Ravepasar, sebuah festival independen yang menggandeng beragam individu serta komunitas seni di Bali. Ravepasar mendaku pergerakannya sebagai sebuah festival sub-culture, sebuah proyeksi atas wajah seni kontemporer Denpasar hari ini.
Ravepasar sudah kali keduanya menggelar gelaran ini. Tahun ini tentu dengan format yang sedikit berbeda pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2020 beberapa agenda acara dilaksanakan jadi satu pada hari yang sama, seperti kegiatan diskusi, pameran instalasi, pagelaran musik, fashion, dan perfoming art. Pada Ravepasar tahun 2021 ini, yang dilaksanakan dari tanggal 12 hingga 19 Desember, ada banyak agenda di dalamnya. Seperti pada tanggal 12 Desember, dibuka dengan showcase musik clubbing dengan tajuk “Durma Showcase” oleh Non Archive yang diadakan di The Warehouse, Seminyak.
Setelah itu ada beberapa agenda lain pasca pembukaan, seperti diselenggarakannya workshop Digital Music Production bersama Kasimyn, salah satu bagian Gabber Modus Operandi. Ada juga diskusi bersama Santuari Studio dan Martabak Cult di Vault. Ada juga program radio takeover yang disiarkan pada platform headstream.digital. Dan agenda-agenda lainnya, termasuk pada puncak acara Ravepasar pada tanggal 19 Desember di Geo Open Space, Kerobokan.
Dalam puncak acara tersebut, banyak menampilkan nama-nama artist yang mungkin saja tidak semua diketahui oleh pengunjung yang datang. Diantaranya; Avhath, BAP., Basboi, Dea Barandana, Gabber Modus Operandi, Kadapat, Noise From Under, Oz the Oddz, Pinkygurl, Rollfast, Tamat, Tarawangsawelas x Mixxit, dan Y-DRA. Seberapa asing nama-nama itu di telinga teman-teman?
Namun kemudian permasalahannya bukan itu. Asing atau tidaknya line up yang pentas bukan menjadi masalah bagi festival ini dalam melakukan pembacaan kepada “pasar” yang dituju. Ini adalah pekerjaan rumah tiap individu (baca: pengunjung) yang datang untuk mencari pengetahuan musiknya sendiri. Atau ada juga tipe-tipe penonton yang seperti saya, dengan mengetahui sebagian para performer itu sudah cukup. Sebab, dari tahun sebelumnya hingga tahun ini Ravepasar selalu diisi oleh musisi-musisi yang mungkin saja “tidak laku keras di telinga generasi post-human atau generasi Z”, tanda kutip dalam kalimat tersebut menjadi penting untuk membaca dasar dibentuknya Ravepasar.
Bagaimana kemudian jika memang Ravepasar menemukan kenyataan itu sebagai hal yang berpotensi untuk dibesarkan? Berangkat dari sebagian besar musisi yang menggeluti musik noise, budaya musik clubbing, serta musik-musik yang futuristic, tentu saja memiliki sebuah keresahan yang amat besar ketika mencari ruang untuk mempresentasikan karya-karya mereka.
Kemudian Ravepasar bisa dibaca sebagai gerbang untuk membuka kemungkinan itu, meski di Denpasar sendiri sudah ada beberapa gerakan-gerakan musik noise seperti Chaos Non Musica. Namun itu tidak cukup kuat jika dibiarkan bergerak sendirian. Psikologis orang Bali juga mesti dibaca sebagai masalah, perlu adanya kesepakatan-kesepatan bersama untuk menerima sesuatu yang baru. Orang Bali selalu mempertanyakan, apakah hal yang mereka anggap baru juga populer di luar daerahnya?
Hal-hal itu juga mungkin mesti dipertimbangkan, karena saya sendiri adalah satu dari sekian pemuda yang tumbuh sejak kecil di Bali. Ketika mengenal musik-musik yang dikatakan sebagai musik kontemporer, ada sebuah proses dan pembacaan berkali-kali sehingga nyaman diterima oleh telinga saya yang sedari kecil akrab dengan musik tradisi dan populer yang nyaman.
Ravepasar adalah sebuah festival tahunan yang besar. Mendatangi festival musik ini sangat memberikan pengalaman audio dan pengalaman tubuh yang baru. Bagaimana saya melihat dari dua pagelaran Ravepasar ini justru audiens yang datang bukanlah orang-orang asli dari daerah penyelenggaraan ini.
Mendatangi Ravepasar, bagi saya adalah sebuah pengalaman yang tidak hanya menghadirkan decak kagum, tapi ada kesadaran yang terbangun ketika melihat bagaimana fenomena fashion menjadi salah satu pengaruh nyata wajah kesenian hari ini. Mungkin terlalu berat bagi saya untuk membicarakan seni kontemporer dengan pengalaman tidak seberapa dalam menggeluti skena seni. Namun saya mungkin punya tawaran lain untuk menyederhanakan kondisi dan keresahan yang saat ini terjadi, bahwa Ravepasar berusaha membentuk sebuah bingkai untuk menangkap gambaran kesenian hari ini ketika berjalan berdampingan dengan zaman.
Di balik tradisi Bali yang begitu kental dan sangat adi luhung, arus modernisasi begitu kencang. Wajah kesenian hari ini seolah sedang tarik-menarik antara tradisi dan modernisasi, sehingga menciptakan bentuk-bentuk yang dianggap “kesenian hari ini”.
Semisal Gabber Modus Operandi yang jenuh dan menganggap budaya clubbing yang marak berlangsung di Bali tidak cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi sosial dan politik masyarakat Indonesia. Sebab budaya clubbing hari ini mungkin terlalu jauh dari kenyataan hidup orang Indonesia atau ruang lebih kecil di tempat mereka tinggal hari ini yaitu Bali. Atau yang lain, misal upaya Rollfast yang justru ingin meneriakkan kekayaan identitasnya dalam scene rock. Bagaimana Rollfast menabrakan kenyataan identitas, modernisasi, serta apa yang mereka geluti hari ini. Mereka mencampur menjadi satu dengan bentuk yang memang susah dicerna, seperti suara google translate ditabrakan dengan bebunyian gambelan Bali lalu ditambah distorsi gitar.
Atau misal hal yang ditawarkan oleh Kadapat, justru hal ini berbeda dari kedua performer sebelumnya. Meski Kadapat mendapat jadwal main lebih awal, ini menjadi pembuka yang semestinya sangat cukup untuk menggambarkan beginilah wajah kesenian musik hari ini. Sangat buram jika kita berusaha mengkategorikan posisinya, tapi mereka memliki sikap yang jelas dalam membaca musik hari ini. Mereka mungkin memiliki kelebihan dalam memahami musik Bali, ditambah dengan pengetahuan akademik dan keahlian dalam bergaul menjadi pembacaan dasar Kadapat dalam menciptakan sesuatu karya.
Dan tentu yang sangat saya tunggu-tunggu adalah Koplotronika Y-DRA asal Yogyakarta. Yennu Ariendra adalah produser atau composer musik yang sudah sering kali lalu lalang dalam pemikiran saya ketika mencari tahu tentang musik kontemporer hari ini. Selain dengan Koplotronika-nya, Yennu juga aktif di berbagai lintas kesenian seperti tergabung dalam Teater Garasi dan Papermoon Puppet Theatre sebagai penata musik. Ada pula grup musik eksperimentalnya Raja Kirik, dan sebuah band yang mendapat julukan “band mitos”, Melancholic Bitch. Sudah sangat menyadarkan saya bagaimana cara Yennu membagi dan memilah pengetahuan musik beserta data risetnya menjadi sebuah bentuk musik seusai dengan kebutuhannya. Tentu penampilan musisi yang lainnya juga tidak kalah bikin geleng-geleng.
Ravepasar tentu tidak semestinya dijadikan sebagai pagelaran musik yang lewat begitu saja, setidaknya dapat mendorong kesadaran pengunjung untuk kritis dalam melihat perkembangan musik hari ini. Suasana malam pagelaran itu tentu saja sangat pecah, ditambah lagi dengan penampakan panggung yang unik ulah tangan-tangan terampil dari Atelier 5758 dan pencahayaan oleh Aqzra Rizki. Tak luput juga visual mapping yang ada membuat pengalaman baru dalam menyaksikan panggung dalam pentas musik.
Bagi saya panggung juga memiliki teks yang berbeda dalam mendukung performer dalam pentasnya, jika dibayangkan panggung dibuat prosenium sebagaimana bentuk panggung festival band pada umumnya menghadirkan energi malam itu tampak berbeda.
Sangat menarik menghadiri Ravepasar tahun ini, meskipun yang seperti saya katakan di awal tadi, tidak semua musisi saya ketahui, tentu ada beberapa kepentingan politis di dalamnya sehingga saya mendatangi Ravepasar. Bahkan sampai tulisan ini ditulis dan selesai dibaca oleh teman-teman adalah sebuah kepentingan pribadi yang semestinya memiliki atensi berbeda dengan yang lain ketika datang menyaksikan Ravepasar. Begitupun para penyelenggara yang terlibat di dalamnya, ada kepentingan politis yang dibaca untuk menciptakan format acara seperti itu.
Saya percaya bahwa apa yang terjadi tidak pernah lahir dari ruang kosong. Semoga Ravepasar tahun depan makin hoxyaa!
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Koleksi Foto: dharmakrisnahadi
1 comment