“Sesungguhnya setiap gagasan memiliki sistem ekonomi, ruang hidup, serta tanggung jawab pencipta yang berbeda.”
Mata saya terbelalak setelah membaca secuil kalimat di atas yang ditulis begitu besar menggunakan tinta warna hitam dengan paduan warna merah terang di sebuah tembok putih yang dominan. Kalimat itu seolah menyambut saya dan para pengunjung lain ketika memasuki pameran arsip Garin Nugroho, seorang sutradara, penulis skenario, produser ternama Indonesia, bertajuk Ruang, Ingatan, dan Layar.

Malam itu, 5 Juli 2025, saya hadir agak terlambat ke pembukaan pameran di Omah Jayeng. Karnaval bus-bus pariwisata di jalanan Kota Yogyakarta jadi penyebabnya. Sesampainya di sana, rupanya pertunjukan tari “Menantimu Pulang” dari Sekar Kinanti sedang berlangsung. Meski hanya menyimak bagian tengah hingga akhir, ruh dan energi yang disampaikan cukup membuat saya paham apa yang dibawakan dalam pameran ini: ihwal ingatan.
Setelahnya, tur pameran dilangsungkan dan dipandu langsung oleh Istifadah Nur Rohmah, selaku kurator. Kala memasuki ruang pamer, saya merasa akrab, tapi juga asing dengan arsip-arsip dari Garin Nugroho yang terpampang di setiap sudut ruangan.
Saya melihat foto-foto yang menampilkan proses produksi film, pengambilan adegan, dan lainnya. Kliping berupa kritik terhadap film-film yang telah disutradarai Garin dan berita-berita yang membahas hasil karyanya, poster film, hingga pemutaran film dokumenter yang menyoroti proses kreatif Garin. Pameran Ruang, Ingatan, dan Layar diselenggarakan selama satu bulan, 5 Juli-5 Agustus 2025.
Mengapa saya merasa akrab sekaligus asing dengan Garin Nugroho? Beberapa tahun lalu, saya menonton film Soegija (2012), Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), dan Kucumbu Tubuh Indahku (2019) yang posternya menempel di dinding ruang pamer ini. Saat itu, saya hanya ingin menonton saja, tanpa ingin menafsirkan lebih jauh 3 film Garin itu.
Dalam pameran ini, akhirnya saya menangkap kesan bahwa Garin Nugroho adalah sosok yang begitu kompleks dalam membingkai kausalitas persoalan sosial-politik dalam karya-karyanya di luar film yang saya tonton.
Memoar Luka di Tengah Sorak-Sorai
Sebagai seorang sutradara yang memulai kariernya sejak 1984 Garin Nugroho telah menelurkan banyak film dengan bermacam wacana dan tema. Kurator pameran ini kemudian membingkai arsip-arsip milik Garin Nugroho dengan satu benang merah: kerentanan yang penuh luka.
Pameran ini terbagi menjadi empat periode sesuai dengan peristiwa yang disoroti Garin lewat film-filmnya: sebelum kemerdekaan (Soegija, Nyai, dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto), setelah 1945 (menyoroti tragedi ’65 dengan film Puisi Tak Terkuburkan), dan masa Soeharto-setelahnya (Kucumbu Tubuh Indahmu, Surat Untuk Bidadari, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Daun di atas Bantal, dan Mata Tertutup).
Pembagian periode itu saya baca sebagai masa peralihan kekuasaan yang sering kali diiringi pekik kegembiraan dan harapan akan kedamaian, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Di dalam ruangan yang berbentuk persegi panjang dan terbagi menjadi dua ruang, arsip-arsip Garin dihadirkan dengan suasana yang berbeda. Di ruang pertama dominasi warna putih hampir menyelimuti seluruh ruangan. Sedang di ruang kedua, yang bisa dimasuki melalui ruang pertama, suasana mencekam dan gelap tak terelakkan, ditambah pencahayaan yang hanya muncul dari satu lampu berwarna merah.

Menurut saya, dua ruangan yang berbeda ini menunjukkan tema film Garin yang saling bertolak belakang. Ruangan putih bersih diisi oleh kumpulan arsip yang bersinggungan dengan film-film Garin bertema kepahlawanan dan kemanusiaan.
Sedangkan di ruangan gelap, saya merasakan sesak karena arsip yang hadir adalah arsip dari film yang menonjolkan nuansa mencekam; genosida 1965. Sorot tipis lampu berwarna merah turut mendukung suasana penuh kewaspadaan.
Sesaat menyusuri sudut-sudut ruangannya, saya membaca dan melihat satu per satu arsip poster film dan cuplikan scene film . Beberapa poster film yang melekat di dinding tembok berwarna putih. Saya rasa, penempatan arsip poster yang dijejer itu memiliki ketegangan isu yang beragam tapi sesungguhnya sama; tak jauh berbicara mengenai gender, sosial-politik, dan etnis.

Rumah Sebagai Monumen Ingatan
Di rumah itu—Omah Jayeng—, sebagai tempat dipamerkannya arsip-arsip Garin Nugroho, menjadi tempat tumbuh Garin kecil dan kemudian memengaruhi pondasi jiwa kebudayaannya hingga hari ini. Gagasan rumah dalam pameran kali ini dapat lihat sebagai bentuk awal atau embrio terbentuknya setiap manusia. Nilai-nilai awal yang ditanamkan di rumah akan menjadi jalur perjalanan dalam kehidupan, pun tidak dipungkiri, beberapa dari kita justru merasa nilai-nilai yang dibawa dari rumah tak lagi relevan.
Rumah atau ruang terdekat dengan kita tidak hanya sebagai tempat singgah. Sebuah rumah juga menyimpan konstruksi ideologis, sikap politis, dan memantik rasa imajinatif.
Berawal dari rumah, seorang manusia mempersiapkan diri untuk berpetualang ke semesta yang tak menentu, dan berujung menjadi tegangan. Ruang, Ingatan, dan Layar adalah tajuk yang sesuai dalam mewakili bentangan arsip Garin. Berawal dari ruang, lalu mengendap di ingatan, seterusnya diabadikan dalam layar perak.

Pemilihan rumah sebagai tempat dipamerkannya arsip-arsip seperti menegaskan bahwa tempat teraman untuk merawat ingatan adalah rumah. Menziarahi kembali rumah berarti menyusuri kembali ingatan-ingatan masa lampau yang rentan dilupakan. Rumah adalah lonceng pengingat terbaik bagi manusia jika tiba-tiba di tengah perjalanan hidupnya mengalami lupa.
Ingatan akan rumah, nilainya, dan ruang tumbuh tak bisa dilepaskan dari kehidupan masing-masing manusia. Jika memang makna “rumah” harus digugat di kemudian hari, itu persoalan lain. Saya merasa berhasil kembali mengingat rumah sebagai pijakan awal ketika melawat ke pameran Ruang, Ingatan, dan Layar. Kita seperti diajak pulang, memeluk kembali monumen ingatan, dan kehangatan nostalgia yang abadi dalam kumpulan arsip. Begitulah rumah.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Omah Jayeng
