Pameran “Maestro Meeting”, Edukasi Seni Sambil Meet Up Antar Generasi

dok. Ripase Purba

Pameran “Maestro Meeting”, menjadi tempat belajar sejarah seni dengan pendekatan pameran yang menyenangkan.


Senin sore, sehari setelah pembukaan pameran yang hanya dihadiri oleh undangan. Saya cukup berani untuk masuk ke Jogja Gallery tanpa registrasi online terlebih dahulu. Alasannya sederhana, tiket pada hari yang sama sudah habis terjual dan tidak ada pilihan selain menunggu 3 hari kemudian, beruntungnya Jogja Gallery yang biasanya tutup pada hari Senin ternyata buka untuk pertama kalinya. Sebenarnya bisa saja menunggu beberapa hari, tetapi perasaan untuk ingin segera berkunjung sudah menggebu-gebu karena spoiler yang sangat banyak dari feed dan story Instagram Jogja Gallery dan 2 akun kuratornya.

Sesampainya di salah satu galeri tersohor di Alun-Alun Utara Yogyakarta, saya disambut baik sebagai salah satu pengunjung yang daftar on the spot. Tidak janjian tapi kebetulan mendaftar bersama sekumpulan muda-mudi Jogja dengan ciri khas anak kekinian; fashionable, cukup kontras dengan saya yang serba hitam bak melayat. Mungkin mereka memiliki kesamaan minat atau mencari tempat foto estetik kekinian untuk di-posting pada media sosial atau menghabiskan waktu menjelang libur tahun baru.

Selesai mendaftar, selanjutnya diberi tahu tentang aturan-aturan saat memasuki ruang pameran, seperti durasi berkunjung, dilarang menyentuh, dan tidak menggunakan flash saat berfoto. Wall text dari kurator dan dekorasi burung kertas berwarna putih turut meramaikan lobi dari galeri ini. Semilir angin sore itu membuat suasana semakin nyaman sambil membaca dan mendokumentasikan.

Ruang pameran cukup ramai dengan beberapa exhibition guide yang berjaga. Tanpa berpikir panjang saya langsung masuk ke sisi kanan ruang pameran. Terdapat profil dari Dyan Anggraini, sang tuan rumah pameran. Banyak informasi yang saya dapatkan tentang Bu Dyan. Selama ini saya hanya mengetahui wanita kelahiran 1957 ini sebagai seorang perupa, tetapi karirnya tidak segemilang yang lainnya. 

Namun di sisi lain, Bu Dyan pernah menjadi orang nomor 1 di Taman Budaya Yogyakarta: menginisiasi majalah Mata Jendela hingga Yayasan Biennale Yogyakarta. Sosok yang sangat menarik dengan capaiannya dan semakin membuat saya penasaran akan karya-karya yang disuguhkan pada pengunjung pamerannya. 

Sosok Bagong Kussudiardja dalam karya Dyan Anggraini (dok. Ripase Purba)

Karya pertama yang saya lihat adalah sebuah ruangan dengan lukisan potret Kartika Affandi, Djoko Pekik, dan Bagong Kussudiardja. Karya-karya yang ditampilkan pada pameran ini tidak berlebihan, terkesan sederhana dan lugas. Pengunjung yang bukan dari latar belakang seni atau anak muda yang sekadar berkunjung menghabiskan waktu luang tentunya akan paham dengan narasi beserta deskripsi. Potret sang seniman, ciri khas karya, dan berbagai jenis objek-objek beragam makna seperti bunga, lebah, dan burung kertas juga turut dihadirkan. Sepanjang ruang pameran juga banyak tulisan dari Bu Dyan yang tampak khas. Instalasi jarum pentul raksasa, tangan dan kaki, juga ikut meramaikan sisi kiri ruang pameran.

Pada setiap sisi ruangan, tampak exhibition guide yang duduk sambil mengawasi pengunjung. Saya cukup heran dan penasaran karena tidak biasanya ruang pameran Jogja Gallery ditunggui sedemikian ketat dalam setiap ruangan. Menurut mereka, salah satu alasannya karena banyak pengunjung nakal yang masih berani menyentuh karya lukis maupun instalasi meskipun telah diberi peringatan melalui tulisan dan garis pembatas. Benar saja, beberapa pengunjung tampak menjadikannya candaan dan menyentuh karya meskipun telah diperingatkan saat registrasi di awal.

Sosok S. Sudjojono dalam karya Dyan Anggraini (dok. Ripase Purba)

Kembali mengelilingi ruangan, ternyata tidak melulu potret seniman hebat yang dimiliki oleh Indonesia menjadi objek lukis Dyan Anggraini. Patron seni seperti Soekarno, Sri Sultan Hamengkubuwono, dan Ki Hajar Dewantara juga ikut hadir dalam meet up maestro kali ini. Berada dalam satu ruang yang sama, para maestro berbagai generasi hadir salam satu momen yang jarang terjadi. 

Konsep kembali menghadirkan para maestro ini cukup cerdas. Ada edukasi secara tidak langsung melalui karya lukis dalam pameran ini. Ini kembali mengingatkan pengunjung bahwa banyak seniman yang telah berkontribusi untuk dunia seni hari ini.

Anak muda yang baru dalam dunia seni rupa mungkin banyak yang belum mengenal maestro-maestro ini meskipun sekadar nama. Beberapa dari mereka mungkin jauh lebih mengenal maestro dari negara lain seperti Van Gogh atau Salvador Dali. Kesan belajar sejarah seni dengan pendekatan pameran yang menyenangkan bisa menjadi daya tarik utama atau ide untuk membuat pameran sejenis nantinya.

Salah satu lini masa seni dalam pameran “Mestro Meeting” (dok. Ripase Purba)

Selain menghadirkan potret, dua lantai galeri ini dipenuhi berbagai instalasi, arsip dan lini masa. Lini masa ini sungguh menarik karena memperkenalkan pelukis sejak zaman Raden Saleh hingga Putu Sutawijaya dalam satu runtutan peristiwa. Walaupun terkesan sangat subjektif, pemilihan para seniman tiap periode ini berdasarkan pada karya, publikasi, pameran, jasa, dan pengorbanan seniman untuk meningkatkan pengetahuan seni di Indonesia. Kolaborasi dua kurator yang expert di bidang seni dan sejarah yaitu Dr. Mikke Susanto, M.A., dan Dr. Sri Margana, M. Phil., sungguh sangat layak diberi banyak apresiasi atas terselenggaranya pameran ini.

Edukasi publik seni dan non-seni sepertinya akan berhasil melalui karya-karya Dyan Anggraini, sang living maestro. Pameran ini akan meramaikan Jogja Gallery di penghujung dan awal tahun nanti. Demi memelihara ingatan sangat sayang pameran ini untuk dilewatkan, mari bertandang.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Koleksi Foto: Ripase Purba

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts