Ini kali ketiga saya berkunjung ke galeri Srisasanti. Kalau yang pertama saya menghadiri pameran tiga seniman muda, maka kali ini seniman senior lah yang saya hadiri pamerannya.
Tempat tersebut sebenarnya dikelola oleh dua manajemen berbeda, tetapi masih satu induk. Grup Srisasanti Syndicate mempunyai galeri seni junior bernama Kohesi Initiative yang khusus mewadahi seniman muda berpameran. Galeri ini berada di jalan Tirtodipuran No. 50, Yogyakarta.
Pukul 12.00 WIB, rintik hujan jatuh di kawasan galeri Srisasanti tepat ketika saya tiba. Langit berwarna muram. Ditambah dengan bebunyian dari dalam galeri, suasana Kamis, 04 November 2021, terasa sedikit ganjil dan janggal.
Ruang pertama lantai satu berisi delapan lukisan. Hanya ada dua orang ketika saya masuk, sebelum disusul satu rombongan muda-mudi yang dari aksen bicara tampaknya bukan berasal dari daerah Yogyakarta.
Satu dari mereka bertanya kepada yang lain, “Ini, wayang bukan sih?”.
Melihat sekilas lukisan Heri Dono memang tampak karakter-karakter reproduksi dari bentuk wayang. Coba saja lihat lukisan berjudul The Maritime Culture Versus Land Reform Culture yang sekilas tampak seperti perang Kurukshetra. Dengan kereta perang yang dihias meriam dan karakternya yang memakai sepatu modern. Sedangkan, pada bagian pojok kanan atas terdapat surya Semar.
Warna lukisan ia serasa tak asing ketika pertama saya lihat. Seperti warna pastel.
Eksplorasi warna tersebut dimulai ketika Heri Dono masih berstatus mahasiswa ASRI pada 1980, sebelum pada 1987 ia memutuskan drop out. Bersama dengan Eddie Hara, Nindityo Adi Purnomo, Mella Jaarsma, Arwin Dermawan, dan Anugerah Eko, Heri Dono bertemu beberapa dosen yang kemudian memunculkan perbedaan pandangan terkait “karya yang baik”. Karenanya, kemudian warna lukisan Heri Dono tampak tak ngejreng, namun cenderung flat dan ringan. Meminjam istilah kawan saya, lukisan itu sekadar di-usrek-usrek, persis seperti penggunaan pastel pada umumnya.
Heri Dono tentu terpengaruh seniman dan dalang Ki Sigit Sukasman. Eksplorasi medium, bentuk, ekspresi, dan presentasi ditumbuhkan dari pertemuan dan prosesnya bersama Guru Sukasman. Terang, konvensi seni dijebol oleh dua seniman tersebut, yang kemudian memantik bara api dengan seniman dan kritikus seni.
Selain lukisan, ia juga memamerkan beberapa instalasi seperti yang terdapat di lantai dua berjudul Gamelan Goro-Goro. Heri Dono melalui karya instalasinya tersebut ingin mengatakan, gamelan menjadi simbol ‘tradisi kasak-kusuk’ ketika orang menciptakan rumor—perihal perkara yang belum terbukti kebenarannya.
Karyanya yang tak jauh dari persoalan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan dengan pendekatannya yang sinis, humoris, ironis, dan absurd kemungkinan berakar pada ayahnya, Sahirman, yang merupakan pasukan Tjakrabirawa pengawal presiden Soekarno.
Karya Heri Dono yang tajam dan penuh muatan politis pernah membuat pameran ia pada 1996 di Lisson Gallery, London ditolak. Mereka menganggap karyanya membawa pesan politik lokal Indonesia yang cukup kuat.
Pernah juga suatu kali, Heri Dono diinterogasi selama tiga hari tiga malam saat kembali ke Indonesia setelah agenda pameran ia di London. Hulu perkaranya yaitu ketika Gilane Tawadros, Institute of International Visual Arts (Iniva) London dan David Elliot, Director of Museum of Modern Art Oxford membantah isi surat dari Kedubes RI di London yang berisi keberatannya terhadap katalog pameran Heri Dono yang memuat detail (yang dianggap) politis.
Sebagai seorang seniman yang dekat dengan tradisi Jawa, ditambah kedekatan ia dengan Guru Sukasman, Heri Dono terus mencerap pengetahuan dan filsafat wayang dari gurunya itu. Sampai-sampai ia mengaitkan kekaryaannya dengan wangsit. Surat yang dialamatkan kepada Ristu Agus Salim yang merekam pengunduran diri Heri Dono atas keikutsertaan ia pada perhelatan FKY 1995 juga disebabkan oleh wangsit. Berikut saya kutipkan paragraf kedua surat tersebut.
“… dikarenakan pada tanggal 30 Mei malam 1 Suro saya mendapatkan wangsit, bahwasannya pada bulan Juni – Juli 1995 karya lukisan-lukisan saya tidak dapat dipamerkan di muka umum.”
Di lantai dua kita dapat membaca lembaran puisi karya Heri Dono yang dibuat tahun 1983 ketika ia berada di semester enam. Puisi berjudul hak ku membuka sebuah penggalan hidup Heri Dono yang ketika itu ia berada dalam tegangan konflik dengan dosen dan kakak tingkat.
Konflik-konflik yang terjadi dalam hidup Heri Dono membawa ia pada sebuah kematangan visi karyanya.
Dosen Seni Rupa ITB, Aminudin Th Siregar dalam koran Kompas, edisi Minggu, 10 Agustus 2008, mengungkap situasi seni rupa dan kondisi seniman Indonesia. Ia mengatakan bahwa miskinnya bobot karya seni rupa Indonesia bersumber dari lemahnya ruang imajinasi di dalam proses penciptaan sehingga membuat tema-tema karya tampil tanpa visi. Singkatnya, karya tersebut tak berbunyi sebab kehilangan konteks.
Seni rupa Indonesia lantas tersudut akibat miskinnya tawaran bobot karya seni oleh seniman Indonesia di kancah internasional. Dan untuk melihat kasus ini, S Sudjono (awal 1940-an) pernah mengatakan, “Kita boleh mengatakan diri kita seorang internasionalis sesudah kita bisa menjadi seorang nasionalis yang bagus.” Heri Dono merupakan cerminan implementasi pernyataan tersebut.
Ia berhasil mentransformasikan seni tradisi ke dalam bahasa yang bercorak kontemporer. Kendati karyanya sering disepelekan—meminjam istilah Heri Dono yakni lara-lapa. Namun, ia menganggap situasi demikian merupakan suatu ‘perjalanan spiritual ‘ ber-seni-rupa.
Heri Dono, akhirnya, pada 1998 mendapat penghargaan internasional “Prince Claus Awards 1998” dari Kerajaan Belanda. Sebuah penghargaan sekaligus pengakuan secara internasional karya-karya ia yang sempat disepelekan.
Kita dapat melihat dan membaca arsip perlintasan kekaryaan Heri Dono di atas di galeri Srisasanti. Mengutip pengantar pameran oleh Suwarno Wisetrotomo, pameran tersebut dibangun berdasarkan arsip, dengan fokus utama perjalanan proses kreatif yang panjang, berlapis, ulang-alik antara ide-bentuk, dan waktu, yang dilihat sebagai titik-titik penting pencapaian Heri Dono; dan dari situ muncullah tajuk Phantasmagoria of Science and Myth.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto: Archive Srisasanti
Tweet milik Adin Hysteria (@mbuh_adin)
Foto sampul: Heri Dono, The Trojan Komodo Met Glass Vehicles (2021), Acrylic on canvas, 200 x 300 cm (dok. Archive Srisasanti)
1 comment