2025 yang berlangsung selama 2-4 Mei 2025. Dalam catatan kuratorialnya, Hilmy melihat arsip sebagai gerbang awal untuk memahami fenomena politik, sosial, dan budaya di Indonesia, lebih khusus di Bandung. 

Lewat kumpulan arsip berupa zine, poster protes, album musik politis, serta kliping koran Hilmy berusaha merekam politik keseharian warga yang anti-otoritarian dan mendambakan dunia tanpa penindasan pasca orde baru.

Pameran ini, menurut Hilmy, merupakan pengembangan dari pameran miliknya yang sudah digelar tahun lalu di Bandung bertajuk Membaca Gejala dari Jelaga (selanjutnya disingkat MGDJ). 

“Proyek kuratorial MGDJ membahas bagaimana dinamika sosial, politik, budaya, dan ekonomi di Indonesia, khususnya di Bandung, melalui sudut pandang alternatif. Yang saya pilih waktu itu [arsip] Herry Sutresna atau Ucok Homicide,” ujarnya.

Dalam pameran MGDJ, yang merupakan tugas akhir program magisternya, Hilmy menghimpun beberapa arsip-arsip milik Herry Sutresna. Arsip yang ia kumpulkan adalah yang bersinggungan dengan peristiwa penting nan terjadi saat orde militer Suharto hingga tahun 2024.

Dalam rentang waktu 1994-2004, Hilmy memecah menjadi lima bagian, atau ia menyebut lima babak. SSMA sekaligus menjadi perpanjangan proyek dari MGDJ dan mengambil periode waktu pasca orde baru, dari tahun 2001-2005.

“Sudut pandang pameran ini bukan dari Herry Sutresna saja, tapi gimana individu dan kelompok di Bandung bergerak sesuai dengan minatnya masing-masing untuk survive dan menjalankan hobinya,” tuturnya menerangkan. 

Hilmy ingin agar pamerannya kali ini tidak lagi bertumpu pada salah satu sosok, ideologi, maupun kecenderungan yang tunggal. Arsip-arsip yang dia suguhkan menembus dan mendobrak sekat yang menghimpit ruang gerak warga dalam menghidupi satu semangat yang sama: fasisme harus diberangus. Menurutnya, setiap orang bisa ambil bagian dalam rangka melawan kesewenang-wenangan negara, dengan kesenangan masing-masing.  

Di tembok putih sisi belakang Pendopo Ajiyasa, para pengunjung bisa melihat poster bernada protes seperti “Kampanye Anti Militerisme”, atau berbagai zine karya individu atau kolektif di Bandung yang mengangkat tema anarkisme, skena hardcore-punk, pop culture, atau kliping selebaran informasi pemutaran film anti-liberalisme, juga foto kegiatan anak muda Bandung yang sedang bersenang-senang.

Selain itu, pengunjung diberi kesempatan untuk mendengarkan musik dari album milik Hark! It’s A Crawling Tar-Tar berjudul Dorr Darr Gelapp Communique. 

Pameran arsip Sampai Sekar Menjadi Alang di YKABF 2025 (dok. Hifzha Aulia Azka)

Zine Dirayakan dari Zaman ke Zaman

Yogyakarta Art Book Fair 2025 menyajikan berbagai bentuk terbitan fisik dari 32 exhibitor yang mengangkat hal-hal yang terpinggirkan dan menonjolkan narasi-narasi yang mengambil posisi di tepian. Tema yang diambil adalah: “Marks & Margins”.

Pameran SSMA dari Hilmy Fadiansyah pun menawarkan suatu wacana atau praktek penerbitan sebuah zine yang menolak terjebak pada dunia arus utama. Kumpulan arsip zine pada pameran itu bersifat personal, tajam, dan ugal-ugalan. Semangatnya adalah mencari kawan sebanyak mungkin.

“Zine-zine yang ada di pameran ini adalah media untuk kenalan antar sesama komunitas. Cara awal untuk berkenalan adalah sama sama bertukar zine. Zine juga jadi media penghubung,” jelasnya.

Sebut saja zine Kegagalan Punk milik Pam. Dalam zine itu, si penulis meluapkan amarahnya terhadap kondisi lingkungan sekitarnya yang menjemukan dan terkontaminasi dengan budaya kapitalisme yang konsumtif. Ia juga memaparkan bahwa kultur punk yang sebenarnya perlu membikin resah penguasa, bukan malah saling berpelukkan dengan mesra. 

Hilmy juga menyatakan bahwa ide-ide seperti yang ditelurkan Pam akan semakin mudah disebar melalui zine. Menurutnya, zine adalah media yang mudah dibuat, sehingga penyebaran dan produksi media ini semakin cepat, bahkan berkembang biak secara pesat hingga hari ini. 

“Melalui zine, saat ngebarter, ada rasa kedekatan. Tidak ada lagi gatekeeping,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa semangat memproduksi zine tak pernah lekang oleh waktu, meskipun pola pendistribusiannya sudah berbeda. Ketika era teknologi belum marak seperti hari ini, membuat zine adalah kewajiban yang harus dilakukan. Bagi Hilmy, zine adalah wadah untuk mengabarkan kepada teman-teman lain soal gerakan atau kondisi di kota-kota lain.

Arsip Membentuk Memori Kolektif 

“Sampe hari ini tetap pasca orde baru. Kita masih belum menemukan kebaruan apa lagi? Kita belum bisa menemukan perubahan pada hidup yang kita jalani,” cerita Hilmy.

Pengambilan rentang waktu pasca orde baru ini membuka ruang diskusi yang elastis terkait pameran SSMA. Bagi Hilmy, berusaha membaca fenomena gejolak sosial melalui arsip yang dikumpulkan adalah cara untuk menemukan praktik-praktik kerja yang menunjukkan kecenderungan baru; baik cara berpikir, praktik sosial dan kerja kreatif.

Pameran arsip Sampai Sekar Menjadi Alang di YKABF 2025 (dok. Hifzha Aulia Azka)

Arsip-arsip yang dipamerkan Hilmy di YKABF 2025 juga membentuk memori kolektif akan trauma dari tentara, negara, Suharto, untuk kemudian diingat dan diobrolkan secara simultan dan tidak terputus. Apalagi, seperti kita tahu, maraknya serdadu menyerbu ruang sipil saat ini mengakibatkan hadirnya kembali memori buruk tentang hidup di bawah rezim militer.

“Hal-hal yang kita gamau hal ini datang kembali ternyata diwakilkan dengan arsip-arsip di pameran. Itu mewakili banget. Kalau secara teknikal apakah ada kesengajaan [digelarnya pameran ini] dengan RUU TNI, tidak ada. Sial aja bisa tepat,” pungkas Hilmy.

Apa yang dilakukan Hilmy, selaras dengan apa yang pernah diungkapkan Pram soal mendokumentasikan sejarah. Ketika penguasa abai terhadap sejarah, kitalah yang perlu memperhatikannya. Hilmy, Pram, dan para warga lainnya bisa sesekali menengok arsip dan merefleksikannya untuk menghadapi hari-hari selanjutnya. 


Editor: Zhafran Naufal Hilmy
Foto sampul: Hifzha Aulia Azka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Panjul dalam Lakon: Efisiensi

Related Posts