Mendengarkan itu Perkara Memberi Ruang

Kemampuan untuk mendengarkan itu cukup sulit. Mendengarkan itu perkara memberikan ruang untuk orang lain hadir membawa sampah-sampah dan ide-idenya kepada kita.


Apakah kamu pernah merasa lega setelah berbicara untuk meluapkan semua isi kepalamu kepada orang lain? Atau malah sebaliknya; mulutmu seperti terkunci ketika ingin menceritakan keluh kesahmu? Jika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada saya, mungkin jawaban kedua adalah jawaban saya.

Selama hampir dua puluh empat tahun hidup di dunia, syukur kepada Allah, saya bertemu dengan beberapa jenis manusia dengan segala keunikan karakternya. Ada yang pendiam, ada yang hobinya bicara (sekaligus membicarakan orang lain), ada yang menyeramkan sehingga membuat saya mengunci mulut saya, ada yang sangaaaaaaaaaaaat aktif memberikan keluh kesahnya sampai-sampai membuat saya bingung cara menghentikannya ketika berbicara, ada pula yang suka menyerobot ketika orang lain sedang berbicara, dan masih banyak lagi.

Baiklah, agar mempermudah membaca tulisan ini saya akan menceritakan salah satu pengalaman saya.

Saya bukan tipe orang yang mudah terbuka kepada orang lain, apalagi orang yang baru saya kenal.

Pernah suatu kali saya mengunjungi teman yang sudah saya kenal sejak SMA untuk bercerita. Agar dapat bercerita dengan nyaman, maka saya memutuskan untuk menginap di rumahnya. Sayangnya malam itu saya apes. Bukannya saya lega karena bisa sharing, malah dia yang menangis saat sharing masalah hidupnya kepada saya, sampai-sampai saya tidak diberikan ruang untuk menyinggung masalah saya.

Batinku, asyuuuuu-asyuuuu, fakkk.

Karena saya orangnya nggak enakan, maka, masalah saya tetap terkunci di dalam kepala saya sendiri. Saya kembali menjadi pendengar yang baik untuk beliau, dan lagi-lagi, “Yaudah lah besok-besok aja.” Padahal saya sudah berharap banyak untuk dapat didengarkan.

Menurut saya, mendengarkan itu perkara memberikan ruang untuk orang lain hadir membawa sampah-sampah dan ide-idenya kepada kita. Dan memang, kemampuan untuk mendengarkan itu cukup sulit, karena mendengarkan menuntut energi dan komitmen. Mendengarkan merupakan tindakan yang tidak terjadi begitu saja tanpa kesadaran, melainkan harus dengan sengaja dilakukan.

Dan tidak semua orang mau mengosongkan dirinya untuk orang lain. Hehehe.

Sampai di sini saya jadi mikir, mendengarkan itu kata kerja, kan? Mengapa mendengarkan jadi perkara yang cukup sulit?

Pertama, kita harus menyampingkan masalah pribadi kita pada saat itu, agar kita bisa mendengarkan cerita dari lawan bicara kita secara utuh. Kedua, mendengarkan membutuhkan energi yang besar, karena minimal dua indra kita yang bekerja, yaitu pengelihatan untuk memperhatikan mimik wajah dan bahasa non-verbal, serta pendengaran untuk memperhatikan intonasi suara dan kata-kata yang dikatakan. Ketika kita mendengarkan, kita juga harus memproses apa yang kita serap dan mengembalikannya lagi dalam bentuk respon.

Bagaimana? Sampai sini sudah cukup melelahkan, bukan? Belum lagi ketika mendengarkan kita kerap kali ikut berempati terhadap apa yang lawan bicara kita rasakan. Yang namanya menyerap emosi dan energi, pasti bukan pekerjaan yang mudah.

Belajar dari Hasan Askari

Sejauh ini belum banyak orang yang saya memiliki kemampuan mendengarkan dengan cukup baik. Hingga pada suatu kali saya menemukan video “Kesempatan kedua Yerry Pattinasarany | are we okay“di YouTube. Bukannya memperhatikan konten atau cerita yang ada pada interview tersebut, saya malah merasa lega dan puas ketika melihat cara si interviewer (Mas Hasan) menjadi pendengar yang aktif. Sejak saya melihat cara Mas Hasan mendengarkan, saya seperti menemukan oasis. Ini dia yang namanya mendengarkan!

Mas Hasan dengan semua indra yang dia miliki menjadi pendengar yang aktif untuk orang-orang yang ia wawancarai. Dari mulai tatapannya yang meneduhkan hingga respon-responnya kepada setiap jawaban yang dilontarkan.

Ia memberikan ruang yang cukup aman dan nyaman untuk orang lain bercerita tentang hidupnya. Mas Hasan adalah kiblat untuk saya dalam mendengarkan orang lain dan memberikan ruang.

Di zaman yang setiap hari kita dipaksa terburu-buru, rasanya banyak orang yang lupa caranya mendengarkan. Lupa rasanya memberikan ruang dan meneduhkan orang lain. Padahal di saat keadaan sedang tidak ramah seharusnya kita bisa hadir untuk sesama dan memberikan ruang untuk saling bercerita. Karena sejatinya proses komunikasi itu adalah hal transaksional, harus terjadi secara dua arah, maka saya doakan semua pembaca bisa mendapatkan hal tersebut.

Amiiiin, paling serius.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Tretan Universe (YouTube)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts