SANDU SANGGU: Eksplorasi Warisan Musikal Asal Rote

Melalui pameran SANDU SANGGU, menjadikan eksplorasi sasandu serupa ruang diskusi. Bukan hanya tentang sasandu, bukan hanya tentang alat musik, tapi juga diskusi tentang perpindahan, pertemuan, perubahan, dan keinginan untuk pulang.

Banyak orang tahu dan pernah mendengar alat musik sasandu, tapi sedikit yang tahu cerita awal mula alat musik asal Rote ini bisa diciptakan. Kegelisahan sederhana ini merupakan ide di balik penyelenggaraan Pameran Seni Media bertajuk SANDU SANGGU yang diselenggarakan di de Museum Cafe JKK Kupang pada 21-25 November 2023.

SANDU SANGGU berasal dari dua kata bahasa Rote, sandu artinya getaran, dan sanggu artinya badai, secara sederhana dapat dipahami sebagai getaran yang menghasilkan badai. Tiga orang seniman diundang untuk berkarya di antaranya Felzip, Lif, dan Vickram. Mereka memiliki benang merah yang menghubungkan latar belakang masing-masing yaitu sama-sama lahir di keluarga Rote.

Felzip lahir dan dibesarkan di Rote sebelum pindah ke Kupang untuk melanjutkan pendidikan SMA. Vickram dan Lif lahir dan dibesarkan di Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang berjarak dua jam perjalanan kapal menuju Rote. Alasan dipilihnya tiga seniman ini juga tidak kalah sederhana dibanding dasar kuratorial pameran: bagaimana ketiga seniman yang berlatar belakang Rote membaca cerita awal mula alat musik sasandu, dan bagaimana mereka melihat sasandu sebagai titik tolak untuk bicara tentang identitas.

Cerita Asal Mula

Di dalam cerita awal mula sasandu, alat musik ini mengalami tiga kali perubahan. Setiap perubahan terjadi ketika terjadi pertemuan dengan orang baru di tempat yang baru. Pupuk Sorba dari Thie membawa sasandu ke Rote Timur dan terjadi perubahan pertama yaitu mengganti urat pelepah lontar dengan akar beringin dan pelepah lontar dengan batang bambu.

Sasandu Gong milik Opa Jonas Mooy, di Desa Oebou, Kecamatan Rote Barat Daya (dok. Sandu Sanggu)

Sasandu kemudian dibawa ke Rote Barat dan bertemu dengan pengrajin emas dari Ndao sehingga dawai dari akar beringin diganti dengan tali emas. Berdasarkan versi cerita ini, sasandu pada akhirnya dapat dilihat sebagai alat musik yang tidak langsung muncul dalam bentuknya yang final ketika pertama kali dibuat. Pertemuan dengan orang-orang dari tempat berbeda dan latar belakang berbeda membuat sasandu mengalami berbagai perubahan.

Menarik bahwa kemudian kita bisa menduga mungkin karena sasandu mengelilingi Rote dan mengalami perubahan di tempat di mana ia berhenti, akhirnya ada banyak versi berbeda mengenai asal usul alat musik sasandu. Jika kita melakukan penelusuran di internet saja, ada paling tidak lebih dari empat versi cerita yang bisa kita temukan. Semua dengan tokoh yang berbeda-beda dan cerita yang berbeda-beda.

Perubahan sasandu tidak berhenti sampai di sana. Ketika orang-orang keluar dari Rote dan membawa sasandu ke tempat tinggal baru mereka seperti di Kupang, Jawa, dan tempat-tempat lainnya, sasandu bertemu dengan kebudayaan baru, kebutuhan baru, dan kemungkinan-kemungkinan baru.

Di Rote sasandu digunakan dalam berbagai acara adat, bersama dengan alat musik gong mengiringi tari-tarian tradisional Rote. Di Kupang, para pemain dan pengrajin sasandu bertemu dengan kemungkinan modifikasi sasandu untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan baru.

Misalnya saja, sasandu gong (bentuk paling tradisional dari sasandu) memiliki jumlah senar yang sedikit sehingga lagu-lagu yang bisa dimainkan pun terbatas. Sanggar-sanggar sasandu di Kupang kemudian menciptakan sasandu biola, modifikasi sasandu gong, dengan jumlah senar lebih banyak. Setelah sasandu biola, lahirlah sasandu elektrik.

Gloria Ruku memainkan sasandu elektrik dalam acara penutupan Pameran Seni Media SANDU SANGGU (dok. Sandu Sanggu)

Jika sasandu biola mempertahankan bentuk sasandu gong dengan hanya menambah jumlah senar, sasandu elektrik memungkinkan alat musik ini dihubungkan dengan pengeras suara sehingga tidak lagi dibutuhkan haik untuk resonansi suara. Perubahan ini kemudian pernah menimbulkan diskusi menarik, tanpa haik, apakah sasandu masih bisa disebut sasandu? Sebuah pertanyaan mengenai identitas dan ciri khas.

Perubahan Identitas

Di era pascamodern, mobilitas atau perpindahan merupakan salah satu ciri utama kehidupan. Dengan berkembangnya teknologi transportasi, orang bisa berangkat dari Rote ke Kupang hanya dalam waktu dua jam menggunakan kapal laut. Dari Kupang ke Jakarta bisa ditempuh dalam waktu 3 jam menggunakan pesawat.

Kemudahan transportasi, kebutuhan untuk keluar dari tempat asal dan merantau untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Akhirnya, membuat kita bertemu dengan budaya baru dan berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan baru.

Ada banyak anak-anak muda yang merupakan generasi pertama dari keluarga mereka yang lahir dan dibesarkan di Kupang dari orang tua yang merantau dari tempat asal mereka masing-masing lalu menikah dan menetap di sini. Generasi pertama, kedua, ketiga dari para perantau ini kemudian dihadapkan dengan isu identitas yang menarik.

Apakah mereka masih dekat dengan kebudayaan darimana orang tua mereka lahir? Apakah akar identitas seseorang bergantung pada tempat di mana ia lahir atau tempat darimana orang tuanya berasal?

Bagi para perantau dari daerah asal masing-masing, kebutuhan untuk menyesuaikan diri kadang membuat seseorang menjadi jauh dari akar kebudayaannya. Nilai-nilai yang membesarkannya dipertemukan dengan kebudayaan baru, menghasilkan sesuatu yang unik dan baru. Tentu tidak semua perubahan adalah buruk, tapi juga tidak semua adalah baik.

Interpretasi Artistik Sasandu

Felzip Pandie adalah seniman yang paling dekat dengan cerita asal usul sasandu, di antara ketiga seniman yang diundang untuk berkarya di pameran SANDU SANGGU. Cerita ini pertama kali ia dengar ketika ia duduk di bangku sekolah menengah. Ia mengawali perjalanannya di dunia seni digital dengan membuat berbagai artikel untuk dijual sebagai merchandise berupa kaos.

Gambar-gambarnya sejak awal sudah banyak memuat unsur budaya. Tidak hanya Rote, Felzip tertarik dengan berbagai kebudayaan di Nusa Tenggara timur. Meski sering menjelajahi makna berbagai kebudayaan dari daerah lain, kebudayaan Rote selalu jadi pusat perhatiannya.

Instalasi karya animasi Inak Esa Bobonggin, Ma Amak Esa Raraen (dok. Sandu Sanggu)

Karya pertamanya yang berkaitan dengan sasandu dibuat pada tahun 2021 lalu ketika muncul berita bahwa Sri Lanka mengeklaim bahwa mereka adalah pemilik alat musik sasandu. Mereka bahkan mendaftarkan sasandu sebagai hak kelayaan intelektual mereka di World Intellectual Property Organization/ WIPO. Sejak saat itu, dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan kebudayaan Rote ia selalu menyisipkan sasandu.

Dalam pameran SANDU SANGGU, Felzip menampilkan tiga karya: Inak Esa Bobonggin Ma Amak Esa Raraen, Ndana Ta Nita Kamba, dan Sandu Sanggu. Melihat tiga karya ini pengunjung dapat membuktikan secara langsung bahwa memang Felzip adalah seorang seniman yang sangat dekat dengan cerita awal mula sasandu versi Rote Thie.

Karya-karyanya bukan hanya secara deskriptif menceritakan kembali kisah awal mula sasandu yang telah didengarnya sejak dulu. Ia mencoba membaca lebih jauh cerita tersebut dengan kacamata pemahaman seorang muda Rote yang tahu bahasa Rote dan mengenal cerita tersebut dari dalam. Pemahaman kebahasaannya jadi kuat dan penting sebab dengan itu ia berani memberi judul ketiga karyanya dengan bahasa Rote.

Karya ndana ta nita kamba bahkan diambil dari peribahasa Rote. Kemampuan memahami peribahasa adalah sesuatu yang tidak bisa dengan mudah dimiliki “orang luar.” Felzip, melalui ketiga karyanya, menonjolkan elemen kritis dan reflektif. Dua hal yang hanya bisa terjadi jika sang seniman memilki kedekatan dan paham kedalaman subjek karyanya.

Lif Haning memulai karirnya sebagai musisi post-rock dan ambience dengan nama panggung SHAGAH. Baru di tahun 2023 ini ia menjelajah dunia instalasi audio. Ia pertama kali memamerkan karya audio eksperimentalnya dalam Pameran Namlia 0.0. Setelah itu, ia ketagihan bereksperimen dengan instalasi audio dan berpameran lagi di Pameran Tite Pi Reme Ki, dan yang paling terakhir adalah Pameran Namlia.

Bukan kebetulan tiga nama pameran di mana ia berpartisipasi ini adalah nama-nama yang berkaitan dengan budaya. Lif, dalam karya-karyanya baik sebagai SHAGAH maupun sebagai Lif, selalu tertarik dengan musik tradisional. Ini menarik, sebab dalam karir musiknya, genre yang ia tekuni adalah ambience dan post-rock, genre yang tidak terdengar begitu tradisional. Tahun 2022 yang lalu Lif bahkan meluncurkan sebuah album, Jelajah Nada Timor, di mana ia mengawinkan genre musik post-rock dan ambience dengan musik tradisional dari beberapa kabupaten di Pulau Timor dan Semau.

Instalasi Sasandu Eksperimental karya Lif Haning (dok. Sandu Sanggu)

Dalam pameran SANDU SANGGU, Lif ditantang untuk bereksperimen dengan logika kerja alat musik sasandu. Paling tidak ada tiga bagian utama yang membuat sasandu bisa menghasilkan bunyi yang merdu: dawai, penyangga dawai, dan haik. Dengan menggunakan daun lontar yang menjadi ciri khas sasandu, Lif menciptakan sebuah instalasi audio partisipatif di mana pengunjung bisa turut terlibat menghasilkan musik.

Sama seperti karir musiknya, kali ini Lif tetap mengawinkan yang tradisional dengan yang modern. Sampai sejauh mana logika kerja sasandu bisa dieksplorasi? Bisakah imajinasi kita digunakan untuk membayangkan masa depan alat musik tradisional ini?

Vickram Sombu memulai karirnya bukan sebagai fotografer. Ia pertama-tama bergelut di dunia film bersama Komunitas Film Kupang, meskipun ia memang mengenal dunia foto terlebih dahulu. Beberapa tahun terakhir ia intens belajar fotografi bersama para mentor di PannaFoto Institute. Ia baru saja selesai berpameran di JIPFest. Dua dunia ini, fotografi dan perfilman, ia tekuni bersama.

Seorang fotografer mungkin akan mengatakan Vickram menggunakan pendekatan film dalam foto-fotonya. Bagi beberapa filmmaker, Vickram bisa jadi seseorang yang visualnya terlalu fotografis. Di luar teknik dan pendekatan fotografis yang selalu jadi tantangan dalam setiap karya fotografi yang dikerjakannya, dalam pameran SANDU SANGGU kali ini Vickram mendapatkan tantangan baru ketika berusaha membicarakan mengenai identitas berdasarkan pembacaannya terhadap cerita sasandu.

Dalam salah satu percakapan ketika mendiskusikan kuratorial SANDU SANGGU, Vickram dengan jujur mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir ia justru merasa lebih dekat dengan budaya Lamalera dibanding Rote. Beberapa proyek film dan foto yang ia diikuti di Lamalera belakangan ini membuatnya bolak-balik Lamalera dan dekat dengan budaya di sana.

 Instalasi karya fotografi Vickram menggunakan program voice command (dok. Sandu Sanggu)

Membaca cerita awal mula sasandu, ia tertarik untuk mengeksplorasi isu identitas. Bagaimana kehidupan keluarga di Kupang yang berlatar belakang budaya Rote? Ia mencari jawabannya di dalam rumahnya sendiri. Arsip, simbol-simbol kebudayaan seperti ti’i langga dan tenun, juga makanan di dalam kulkas menjadi penanda identitas ke-rote-an yang dijaga dirawat dalam keluarga.

Melalui pameran SANDU SANGGU, menjadikan eksplorasi sasandu serupa ruang diskusi. Bukan hanya tentang sasandu, bukan hanya tentang alat musik, tapi juga diskusi tentang perpindahan, pertemuan, perubahan, dan keinginan untuk pulang.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Sandu Sanggu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts