Kumpulan puisi ini: Kenisbian Kebudayaan, Di Malam Ketidaksengajaan, Perjamuan Kedua, dan 100 Hari di Surabaya. Ditulis oleh Syauqi Khaikal Zulkarnain, seorang yang lahir di Kangean dan tinggal di Yogyakarta, masih terus belajar berdoa dan mengatur silsilah.
Kenisbian Kebudayaan
Katamu:
Di malam penghabisan, Sayangku
Tumpahkan seluruh botol terakhir kita
Melewati bibir merah-darah kepunyaanku
Di sana kau menyelami keragu-raguan itu.
Aku terdiam sebagai laki-laki
Bahkan kematian juga belum pasti
Tapi hidup dan kedara-remajaan kita
Berlaluan ke seluruh penjuru kota
Melewati banyak lampu merah
Kita yang melupakan waktu
Di malam hilang batas itu
Aku mengukur isi setiap gelas
Di atas meja tempat tanganmu
Mencengkeram lenganku keras
Adakah kau mengerti
Tentang kenisbian kebudayaan?
Di sana kita menyesap bir paling pahit
Dalamnya kita simpan hangat kecupan
Lengkap dengan ciuman-ciuman panjang
Adakah kau paham
Tentang kenisbian kebudayaan?!
Padanya perasaan dan naif kerinduan
Coba kau terjemahkan, dengan
Kompleksitas rumus-rumus matematik
Kita akhiri malam dengan percakapan
Paling singkat di depan sebuah bar
Di sana, sekali lagi kucium lehermu
Tak ada bau alkohol dan asap rokokku
Anak manis, pulanglah ke pangkuan ibumu!
(Yogyakarta, 2024)
Di Malam Ketidaksengajaan
Kursi-kursi besi yang panjang
Bising ia membentur lusuh lantai
Lampu tak sepenuhnya terang
Dan musik riuh berdentuman
Kita ada dalamnya
Maksudku, kita ada pada pusatnya
Berbisik di tengah berisik
Membiarkan pipi bertemu pipi
Kudengar bicaramu
Penuh seluruh di telingaku
Tentang kota yang panas membakar
Dan apa yang mungkin tanggal
Selain rindu dan kepastian
Soal perjalananmu panjang
Perpisahan kita yang akan
Dan malam jadi menyedihkan
Adakah kita tetap angkuh
Menentang langit biar tak runtuh
Kau pegang leherku
Kugenggam lenganmu
Usah sematkan bintang di dada sendiri
Kujejalkan kalimat pendek-pasti
Sayu matamu bertanya hati-hati
Basah alkohol di bibirmu masih
Sayangku, di malam ketidaksengajaan itu
Aku belum jadi milikmu
Tapi kita sudah jauh terjatuh
Pada satu ciuman paling ragu-ragu.
(Yogyakarta, 2024)
Perjamuan Kedua
Rumah kayu, lantai dua
Di sana perjamuan berikutnya
Seperti pondok di kampung ibuku
Rumah panggung kalau kau tahu
Tempat nelayan kami beranak
Dan nenekku melahirkan bapak
Angin membuka jendela rumah itu
Mengenalkan lelaki bernama aku
Katamu:
Aku ingin kau mengajakku
Ke tempat paling tenang
Dengan cahaya paling remang!
Maksudmu, seperti tepian pantai
Laut basah di langit malam
Teriakan ibu, gemuruh pikir bapakku
Dan cerita dari mulut nenekku?
Katamu lagi:
Aku sanggup saja
Membawamu ke ruang paling gelap
Di sana kau bebas membahas perasaan
Pertanyaanku:
Mungkinkah tempat itu ada di bumi?
Kau jawab:
Rahimku, atau tidak sama sekali.
(Yogyakarta, 2024)
100 Hari di Surabaya
Sudah kuperhatikan Surabaya
Dari dekat, sejak kanak betul
Bau selokan busuk
Ceracau alkoholik berandal malam
Kaki-kaki jenjang gedung bertingkat
Dari sana, pulang dan pergiku bertempat
Di selangkangan kota itu
Aku berjalan hati-hati
Menakar semua rencana
Soal cinta, cerita, dan tenaga
Dalamnya kusimpan juga
Perasaan yang paling remaja
100 Hari di Surabaya, membawaku
Pada sebuah malam paling hangat
Sungai-sungai di tengah kota
Mengajak kelelakianku bicara
Ia mandi tempias cahaya
Aku tenggelam di lautan kata-kata
Kau mau merdeka?
Mengatur kebun binatang saja,
Tak kau kuasai
Jangankan mengatur negara
Mengatur binatang saja
Masih harus orang Belanda!
Kupesan kereta menuju Yogya
Lengking dan derit relnya
Jadi orkes perpisahan
Perjalanan 6 jam, perasaan gamang
Sebuah booklet kugenggam:
“Cara Praktis Mengelola Kebun Binatang”
Itu modalku sekarang
Tak ada Hok Gie, apalagi Tan
Hamka aku tak senang
Pram belum sepenuhnya paham
Biar cuma tinggal kesadaran, dan
Keberanian menjinakkan ribuan hewan.
(Yogyakarta, 2024)
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Sekarningrum Dyah Nareswary