Anti-Tur dan Demiliterisasi: Membongkar Monumen, Melawan Kekerasan Epistemik

Melalui anti-tur dan inisiasi berbasis publik, Kolektif Arungkala membayangkan militerisme perlu dilampaui dengan cara yang sangat beragam, melebar, dan meluas.

Kami memulai anti-tur ini saat udara di sekitar Benteng Vredeburg cukup teduh. Pukul lima sore, kami mulai berjalan kaki ke Monumen Serangan Umum 1 Maret di Titik Nol Yogyakarta. 

Setelah sampai, kami melihat lima patung. Dari arah pintu masuk monumen, terlihat pada sisi paling kiri ada seorang warga biasa mengangkut logistik di bahu kanannya, ia hanya membawa senjata golok yang diikat di pinggul kirinya. Tepat sebelahnya, ada tiga patung tentara mengangkat laras panjang. Patung tentara yang tepat berada di posisi tengah dibangun setingkat lebih tinggi dari patung lainnya. Semua patung tentara berpose memegang senapan, berwajah garang, dan badannya tegak menjulang. 

Tepat pada ujung kanan, ada patung seorang Ibu, membawa makanan dan sayur-sayuran di keranjang bambu. Memakai kebaya dan berkonde, ia berada di posisi paling pinggir seperti lelaki yang mengangkut logistik di bahunya. Monumen Serangan Umum 1 Maret diresmikan Presiden Soeharto pada tahun 1973, proyek monumen ini dipimpin langsung Pangdam VII/Diponegoro. 

Monumen ini setidaknya menggambarkan banyak monumen lain yang dibangun pada era Soeharto. Gestur visual yang khas, yaitu ukuran gigantis dari patung-patung para tentara—yang kebanyakan Angkatan Darat, lengkap dengan senjata api dan wajah garang. Dengan harapan warga-warga melihat monumen ini dengan perasaan “terpesona, aku terpesona!”.

Tepat di depan monumen itu, kami membuat eksperimen bersama seluruh teman yang ikut anti-tour edisi demiliterisasi sejarah ini.

Kami membuat zine bersama dengan pantikan sebuah kalimat, yaitu apa yang kamu bayangkan jika pasukan bersenjata dan senjata api dihilangkan dalam diorama atau monumen di seluruh Indonesia? 

Masing-masing teman jalan kami merangkai diorama dan monumen baru dalam pikirannya. Semua membayangkan seperti apa rasanya berjumpa patung dan diorama tanpa angkatan bersenjata melulu. Toh, sejak Soeharto berkuasa, seakan seluruh monumen dan diorama jadi berhala pemujaan untuk mereka yang berseragam dan bersenjata api.

Seorang teman jalan menggambar figur ibu-ibu yang memasak di dapur umum, sedangkan yang lain membuat oretan petani serta capingnya, dan masih banyak lagi. Setelah lima belas menit mengoret zine, lembaran kertas ditutup dan kami lanjut berjalan lagi. 

(dok. Kolektif Arungkala)

Perjalanan lalu berlanjut ke arah Alun-alun Utara, Yogyakarta. Kami berjalan menyusuri trotoar, hingga sampai pada sebuah monumen pada salah satu sisi alun-alun.

“Kami, Orde Baru, bangkit memperjuangkan keadilan dan kebenaran” adalah salah satu kalimat yang jadi semacam manifesto, yang diukir pada Monumen Enam Enam ini. Bangunan koramil mewujud di belakang monumen kemenangan tersebut.

Kemenangan atas apa? Jawabannya tidak lain diukir pada muka Monumen Enam Enam. Kami kutipkan kalimat tersebut:

“Pertama kali PKI/BAPERKI dibekukan di tempat ini 14 Mei 1966, Markas Laskar Andi Margono Berdiri”. 

Dalam kata lain, ini kemenangan militer Angkatan Darat atas Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI) yang memang sebelumnya berkantor di sekitar situ. Sebuah monumen pendudukan, anggaplah.

Terdapat barcode pada zine yang telah dibagikan. Barcode tersebut berisi rekaman arsip lisan, suara, dan cerita yang berasal dari wawancara korban tertuduh komunis pada huru-hara 1965. Berbekal earphone, kami mendengarkan pengalaman mereka—bagaimana mereka dibawa, dikurung dalam sel, dan diinterogasi dengan kejam. Pukulan, tendangan, dan semua kekerasan itu mereka dapat seiring dengan pertanyaan mengapa mereka diperlakukan sedemikian rupa. 

Dengan semua kejadian hari-hari ini, masa lalu (dalam hal ini geger ’65 dengan semua kejahatan militer di dalamnya) seakan tumpang tindih. Sejarah itu kembali mendapat kekiniannya sore ini. Anti-tur ini berakhir di gedung yang pada tahun 1950-an menjadi salah satu kantor PKI Yogyakarta. Setelah pembantaian massal 1965-1969, gedung itu diduduki oleh Angkatan Darat menjadi salah satu markas bagi basis tentara di Yogya. 

Mengunjungi Monumen Enam Enam dan markas tentara adalah seperti merasakan sebuah pengalaman yang aneh. Pikiran yang pecah, sejarah yang seakan terus berulang dan tak berubah. 

Mengapa Anti-tur? Bagaimana Membongkar Sejarah yang Berseragam?

Anti-tur adalah istilah yang kami pakai, kembangkan, dan kaji. Istilah ini lebih merupakan eksperimentasi wacana dan praktik produksi pengetahuan berbasis publik, alih-alih istilah serius nan akademis. Anti-tur hanya meminjam tur sebagai mode penyelenggaraan saja, perbedaan mendasarnya terletak pada metode. Dalam format seperti anti-tur ini, tak ada destinasi, tak ada objek tatap, atau bahkan atraksi seperti mode turisme pada umumnya. Para kawan yang ikut dalam agenda ini diposisikan sebagai kawan jalan, bukan turis atau bahkan peserta. 

Anti-tur mengantar kawan jalan pada beberapa monumen, gedung, atau situs yang spesifik, untuk mengimajinasikan bagaimana militerisme bekerja. Selama perjalanan bersama beberapa kawan jalan ini, kami memantik semua yang terlibat untuk membuat zine dan merangkai pembacaan alternatif bersama pada sejarah—terutama sejarah panjang kekerasan dan militerisme.

Sebab, semua pasti pernah bersentuhan dengan militerisme, meski semua tak pernah mendaftar jadi tentara. Sejak masa Sekolah Dasar, kita mengalami militerisme dalam ruang politik sehari-hari. Ingat-ingat kata kunci soal seragam, menyeragamkan, dan penyeragaman.

(dok. Kolektif Arungkala)

Apakah kamu ingat, kapan pertama kali kamu baris-berbaris di halaman sekolah? Barisan anak sekolah berbaju seragam, rapi, berdiri tegak, lalu berjalan seperti pasukan khusus yang diutus ke medan tempur. Kemudian, seorang pemimpin barisan menyerukan komando: “Siap grak, tegak grak”. Coba terus bayangkan masa-masa memakai seragam sekolah itu. Ingatlah baik-baik kata kunci “seragam” dan “serentak”. 

Untuk teman-teman yang lahir pada 1980-an hingga 1990-an, istilah pelatihan baris-berbaris jadi satu paket dengan berbagai kegiatan di sekolah. Begitu juga dengan teman-teman yang lahir tahun 2000-an, istilah peraturan baris-berbaris dan Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) masih sangat menempel dalam ingatan. Berseragam, serentak, baris-berbaris, bergerak dalam perintah komando kemudian bukan sesederhana permainan dalam ekstrakurikuler sekolah. Istilah-istilah itu juga adalah cara seorang anak sekolah untuk bertindak, ia adalah kultur pendidikan pada rezim militeristik Orde Baru dan terus dilanjutkan setelah Reformasi 1998. 

Simulasi kecil soal ingatan itu bisa menjadi contoh yang memperlihatkan bagaimana militerisme bekerja sebagai sebuah kekuatan yang total. Aparatus kuasanya bekerja dalam berbagai lini kehidupan warga. Politik, bisnis, pendidikan, hingga produksi pengetahuan, juga hal-hal yang terlalu panjang untuk disebut satu per satu. Militerisme selama ini selalu bekerja dengan cara yang nampak maupun tak nampak. 

Militerisme adalah salah satu virus epistemik yang akut. Melawan militerisme bukan sekedar melawan institusi, tetapi juga jejaring sembelit antara distribusi pengetahuan dan mentalitas. Pada situasi paling mendasar, melawan militerisme adalah melawan produksi pengetahuan yang menyeragamkan dan distribusi ketakutan—dari kebebasan berekspresi hingga baris-berbaris anak Sekolah Dasar. 

Penyeragaman, penertiban, pendisiplinan, hingga kontrol yang biopolitis. Militerisme bekerja dalam jejaring kompleks antara budaya dan perilaku, warga dan negara, hingga teror dan pendangkalan parlemen. Sejak awal kelahirannya, militerisme kawin silang dengan kolonialisme dan kapitalisme. Tumbuh berkembang setelah 1945 dan melebur satu tubuh dengan state-led nationalism—coba bayangkan ekspresi klise soal patriotisme yang khas Indonesia. Melawan militerisme adalah melawan apa yang dilabeli sebagai sejarah resmi dan berbagai bentuk legitimasi historis. 

Sejarah yang Berseragam, Masyarakat yang Diseragamkan. 

Seragam, penyeragaman. Komando, mengomando, pengomandoan.
Menguasai, dikuasai. Tunduk, takluk. 

Kami sudah melakukan riset cukup panjang tentang demiliterisasi penulisan sejarah. Riset ini berkembang menjadi satu telaah yang meluas, terutama soal hubungan pengetahuan dan militerisme. Sebab, militerisme yang dialami di kawasan Indonesia ini tak sekedar isu politik dan kekerasan dari institusi militer saja. Militerisme yang terjadi jauh merembes, bocor, dan meluber dalam lini kehidupan sehari-hari. Bahkan, mempengaruhi pola gerak kebudayaan, produksi pengetahuan, sampai hal-hal kecil di sekitar ruang keseharian. 

Untuk membahas rumitnya isu seperti ini, kami sebenarnya cukup menulis esai-esai seperti ini atau membuat berbagai program kajian humaniora saja. Tapi, kami membayangkan sebuah format kegiatan yang bisa diikuti siapa saja, katakanlah sebuah kegiatan produksi pengetahuan berbasis publik. Meski bertema topik semacam demiliterisasi yang epistemik semacam itu. 

Melalui anti-tur dan inisiasi berbasis publik semacam ini, kami membayangkan militerisme perlu dilampaui dengan cara yang sangat beragam, melebar, dan meluas.

Ia perlu bergerak dalam gerak terus-menerus dan sebagai upaya keseharian—besok berlatih lagi, membayangkan dan mengerjakan keadilan yang sehari-hari, yang beredar di sekitar. Bahwa penolakan pada UU TNI adalah hal penting, juga sama pentingnya dengan upaya menolak militerisme sebagai virus epistemik. 

Sudah banyak aktivasi dan inisiasi kesenian yang memakai tur sebagai mode. Tapi menjadi penting kiranya untuk membayangkan tur sebagai kegiatan publik yang lebih luas — publik yang tidak hanya terbatas dalam lingkar seni, lingkar intelektual, dan lingkar-lingkar sejenisnya. Tur atau bahkan anti-tur bisa menjadi medium untuk mendistribusikan pengetahuan kritis secara luas, terutama diskursus yang selama ini direpresi dan dihilangkan dari wacana arus utama. 


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Kolektif Arungkala

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Mata Gelap Ali Moesa

Related Posts