Flaneur, Jalan-jalan tanpa Tujuan Menutup Tahun 2020

Berjalan merekam kota, menyusuri keramaian, dan ingin menjadi bagian dari suatu tempat dengan berada di luar, adalah kegaliban seorang flaneur.

 

Tahun 2020 nyaris pamungkas dan siap dibungkus. Semua orang mungkin sepakat, 2020 berjalan dengan nuansa abu-abu. Begitu banyak peristiwa kehilangan terjadi. Seseorang bisa saja kehilangan orang terdekat, mimpi, kesempatan kerja, dan mungkin juga hal-hal yang sebelumnya dipercayai.

Akhir tahun yang biasanya dipenuhi ingar-bingar resolusi terasa sepi-sepi saja. Malah berita-berita di televisi kian membuat percaya, sesuatu yang lebih buruk dapat saja terjadi. Namun, meninggalkan tahun ini dalam kekalutan mendalam juga bukan pilihan bijak. Pun, membuat rencana yang muluk untuk tahun depan tampaknya perlu lebih banyak pertimbangan.

Yang jelas, melakukan kegiatan lain untuk merangsang ide atau sekadar merangkum yang terjadi setahun ini bisa jadi pilihan alternatif kegiatan. Salah satunya adalah meniru apa yang dilakukan orang-orang Prancis pada abad ke-19, flaneurie.

Pada saat itu, di Prancis banyak orang yang berjalan-jalan manasuka di pusat kota Paris, lebih sering tanpa tujuan. Orang Prancis menyebutnya flaneur. 

Flaneur adalah istilah yang sangat Prancis sekali, sehingga sangat sulit menemukan padanan katanya dalam bahasa Inggris. Inti dari kata flaneur sendiri adalah berjalan tanpa arah, tapi bukan tanpa tujuan. Ya, saya juga mengerutkan dahi sama seperti yang Anda lakukan sekarang untuk kalimat sebelumnya.

Istilah flaneur dikemukakan oleh Charles Baudelaire, seorang penyair dan penerjemah asal Prancis. Dia dan karyanya dikenal memiliki pengaruh yang besar terhadap kesusastraan negeri itu. Karya puisinya memang bercorak dan menggambarkan situasi kota. 

Menyitir dari BBC.com, dosen Sastra Prancis di College de France Antoine Compagnon mengatakan, flaneur seperti berjalan-jalan tanpa arah di benak mereka, meskipun sebenarnya memiliki tujuan yang jelas. Mereka ingin menjadi bagian dari suatu tempat dengan berada di luar sambil mengamati sekitar dengan semangat filosofis. Atau dalam klausa terjemahan yang sulit dimengerti dikatakan sebagai hal yang “terkait dengan sebenarnya, tidak benar-benar mengetahui apa yang Anda cari”.

Munculnya flaneur di Prancis sebenarnya berkaitan erat dengan perubahan pesat ibukota Prancis. Sebenarnya, perubahan ini sudah terendus pasca Revolusi Prancis 1789. Paris dengan sigap berubah baik secara sosial, pun arsitekturnya. Jalan-jalan jadi lebar, taman berserakan, dan panorama yang masih terjaga sampai sekarang.

Disebutkan, flaneur adalah kegiatan bagi siapa saja yang anti-borjuis pada abad ke-19. Sebab, borjuis dan tentu saja kaum modern sekarang juga selalu terpana pada tujuan dan manfaat. Dalam kasus ini, borjuis tahu kemana mereka pergi, entah kerja, beribadah, atau mengantri di teller bank. Sedangkan, flaneur boro-boro, itu menyebabkan mereka bergesekan dengan materialisme, kapitalisme, dan kaum borjuis.

Walaupun kata flaneur dikonsepkan oleh Baudelaire, Walter Benjamin seorang pemikir penting mahzab Frankfurt adalah orang yang dikatakan membawa flaneur ke ranah akademis, sehingga istilah tersebut lebih dikenal luas. 

Mengutip dari Newrepublic.com, Benjamin pada awal abad ke-20 mengubah dirinya dari sekadar pengembara jalanan menjadi seseorang pengamat efek kerusakan dari modernisme dan kapitalisme.

Ia melihat Paris telah berubah menjadi bagunan kaca dengan tiang-tiang besi yang membentuk deretan toko-toko di sana. Bangunan itu menghancurkan petak Paris tua yang terkenal. Flaneur yang semula hanya kegiatan menenggelamkan diri di pusat kota dapat menjadi sebuah gerakan. Menurutnya, flaneur bukan seorang yang apolitis, meskipun tidak berarti dia bermain dalam ranah itu. 

Menyadur dari Tirto.id, Benjamin menyebut flaneur sebagai bunga di atas aspal. Mereka berjalan di atas aspal menyusuri sudut kota Paris, menangkap, mengamati gerak dunia yang lampau cepat, sekaligus penuh paradoks. 

Flaneur sangat senang menghabiskan waktu di kota, di tengah riuh rendah, dan orang bersliweran. Mereka digambarkan sebagai orang yang mengamati perubahan, mengejar pengetahuan, dan menghargai estetika. Flaneur suntuk dalam hiruk-pikuk dan menikmatinya. 

Ternyata, berjalan-jalan nirtujuan seperti ini memiliki manfaat juga. Masih pada artikel yang sama mengatakan bahwa Dr. Oppezzo dan Professor Daniel L. Schwartz, Ph.D., dari Stanford University Graduate School of Education melakukan penelitian untuk membuktikan orang yang jalan-jalan memiliki kreativitas yang lebih baik. 

Penelitian ini juga sekaligus membuktikan bahwa kreativitas bukan wahyu yang turun dari langit, tetapi bisa sangat riil dan dekat dengan realitas. Oleh karena itu, kegiatan ini tentu sangat berguna untuk Anda yang sedang suntuk dan mandeg dengan apa yang sedang kalian kerjakan, baik itu skripsi, menulis novel, atau memang penat tak ada juntrungan.

Anda tentu saja bisa mencobanya sekali-kali. Misal Anda tinggal di Jakarta, bisa jalan di sepanjang jalan Sudirman atau Gatot Subroto yang financial district, atau jalan mana saja karena semuanya ramai. Misal Anda tinggal di Jogja, sempatkan untuk menyusuri Jalan Solo sampai Tugu dengan santai, menikmati embusan AC dari toko-toko penjaja kain yang harum. Ya pokoknya menenggelamkan diri di antara bangunan-bangunan. Yang penting, jangan lupa pakai masker.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: A Wet Day on the Boulevards, Paris, by Alfred Stieglitz, 1894. Los Angeles County Museum of Art, anonymous gift.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Indonesia Bergoyang, Indonesia Sempoyongan

Next Article

Tiga Catatan Cinta; Kumpulan Puisi Antonius Wendy

Related Posts