Asa Ary Juliyant di India | Menyibak album Asa di India (2011)

Menyibak cerita di setiap lagu dalam album Asa di India (2011) yang dibuat setelah perjalanan Ary Juliyant ke India pada tahun 2011.


Beberapa minggu setelah pengalaman pertama menonton Ary Juliyant enam tahun lalu, nasib baik menghampiri saya. Sebab, di hari penampilannya tempo waktu, seorang teman mendapatkan albumnya dengan cuma-cuma. Ia yang tahu saya kagum dengan penampilan Ary Juliyant kemarin, memberikan album itu. Jadilah saya memiliki satu dari sekian banyak album yang ia hasilkan.

Album itu berjudul Asa di India (2011). Saya tahu, rata-rata albumnya hanya dicetak 10 sampai 20 keping. Yang ada di depan saya, punya nomor urut 02. Mungkin yang nomor 01 sudah masuk dalam lemari arsipnya. Sampul, yang juga merupakan kemasan album ini berupa kertas fotokopian dengan grafis huruf Sanskrit yang diatur seperti kolase. Di baliknya, ada teks lirik yang tipografinya acak. Jenis hurufnya juga beragam. Hal ini membuat siapa saja yang ingin membacanya perlu memutar-mutar kertas itu. Kertas itu dilipat dan direkatkan dengan karkir merah bulan bertuliskan Ary Juliyant & Folk.

Sementara isinya adalah keping CD-R kuning yang diberi cap Ary Juliyant & Folk, label Fotokopi Records, alamat email, ditambah dengan nomor seri yang ditulis manual dengan spidol. Di bagian atasnya ada juga tanda tangan Ary Juliyant yang barangkali ditulis dengan spidol juga. Semua identitas albumnya itu berbagi ruang dengan informasi fisik dari CD-R itu sendiri.

Album ini sudah saya miliki selama enam tahun. Sisa tahun 2015 waktu itu menjadi periode paling sering album ini masuk ke CD drive laptop saya. Setelah periode itu, album ini lebih sering bersanding dengan koleksi album lain di lemari. Baru belakangan saat pindah dari Jogja, Asa di India mulai saya dengarkan lagi. Saat itu, rasanya seperti baru pertama kali mendengarkan delapan track dari album ini. Dalam keadaan seperti itu, ingatan akan peristiwa beberapa tahun lalu terhampar begitu saja. 

Kalau beberapa orang sengaja menjaga jarak antara karya dengan cerita di belakangnya, saya justru sangat ingin tahu bagaimana album ini bermula. Pada banyak kejadian memang sering ada perbedaan antara interpretasi pendengar dan inspirasi lagu yang diceritakan penulisnya. Tak jarang fakta itu membuyarkan ekspektasi pendengar dan mengurung imajinasinya. Namun, untuk album satu ini, saya menyimpan dulu interpretasi itu untuk lain waktu. Saya beranikan untuk bertanya detail tentang album ini di sela wawancara yang saya lakukan.

Oleh-oleh dari India

Album ini dibuat setelah perjalanan Ary Juliyant ke India pada tahun 2011. Berbekal jaringan dari Log Sanskrit, ia berkesempatan pentas di sana. Log Sanskrit sendiri merupakan sebuah ruang yang didirikan oleh Asrie Tresnadi untuk mengolah filosofi dan musik India. Asrie Tresnadi sendiri terkenal piawai memainkan sitar, sebuah alat musik klasik Hindustan yang berdawai. Ia meminta Ary Juliyant mewakili Indonesia berpartisipasi dalam gelaran Lokrang Dance and Music Festival. Sepulang dari sana, banyak cerita yang kemudian menjadi cikal dari album ini.

Lagu pertama yang memikat saya dalam album Asa di India adalah Wanita Hijau. Awalnya, saya begitu percaya bahwa mungkin ini sosok wanita yang ditemui Ary Juliyant di India. Namun, tentu saja interpretasi perlu ditunda sementara waktu. Setelah saya kulik, lagu ini tidak berlatar India. 

Penggalan liriknya berbunyi, “Wanita hijau di Selasa pagi // Seorang pelancong tersesat di matanya // Lehernya yang jenjang adalah pilar-pilar katedral”. Suasana yang dihadirkan terasa gelap dengan pemilihan nada-nada rendah yang datar. Belum lagi lirik yang dinyanyikan secara kanon dengan lapisan suara senandung membuat lagu ini memiliki kesan yang sakral. Dari pembicaraan dengan Ary Juliyant sore itu, saya baru tahu kalau lagu ini adalah musikalisasi dari puisi milik Kiki Sulistyo.

“Itu juga ajaib prosesnya. Saya biasanya tak punya materi pasti saat rekaman. Selain kertas-kertas catatan, saat itu saya bawa buku puisinya Kiki (Sulistyo). Saat saya baca dan eksplorasi, ada insting untuk memasukkannya dalam album ini. Ajibnya, setelah pulang ke Lombok dan kasih tahu dia. Ternyata Kiki juga sebenarnya berencana mengenalkan puisi ini kepada saya sejak beberapa tahun lalu. Jadi, ada insting yang sama, konektivitas,” tutur dia.  

Setelah mengetahui fakta tersebut, saya lalu bertanya sebenarnya ada berapa lagukah yang benar-benar terinspirasi dari lawatannya. Jawabannya, ada tiga lagu. Lagu Welcome to the Jungle Chauri Baazar Delhi, Tamil Nadu Asrie Ekspress Semalam, dan Kal Raat, Puri Raat. Sementara, lima lagu lainnya dipilih berdasarkan kemiripan rasa dan konektivitas, seperti yang dikatakannya di awal. Album ini diakuinya bernuansa lumayan gelap. Hal ini saya amini juga ketika membandingkannya dengan karya lain.

“Ada kambing yang mengembara // wisata pelancong Eropa // sang pertapa lewati pasar // dan peminta-minta berambut gimbal // Semua berserabut // macet dan riuh // dengan kabel-kabel listrik // serta sign board tua di antara uang, debu, udara dingin, dan hangatnya napas perdagangan rakyat”.

Lirik di atas datang dari lagu Welcome to the Jungle Chauri Baazar Delhi. Track pertama ini memiliki lirik paling deskriptif. Chauri Baazar atau Chawri Bazar merupakan sebuah pasar grosir di Delhi yang telah berdiri sejak 1840. Pasar ini terkenal dengan kerajinan tembaga dan kuningan juga berbagai pernak-pernik lain. Yang jelas, daerah ini memang sangat ramai setiap harinya. Tentu saja, itu semua tergambar dengan presisi ketika Anda mencari gambar Chawri Bazar di Google.

“Setelah saya tampil di KBRI New Delhi, daerah India yang sangat (berbudaya) barat. Saya kemudian diajak teman naik subway ke Chauri Bazaar. Ketika naik tangga, saya kaget sekali dengan suasana pasar. Kekagetan itu yang menginspirasi saya, sangat kontras gitu. Itu semua nyata saya lihat. Saya berada di antah berantah, di antara orang yang bahasanya tidak saya tahu. Mereka bahkan tidak tahu di mana Indonesia. Malah saya dikira orang Nepal,” tuturnya sambil tertawa.

Bergerak ke lagu kedua, Tamil Nadu Asrie Ekspress Semalam. Lagu ini menceritakan salah satu kereta cepat India bernama Tamil Nadu Asrie Ekspress. Suasana dibuka dengan nyanyian yang juga bernuansa muram, petikan gitar yang jarang, dan simbal yang dipukul sesekali. Dengan tempo yang lambat, lagu ini menyediakan tempat untuk nada-nada tinggi yang ditembakkan tepat sasaran. Saya selalu mengagumi bagaimana ia menarik nada-nada tinggi (Ya, saya menyebut kalimat ini juga dalam tulisan sebelumnya). 

Baca juga: Ary Juliyant: Kalau Terkenal, Berarti Saya Gagal

Berdasarkan pengamatan saya, Ary Juliyant sering menyebut nama orang dengan gamblang dalam beberapa liriknya. Dalam lirik lagu ini ia menyebut nama Nuki. “Kereta api sleeper malam // tengah melaju bersama mimpi Nuki yang basah di Sungai Gangga”. Dalam lirik lagu sebelumnya ia menyebut nama Adi Jogja, Stefan, dan Resa. 

Dari dua lagu di awal ini saya juga menyadari bahwa lagu dalam album ini tidak memiliki bentuk atau urutan seperti lagu pada umumnya. Ia menyanyikan habis liriknya, lalu mengulang satu bait di awal dan lagu selesai. Itu salah satu contohnya. Tentu ada formula lain bagaimana ia memperlakukan liriknya. Tak seperti lagu pada umumnya yang memiliki reff yang terus diulang.

“Oh, masih pantaskah kuraih kehangatan matahari ini? // Padahal airmatakupun telah mengandai // memandikan para bocah kumal yang tampak tengah bergelandang // tak peduli dihantui maut setiap saat”.

Setelah itu tersaji lagu Ketika Ku Buka Jendela. Berdasarkan penuturannya, lagu ini memang tidak menceritakan pengalaman di India. Namun, saya bisa mengerti kenapa lagu ini ia pilih untuk album ini. 

Selain karena memiliki frekuensi dan warna suara yang senada. Lirik dalam lagu ini juga memiliki pilihan kosakata yang sama dengan lagu sebelumnya. Sekurang-kurangnya selain lagu ini ada dua lagu lainnya yang membicarakan dingin udara. Sebab itu, tidak sulit untuk percaya kalau lagu ini memiliki ikatan dengan lagu lainnya, di alam bawah sadar. Bisa jadi memang semua unsur tersebut dipikirkan masak-masak.

“Kabut itu telah hilang seiring waktu berjalan // Kini tak ada lagi dingin yang menyelimuti pagi // ketika kubuka jendela”.

Urutan ke empat dihuni oleh Wanita Hijau. Cerita mengenai lagu ini sudah saya tuliskan di atas. Saya juga beruntung pernah mendengar lagu ini dibawakan langsung dalam sesi sound check penampilannya. Sayangnya lagu ini memang tidak dibawakan malam harinya, mungkin karena nuansanya terlalu gelap. 

Lagu kelima berjudul Kal Raat, Puri Raat. Dalam bahasa Indonesia, judul lagu ini berarti tadi malam, sepanjang malam. Lagu ini paling banyak memasukkan unsur bahasa India di dalam liriknya. Ada juga sedikit bahasa Inggris di akhir lagu. Lagu ini merupakan lagu dengan tempo yang lumayan cepat dibandingkan lainnya.

Kalau tidak salah terka, lagu ini menggambarkan suasana acara tahunan Lokrang Dance and Music Festival yang diadakan di Bhopal, India. Festival ini juga yang membuat Ary Juliyant sampai ke India untuk manggung, sekaligus pameran seni rupa.

Krupya meri sahatya kijiye, darwaza kholo // Tolong bantu aku bukakan pintu // Ham zara der me aakash pahunch jayange // Sebentar lagi kita sampai ke langit biru”.

Berikutnya adalah kesukaan saya setelah nomor Wanita Hijau, judulnya Sketsa Puasa. Lagu ini juga memiliki lirik yang deskriptif seperti Welcome to the Jungle Chauri Baazar Delhi. Dugaan saya yang tercermin dari lirik, mungkin situasi sketsa ini terjadi di atas kapal. Namun, dugaan itu bisa juga keliru.   

Yang jelas, bagian solo alat musik tiup di tengah lagu ini patut diacungi jempol. Saya menyebutnya ‘alat musik tiup’ karena tidak yakin benar apakah namanya sesuai dengan yang ada di kepala saya. Atau, bisa jadi ternyata tidak ditiup juga. Selain bagian itu, lagu ini juga membuat saya sadar bahwa Indomie, selain nikmat disantap juga bisa jadi penggalan lirik yang merdu.   

Bulan puasa itu penuh // aroma kopi, Indomie, dan deru mesin // Masih adakah yang sudi menanti pertunjukanku ini // yang semakin tenggelam menuju maghrib”.

Lagu ketujuh berjudul Sayap Sunyi, Sayap Sepi. Lagu ini memiliki lirik paling multitafsir dalam album ini. Pemaknaannya perlu ditunda berulang kali. Konteks yang absen menurut pengalaman saya justru membebaskan penafsiran pendengar. Meski demikian, bagi saya sulit sekali untuk tidak mengasosiasikan lirik ‘sayap-sayap’ dengan roman Kahlil Gibran. Ya, tentu saja itu hanya dugaan.

“Menyibak sunyi // menyibak sepi // Menyibak luka dalam diri // koyak-koyak dalam sekali”.

Tiba juga di lagu terakhir dalam Asa di India berjudul Intifada. Lagu ini mengusik keingintahuan saya. Apa saja pertimbangan Ary Juliyant, sehingga lagu ini bisa ada di sini.

Lagu ini bertakarir tahun 2003. Ia mengakui sudah sering membawakannya pada medio 2006. Sebenarnya lewat lagu ini Ary Juliyant ingin mengutarakan keprihatinannya dengan apa yang terjadi antara Palestina dan Israel. Saat itu, menurut penuturannya, sedang gencar diserukan intifada, gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel. Saat mengikuti banyak pemberitaan ia menaruh perhatian lebih pada kota Yerusalem yang notabene multiagama.

“Lagu ini saya masukkan di album Asa di India karena ada rasa emosional yang sama antara India dengan Yerusalem. India juga tidak terdiri dari Hindu dan Islam saja. Intifada ini kan perjuangan demi identitas mereka, setelah tahun 1947 Israel menghancurkan Palestina. Selain lagu ini, ada juga lagu tentang konflik ini, judulnya Yerusalem 1947 di album Transisi,” cerita dia.

Ia bercerita Asa di India bisa berarti dua hal, secara harafiah yakni harapan di India dan dalam bahasa Sunda bisa dimaknai serasa sedang di India. Dengan penjelasan tersebut jadilah lagu Intifada ini menjadi bagian dalam Asa di India.

“Aku yang hanya bisa terpana // Saksikan tangis kesengsaraan // Lewat tayangan banyak siaran // Bersimbah darah bagi perjuangan // Merebut daulat kebangsaannya // Mungkin sementara ini // bantuan senjata kita adalah doa”.

Album ini mungkin sudah berusia satu dekade. Umur yang tidak lazim untuk menuils ulasan sebuah album. Di luar itu, saya sendiri tidak yakin akan menaruh perhatian yang sama ketika mendengarkannya di tahun 2011. Saat mendengarkannya di tahun 2015, keinginan untuk membuat tulisan ini memang sudah muncul sebelum akhirnya tertimbun rutinitas. Mungkin memang tahun ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya.

Pengalaman mendengarkan album ini menjadi berbeda seiring bertambahnya waktu. Mungkin juga, beberapa tahun lagi, persepsi baru akan muncul. Ya semoga sampai waktu itu tiba, album ini tidak terselip di lemari atau hilang dipinjam teman.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Agustinus Rangga Respati

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts