Kumpulan puisi ini: Apa Yang Lahir Dari Seorang Perempuan Bermata Hujan, Bagian Timur Daendels Road, dan Requiem Maria. Ditulis oleh Farid Merah, gerilyawan dari Majapahit yang dikirim ke daratan kerajaan Yogyakarta.
Api Yang Lahir Dari Seorang Perempuan Bermata Hujan
untuk ibuku, tetap tenang di sana
Mengandung bayi adalah hal paling membahayakan,
Dan yang paling mematikan adalah melahirkan api ke muka bumi,
Setiap ibu yang punya bayi,
Pasti pernah terbakar,
Tapi tidak semua ibu pernah melahirkan api
Aku lahir ketika tuhan menciptakan api,
Dengan api pula jin dan setan diciptakan oleh tuhan,
Api, Aku, Jin, dan setan kita punya hari lahir yang sama,
Kita sama-sama ciptaan tuhan,
Tapi aku, api, jin, dan setan banyak sekali perbedaan
aku dilahirkan oleh ibu cantik yang bermata hujan,
di bumi aku selalu disepelekan, diremehkan, ditertawakan, dan dipandang
sebelah mata seperti setan,
Mereka pikir aku membahayakan,
Walau kadang aku juga buat lelucon dan buat mereka tertawa,
Akhirnya aku tahu,
Aku harus jadi apa,
Aku harus jadi lelucon,
Aku adalah lelucon
aku tenang ketika melihat teman-teman senang,
Ketika melihat teman-teman tertawa,
Semakin ditertawakan,
Aku semakin tenang,
Semakin diremehkan ,
Aku semakin nyala,
Tapi aku selalu khawatir,
kalau ibuku melihat mereka menertawaiku,
Aku takut ibu terbakar,
Tapi aku selalu bilang pada ibu
“Ibu tidak usah marah,
Tidak usah khawatir,
Apalagi sampai bangkit dari kubur”
Mereka semua itu temanku bu,
Aku sayang mereka.
Mereka tidak bisa disalahkan,
Juga tidak pernah salah,
Mereka hanya dapat melihat,
hanya dapat melihat sekelibat,
Dan akulah kenyataannya,
Sebab itulah jalan yang sudah digariskan,
Jalan yang harus kulalui,
Jalan yang buatku sampai ke tujuan,
Memang setiap orang punya bahasa, bu
Tapi tidak semua orang mau bicara,
Setiap orang memang punya pendengaran,
Tapi tidak semua orang mau mendengar,
Mereka lebih memilih membangun tembok,
Daripada susah payah kenalan,
Dan memikirkan perasaan orang
Sebab hidup sudah susah
Orang-orang mudah lelah
Dan aku hanya ingin hidup tenang,
Juga sepi.
2023
Bagian Timur Daendels Road
(Panarukan Situbondo)
Kami bermula dari selatan,
Dari tanah tempat bersamayamnya sisa-sisa kesultanan mataram islam,
Menuju bekas salah satu tanah kekuasaan,
Arya Wiraraja kerajaan “Lamajang Tigang Juru”,
Dalam keluhuran budi pandalungan,
Kami juga melintas di bekas kekuasaan leluhur Panembahan Senopati Sang Penakluk “alas mentaok”
Tempat Raden Wijaya mengukuhkan majapahit serta wilwatikta sebagai panjinya,
Setelah memanipulasi pasukan Kubilai Kahn,
Dan Rezim fasis ala jayakatwang di Kadiri.
Kami terus melesat ke depan sambil terus melintasi puing puing cerita masa silam
Mendapati nguar darah dan keringat leluhur kami yang dijadikan budak daendels,
Dalam kerja paksa proyek raksasa di tanah jajahan,
Seribu kilometer mulai dari Anyer hingga Panarukan,
Seperti mendayung perahu dengan digenangan darah leluhur kami yang digenosida kaum mleca.
Perjalanan ini adalah perjalanan masa depan sambil terus menggenggam ingatan masa silam, Sebab
Melintas di sepanjang jalan raya pos bagian utara tapalkuda,
Adalah melintasi kekhawatiran serta ambisi kolonial hindia belanda,
Akan gangguan pasukan inggris raya pada kerakusannya akan jawa,
Melintas di sepanjang jalan raya pos bagian utara tapal kuda,
Adalah melintasi ambisi kolonial hindia belanda,
Akan privatisasi, komersialisasi, dan industrialisasi,
Sumber daya alam negeri ini, atas perkebunan coklat, jati, aren, tembakau, tebu, beras, dan kopi.
2023
Requiem Maria
Sudah kutata bulan-bulan
Di tiap malamku, Maria
Sudah ku rapikan baju dan keyakinanku
Kumainkan lagu dalam hatiku
Kubersihkan semak belukar dalam diriku
Agar saat kita bertemu
Biar cair kugetarkan jiwamu beku
“Kaukah itu, Maria?
Mimpi yang datang
Dalam demamku”
Kau usap kepalaku
Yang batu
Penuh rak-rak buku
Dan ingatan tentangmu
Kau seka tubuhku yang kotor
Penuh sayatan,
Tumpahan ingatan,
Dan muntahan janjimu
Tapi kau memilih mati,
Jadi pengkhianat waktu,
Dalam jantungku,
Maria.
2021
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Muhammad Fajar Imani