Menjadi Drupadi; Kumpulan Puisi Kristophorus Divinanto

Tiga puisi dalam kumpulan Menjadi Drupadi ditulis oleh Kristophorus Divinanto atau lebih dikenal dengan nama Divin. Guru SD yang rajin membaca manga dan menonton anime. Beberapa karya yang telah dipublikasi antara lain, Melarung Sesaji PiluKota yang Menggigil (puisi), Elegi Secangkir Jamu, dan Sebentar Lagi Pagi (cerpen).


Menjadi Drupadi

Semua terserah saja.
Pada pukul berapa.
Kamu ingin mengenalku.

00:15
Pintu diketuk.
Laki pertama.
Sulung pendiam.
Minta berjantan.
Melucut kutang.
Ayun temayun.
Menapak puting.
Berakhir amis.

00:45
Pintu diterjang.
Laki kedua.
Tampak bahadur.
Padahal badi.
Meliuri tubuh.
Pinggul didayung.
Laksana bidar.
Berakhir anyir.

01:00
Pintu diketuk.
Laki ketiga.
Elok perangai.
Melepas dalaman.
Laksana panah.
Menancap desah.
Menembus akal.
Berakhir hangat.

01:30
Pintu diketuk.
Kembar identik.
Merengek manja.
Mengajak main.
Mengulum biram.
Berebut lidah.
Berbagi desah.
Berakhir asin.

Tentu salah kaprah.
Aku bukan gundik.
Bukan juga lonte.
Hanya sejak kecil.
Inginku jadi Drupadi.
Cinta yang meranting.
Bukan sebatas laki-laki.
Takdirku ikut menyetubuhi.

Kutoarjo, Mei 2021

 

Biduan yang Patah Hati

Mas, kamu harus mengerti.
Cinta telah mencapai ujung.
Bunga di taman telah layu.
Dirangkul api menjadi abu.
Memang sudah seharusnya.
Tiada pernah kita sulut api.
Dan akhirnya kisah ini
terbakar dengan rapi.

Mungkin orang tuamu benar, Mas.
Tiada suci cinta dari penyanyi.
Terutama cinta dari biduan ini.
Tiada tulus belai dari penyanyi.
Terutama belai dari tangan ini.
Dan sejak awal kita juga sepakat.
Bahwa cinta kita bisa berakhir.
Bersamaan dengan lagu terakhir.

Ingat ucapan orang tuamu kemarin, Mas.
Cintaku untukmu karena hasil saweran.
Aku biarkan kamu seenaknya mencintaiku.
Karena tiga lembar uang warna merah.
Yang kau letakkan di sela kutangku.
Lain cerita jika uangmu hanya lima ribu.
Mustahil kita bisa saling mencinta.
Barangkali semua itu benar adanya.

Maka pergilah segera, Mas.
Lagu terakhir sudah aku berakhir.
Anggap saja jadi dendang perpisahan.
Lunas sudah aku tepati semua janjiku.
Membasuh luka dan tetes air matamu.
Jangan pernah kamu ada rasa bersalah.
Aku tidak pernah memintamu berjanji.
Tiada pernah kau mengingkari apapun.

Cukup tinggalkan saja aku di sini.
Ada panggung yang harus aku hibur.
Anggap saja kita tak pernah berjumpa.
Dan di antara kita tak pernah ada duka.

Kutoarjo, Mei 2021

 

Malam Kecil

Mari merayakan malam yang kecil.
Malam sempit untuk birahi yang luas.
Putar lagu dangdut sekencang mungkin.
Hibur ruang remang dengan tarianmu.
Tekan lututnya dengan jemari kakimu.
Belit lehernya dengan lengan dan lidah.
Biarkan dia sesak disumpal birahi.

Kini, raih jari-jarinya yang pasrah.
Bawa ia tersesat di belantara tubuhmu.
Jangan biarkan ia mencari jalan keluar.
Biar bibirmu menunjukkan arahnya.
Tuntun dia ke puncak altar kasmaran
Sembunyikan desah dan derit kasur.
Bercumbulah kalian di kolam neraka.

Jangan sampai ia buru-buru menulis titik.
Banyak sajak rindu yang belum selesai.
Tuliskan semua dengan peluh dan bibir.
Pesta belum usai, malam masih panjang.
Gandeng ia hingga mencapai dasar rindu.
Hidangkan lagi kisah di hari kemarin.
Sebelum kuncup hati mekar jadi belati.

Malam dipilih untuk berpesta atas kalian.
Ikuti perayaannya sampai matahari tiba.
Matahari akan menyembunyikan kalian.
Karena di bawah matahari, dia dan kamu.
Telah sepakat untuk tidak saling menyapa.
Karena saat matahari terbit dan meninggi.
Kalian sepakat untuk saling membenci.

Wonosobo, Mei 2021

 

Ilustrasi: Mixkit

1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts