Pemuda Adat AMAN Bengkayang: Bersatu dalam Perjuangan dan Harapan

dok. AMAN Bengkayang

Pemuda Adat Bengkayang menyepakati bahwa mereka memiliki keresahan dan kekhawatiran yang paling besar terhadap dirampasnya hak-hak sebagai masyarakat.


“Bagaimanalah? Membakar ladang kan mengeluarkan banyak tenaga dan biaya. Banyak tahapnya, panjang waktunya. Tiba-tiba perusahaan datang terus whuuuzzss…apinya hilang. Main siram-siram saja. Padahal kami butuh makan untuk mengisi perut,” ujar Heri, seorang pemuda yang ikut dalam pertemuan Pemuda Adat Bengkayang di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Adapun dusun yang terlibat dalam pertemuan tersebut adalah Dusun Sebalos, Dusun Sempayuk, Dusun Subah, dan Dusun Dawar. 

Pertemuan yang digelar oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Bengkayang pada tanggal 17 dan 18 Januari 2022 tersebut bertujuan untuk membuat perencanaan strategis dan program prioritas perlindungan lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia. 

Pemuda AMAN sendiri adalah organisasi sayap dari AMAN yang bergerak dalam pembentukan karakter generasi muda dan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan HAM. Selain organisasi Pemuda AMAN, ada pula organisasi sayap AMAN lainnya yaitu organisasi Perempuan AMAN.

Di awal sesi, para pemuda adat diminta untuk berdiskusi dan menganalisis permasalahan-permasalahan lingkungan dan HAM yang terjadi di sekitar mereka. Hasilnya, disepakati ada 9 masalah yang paling mendesak, yaitu 1) Terjadinya perampasan tanah dan hutan adat oleh korporasi, 2) Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan, 3) Adanya penambangan ilegal yang merusak lingkungan dan meresahkan masyarakat, 4) Kekurangan dan terganggunya persediaan air bersih, 5) Penghilangan tradisi lokal, 6) Banyaknya fasilitas umum yang masuk dalam HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan skala besar, 7) Sering terjadinya banjir dan tanah longsor, 8) Sulitnya akses masyarakat akibat jalanan yang rusak parah, dan 9) Terjadinya kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani dan masyarakat setempat. 

Para pemuda adat menyepakati bahwa mereka memiliki keresahan dan kekhawatiran yang paling besar terhadap dirampasnya hak-hak sebagai masyarakat. Tanah dan hutan masyarakat dirampas begitu saja oleh korporasi atas restu dari pemerintah tanpa melakukan perundingan dengan masyarakat yang tinggal di tanah dan hutan tersebut.

Padahal masyarakat sekitarlah yang paling rentan dengan berbagai akibat yang terjadi. Banjir, tanah longsor, dan hilangnya sumber air bersih sudah seperti makanan sehari-hari. Pemakaman umum, rumah ibadah, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya terancam digusur karena masuk dalam HGU. Belum lagi kondisi jalan yang rusak parah akibat kendaraan besar milik perusahaan. 

“Kalau kami melawan, kami dikriminalisasi. Jangankan melawan, bahkan berladang saja bisa dituntut!” celetuk Siska dengan penuh kekesalan. Siska merupakan sosok muda dari dusun Dusun Subah yang turut serta dalam pertemuan ini.

Ada sebuah perusahaan yang memiliki tanah seluas 11.900 ha, dan hanya menyisakan sedikit tanah adat untuk masyarakat setempat yang berjumlah lebih dari 400 kepala keluarga. Tanah tersebutlah yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup. Saat masyarakat membakar ladang untuk memulai proses perladangan, masyarakat dikriminalisasi dengan tudingan pembakaran hutan dan lahan serta pencemaran lingkungan. Padahal membakar ladang merupakan wujud kearifan lokal masyarakat adat. Ada keyakinan dan harapan dalam proses membakar ladang tersebut. 

Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 telah mengatur tentang pembakaran ladang. Disebutkan bahwa diperbolehkan membakar ladang dengan luas lahan maksimal 2 ha. Namun, akibat kurangnya sosialisasi, masyarakat menjadi takut akan ancaman kriminalisasi dan intimidasi dari perusahaan. 

“Pernah ada kejadian, saat masyarakat membakar lahan, pihak perusahaan membawa senjata lengkap,” celetuk Tias yang dikenal sebagai pemuda adat dari Dusun Dawar. 

Sebuah kasus yang sempat hangat di tahun 2020, ada 6 peladang dari Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, yang ditangkap karena membakar ladang untuk keperluan berladang. 6 peladang tersebut dituntut hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena dianggap melakukan pembakaran hutan dan lahan.

Karena ramainya masyarakat yang mengawal jalannya sidang, akhirnya keenam peladang divonis bebas. Kasus tersebut hanya satu contoh dari banyaknya kasus yang telah terjadi. Ada pula kasus dari Dusun Sebalos, yang mana peladang sudah diproses secara hukum, tetapi hasilnya tidak menunjukkan bukti-bukti yang cukup bahwa para peladang melakukan pelanggaran dalam berladang.

“Saya ingin bertanya,” ucap Heri, “kalau dulu di dusun saya, ada PT yang tiba-tiba masuk begitu saja. Tidak memberitahu apa-apa, tiba-tiba sudah ada kegiatan perkebunan dan alat-alat berat. Kenapa bisa seperti itu ya?” pungkasnya.

“Kalau sebuah PT masuk ke desa, pasti telah mendapat izin dari pemerintah setempat. Bahkan pernah ada kejadian, tanda tangan masyarakat dipalsukan. Tiba-tiba di surat izin sudah ada tanda tangan. Memang banyak polanya. Makanya, kita harus cermat dan peka,” jelas Siska.

Suasana pertemuan Pemuda Adat Bengkayang di Rumah Retret Sumping, Bengkayang (dok. AMAN Bengkayang)

Cerita lain datang dari Baba perihal yang terjadi di Dusun Dawar. Menurutnya dampak yang mereka alami adalah pembatasan. Mereka sempat dilarang berkebun. Kemudian menurut Baba, AMAN datang dan melakukan pemetaan wilayah hutan adat. AMAN menjelaskan kepadanya bahwa tanah yang selama ini dipagari oleh perusahaan ternyata merupakan tanah mereka dan tidak masuk HGU perusahaan.

“Kami sangat senang dengan adanya pertemuan seperti ini. Jujur saja, pemuda adat seperti kami ini tidak pernah diikutsertakan dalam perundingan dan keputusan apapun. Semuanya hanya sampai ke pihak di atas kami saja. Kami dianggap tidak penting dan tidak tahu apa-apa. Semoga dengan seringnya belajar seperti ini, kami jadi bisa lebih berani menentukan sikap saat terjadi permasalahan lingkungan dan HAM di tanah kami,” ungkap Baba. 

Jalannya proses diskusi dan analisis lingkungan dan HAM oleh para pemuda adat berjalan dengan baik dan lancar. Masing-masing pemuda adat mengungkapkan berbagai permasalahan yang terjadi di tempat asal mereka.

Selain itu, mereka juga saling bertanya-jawab, memberikan saran, dan memberikan kekuatan. Mereka meyakini bahwa tak ada gunanya berjuang sendiri. Para pemuda adat harus menyatukan kekuatan.

“Wah saya senang sekali melihat teman-teman, para pemuda adat sekalian dapat saling berdiskusi seperti ini. Inilah yang harus dilakukan oleh para pemuda adat. Kita harus sadar, tanggap, dan bijaksana dalam menanggapi permasalahan-permasalahan yang terjadi di dekat kita,” ucap Iskandar, fasilitator dalam pertemuan tersebut. 

Hasil dari pertemuan Pemuda Adat Bengkayang yang dilaksanakan selama 2 hari tersebut, disepakati visi bersama Pemuda Adat AMAN Bengkayang 2022-2027 yaitu “Terwujudnya organisasi Pemuda Adat yang cerdas, kuat berdaya, berjuang dalam pelestarian lingkungan, budaya dan HAM”. Visi tersebut akan menjadi dasar dari perumusan misi dan rencana kerja nyata Pemuda Adat AMAN Bengkayang selama 5 tahun ke depan.

Untuk merumuskan misi dan rencana kerja, para pemuda adat sepakat membentuk kelompok perumus. Hasil rumusan yang telah dibuat akan dikemukakan pada pertemuan lanjutan Pemuda Adat AMAN Bengkayang pada tanggal 24 Januari 2022 mendatang.  

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: dok. AMAN Bengkayang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts