From The Inside Exhibition: Antara Pameran Seni dan Persoalan Pribadi

Laku Collective

Pameran seni rupa bertajuk “From The Inside” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Berasal dari Dalam” sejatinya menceritakan bagaimana perjalanan kelompok kesenian Laku Collective lahir dan tumbuh.

Proyek kerja pameran ini berangkat dari kegelisahan dan praktik kerja setiap seniman dalam membayangkan makna dari seni lukis. Mereka melakukan berbagai pertemuan, diskusi, dan mencari tahu satu sama lain tentang apa saja yang menjadi unek-unek di dalam pikiran.

Dibentuk dengan semangat dan keluh kesah yang sama, Laku Collective terdiri dari Catur Agung Nugroho, Muhamad Aqil Najih Reza, Dimas Permana, Naufal Imaduddin, dan I Wayan Saracita Yasa. Mereka memiliki tekad untuk mengupas lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan seni rupa secara kolektif. Nama “Laku” dalam Laku Collective, diambil dari kata “Mlaku”, yang berarti perjalanan. Laku, sebagai sebuah identitas, juga menjadi manifestasi tindakan yang mencerminkan suatu proses untuk terus melakukan perkembangan. Laku, kemudian dijadikan sebagai wadah untuk saling bertukar pikiran setiap anggotanya baik dalam berpameran, bersosial, maupun selama proses berkarya.

Mengutip argumen dari Bapak seni dunia Wassily Kandinsky, “seni adalah milik kehidupan spiritual”, Laku Collective meyakini bahwa setiap karya seni memiliki kekuatan dan potensi yang mampu memberi makna batin. Dengan dasar kredo tersebut, kelompok ini lahir dan memperkenalkan diri kepada publik mengenai perjalanan berkesenian mereka masing-masing, sekaligus mengintip lebih dalam setiap perwujudan otentik dalam diri setiap seniman. Kali ini, tim Sudut Kantin mendapat kesempatan untuk mendengarkan beberapa cerita dan hal-hal mendalam yang dibagikan oleh para seniman Laku Collective.

Naufal Imaduddin

Sering disapa Ael, seniman kelahiran 2001 ini percaya jika karyanya dapat terlibat dalam suatu gelaran pameran seni, maka karya tersebut mampu memiliki gagasan dan bersuara dengan keras.

Menelusuri lebih dalam persoalan tantangan dan perasaannya, melalui karyanya Ael berupaya untuk mengajak dirinya sendiri serta orang lain untuk memperbaiki kondisi alam. Menurut Ael, kondisi alam hari ini sedang tidak baik-baik saja. Sebab semakin banyak kendaraan bermotor yang digunakan dan menimbulkan banyak asap, tapi sedikit menanam pohon untuk menjaga alam dan mendapat udara segar. “Mungkin sekarang kegiatan industri, kendaran bermotor yang menimbulkan karbondioksida nggak akan bisa dan sulit untuk dilepaskan. Walaupun sudah ada mobil listrik atau kendaraan listrik, tapi tetap aja itu cuma sebuah opsi. Di sini aku ingin menceritakan atau menjelaskan kalau kita nggak bisa menghilangkan itu, tapi kita bisa menambahkan tumbuhan itu. Secara positif seperti kendaraan motor, mobil, dan kegiatan manusia yang mengeluarkan karbondioksida itu ditanamkan dan sudah menjadi kebiasaan. Realistisnya kita pakai motor, tetap pakai bensin, dan pokoknya mengeluarkan asap.” ucap Ael.

Berbagai Informasi yang Ael dapatkan soal lingkungan dilakukan dengan menganalisa kondisi lingkungan di sekitarnya dan berdiskusi bersama teman-temannya. Dalam konteks latar belakang yang transisional, tempat tinggal Ael berada di kota Jogja dan sering melakukan perjalanan dari Jogja kota ke Jogja bagian utara. Selama perjalanan ke utara tepatnya ke rumah simbah, Ael melihat banyak pemandangan termasuk padatnya penduduk. Semakin ke utara pemandangan akan padatnya penduduk tampak semakin rengang dan akan lebih banyak melihat tumbuhan. Ael juga merasakan banyak perbedaan kondisi lain ketika membandingkan apa yang ia rasakan di Jogja kota dengan Jogja bagian utara, seperti perbedaan suhu, angin, dan kesegaran udara.

Ael juga ingin menampilkan dan menunjukkan sisi positif dan mencari solusi bersama, bahwa orang-orang boleh dan sah-sah saja mengunakan kendaraan bermotor, namun orang-orang juga perlu ikut merawat lingkungan disekitarnya. Situasi lingkungan hidup manusia hari ini akan terus bergeser sebagai lahan pembangunan semata, disambung dengan jumlah populasi manusia yang terus meroket. Mestinya, populasi untuk merawat lingkungan juga bertambah supaya terjadi keseimbangan. Ael melihat bahwa yang dibutuhkan langit adalah keseimbangan. Ael menatap  langit dan rasanya atap bumi ini semakin keropos dan menipis.

Imajinasi Langit dan Harapannya, Acrylic On Canvas 114x172cm, 2022

Karyanya yang berjudul Imajinasi Langit dan Harapannya menceritakan bahwa bintang adalah visualisai dari harapan. Bagi Ael, warna hijau pada bintang juga adalah bagian dari harapan pribadi tentang tumbuhan dan kesehatan untuk Bumi. Sedangkan warna gelap yang dominan lebih ke abu-abu dipilh dalam kaitannya dengan sesuatu yang nampak tapi tidak dirasakan. Persis dengan kondisi sekarang, dimana udara yang berterbangan tidak lain adalah gumpalan-gumpalan yang telah tercemar oleh asap kendaraan bermotor. Kemudian ada elemen artisik corak adalah bagian yang telah ia pelajari dan tekuni. Karya yang mengimajinasikan langit ini seolah mengajak untuk berharap dan bertindak bersama manusisa di bawahnya untuk mengerti tentang apa yang sedang dibutuhkan oleh bumi itu sendiri. Dua gunung yang digambar merupakan gunung besar di tanah Jawa yaitu Merapi dan Merbabu. “Sebab kalau aku pergi ke utara, sosok Merbabu ini akan aku lihat dan nampak sepanjang perjalanan, meskipun hanya bayang-bayang” ungkap Ael.

I Wayan Saracita Yasa

Sering berefleksi dengan diri sendiri, seniman muda asal Tubaban, Bali, yang sering di sapa Saracita ini banyak menuangkan gaya pop dalam berkarya. Salah satu karyanya yang berjudul Sweet Memories terinspirasi dari kenangan masa kecilnya yaitu kebiasan yang ia lakukan ketika terbangun di malam hari. “Ada pengalaman sewaktu sekolah dasar, aku sering kebangun tengah malam, jadi pas kebangun tengah malam itu aku kaya memikirkan yang pernah dilewatin waktu siang. Entah itu baik buruknya terhadap temen. Aku merenenung tentang kesalahanku”, ucap Saracita.

Berbagai mimpi yang ia alami, kerap dituangkannya ke dalam karya seni konvensional. Mulai dari bangun tidur, melakukan aktivitas, istirahat, melamun, sampai tidur kembali dipulas dengan sedemikian rupa untuk menghasilkan karya seni yang menyadarkan diri sendiri mengenai suatu momen ataupun peristiwa. Saracita juga mengungkapkan bahwa karya-karyanya ini secara dominan dibangun pada momen-momen yang buruk. Karena itu, karyanya cenderung menggunakan warna-warna yang gelap. Mimpi buruknya, lantas memengaruhi pemikirannya, alhasil secara sadar ia bertanya pada dirinya sendiri; “apa sih kesalahanku yang aku lakukan tadi?”.

Kesan mata biru yang terpancar pada lukisan merupakan sudut pandang seniman untuk melihat masa lalu. Warna biru dipilih untuk mengambarkan sosok diri seniman atas perenungan yang dilakukannya dalam berefleksi. Adanya tanaman di dalam karyanya merupakan gambaran netral proses berkarya Saracita yang dipengaruhi oleh berbagai nuansa bersama tanaman itu sendiri. Ia juga berpendapat “Menurutku adanya bunga di dalam ruangan ini adalah gambaran manusiawi. Sebab kalau di dalam ruangan nggak ada tanaman itu menurutku kurang pas”.

Kebiasaan Malam, Acrylic On Canvas 70x80cm, 2022

Dari awal menekuni dunia seni rupa, Saracita sudah memainkan komposisi warna hitam putih dalam banyak karya. Konsep memilih warna ini tentu tidak didapatkannya begitu saja secara instan, melainkan harus dilaluinya dengan banyak momen dan pertistiwa. “Karena aku ngomongin soal kenangan, ngomongin masa lalu, ngomongin masa kecil. Jadi aku tuh merasa melihat masa lalu itu kaya kecenderungan monokrom. Pengalaman itu kadang ada perasaan sedih, senang, dan transisinya pasti ada. Entah itu kegelapan, entah itu terang, dan abu-abu itu transisi gradasinya begitu”

Di setiap karyanya, Saracita selalu yakin dan percaya adanya kesinambungan. Mulai dari renungan mengenai keburukan dan keinginan menjadi lebih baik pernah ia refleksikan dan representasikan ke dalam kanvas, dan itu hasil yang selalu ia rasakan setelah melalui berbagai pengalaman.

Pada karyanya yang berjudul Payung Teduh, ia mencoba menceritakan pengalaman masa kecil ketika ia sering diajak untuk pergi bertani, jika cuaca sedang terik ia menyempatkan untuk duduk beristirahat di bawah pohon rindang dan sembari melamun, Saracita kerap merefleksikan mengenai bagaimana menjadi diri sendiri.

Catur Agung Nugroho

Sering di juluki Seniman Api, Catur kembali berkarya menggunakan warna merah dan berbagai lelehan yang didominasi dengan sikap ambisius. Ia juga melakukan berbagai eksperimen namun tetap membatasi untuk mengontrol egonya.

Pada karyanya yang berjudul Burst of Ambition, Catur menceritakan pengalaman personalnya; “Aku pengen menghantarkan karya ini karena temanya adalah dari dalam dan memang personal banget, ldan apa yang sering aku alami. Aku ini orangnya ambisius, tapi dibeberapa proses kaya yang sudah setegah jalan gitu kadang tetap mikir untuk mempertimbangkan sesuatu”, jelas sang seniman.

Beberapa proyeksi karya yang Catur goreskan juga tidak lepas dari unsur warna api dan kerap memunculkan unsur ledakan. Ekspresi-ekspresi cipratan, lelehan, dan tumpahan dibawanya ke dalam semua karyanya. Adapun warna putih yang dibawanya ke dalam karya adalah sebagai warna kontras dan netral. “Kenapa ada garis putih ini adalah bagian kontrolnya, yaitu ada pembatas antara harus memang benar-benar meledak beneran atau dibeberapa bagian aku harus nahan. Dari karya ini sebenarnya harapanku orang yang melihat karya ini juga turut ngerasain juga energinya”.

Burst Of Ambition, Acrylic On Canvas 145x180cm, 2022

Tantangan-tantangan dalam apapun yang Catur lakukan, coba di ekspresikannya sembari mengatur komposisi. Mulai dari tumpukan-tumpukan sampai beberapa tumpukan yang menghasilkan unsur detail, ada juga beberapa karya yang dirasa cukup dan tidak perlu untuk di tambahkan cipratan maupun lelehan apapun.

Karya yang dipamerkan Catur ini sebenarnya adalah karya ekperimen dan konvensional. Mengingat karya-karyanya dulu lebih banyak menggunakan bahan plastik dan banyak memakan ruang, sehingga sangat riskan jika tidak di rawat dengan benar. Pertimbangan menggunakan media kanvas juga adalah selain gampang disimpan, juga bisa di gulung.

M. Aqil Najih

Seniman yang tidak bisa lepas dari unsur laut ini memiliki kisah yang cukup tragis. Dari yang membantu orangtua untuk mencari nafkah sampai tergulung ombak ketika surfing pernah ia alami. Aqil merasa kehidupan laut itu sangatlah luas bahkan menyimpan banyak misteri. Pengalamannya tergulung ombak yang besar, alih-alih membuatnya takut, pengalaman tersebut justru dijadikannya sebagai model untuk diterapkannya kedalam karya seni.

Aqil juga membagikan pengalamannya dalam berkarya,“tema From The Inside, kalau aku melihat dari dalam melalui diriku sendiri itu sesuatu yang siapa kita sekarang itu basisnya adalah kumpulan-kumpulan pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami, kita rasakan, kita lakukan. Jadi aku buat sebuah analogi, bakteri itu ribuan, bahkan bisa miliaran di tempat yang kecil. Analoginya di tempat atau wadah yang kecil itu adalah diri kita sendiri. Bakteri dan interpretasi dari dalam itu adalah pengalaman dan aku mengangkat soal kolase itu sebenarnya pengalaman itu berasal bukan dari dalam saja, melainkan bisa juga diperoleh dari luar. Warna dan nuansa yang aku terapkan juga tidak jauh dari warna-warna yang ada di lautan”.

Tinggal dan besar di Bali, Aqil banyak melakukan eksplorasi dalam belajar kesenian. Mulai dari menggambar menggunakan goresan-goresan tradisional seperti wayang dan barong. Salah satu karyanya yang berjudul Ombak Singa adalah cerminan bahwa pengalaman yang ia rasakan sewaktu kecil merupakan bukti nyata dalam menelusuri pengalaman.

Ombak Singa, Arcylic On Canvas 114x172cm, 2022

Sekitar umur 14 tahun, ia memiliki trauma terhadap ombak. Tergulung ombak yang besar menyerupai singa yang sedang menerkam mangsanya menjadi sebuah pengalaman yang tidak pernah bisa ia lupakan.

Semenjak aku belajar mengenai seni rupa, aku mengenal diriku dari siapa aku, apa yang pernah aku alami justru malah traumaku tentang ombak itu banyak menginspirasi buat karyaku ini,” kata Aqil.

Sebelum mengenal dunia seni rupa, seniman muda ini juga mengawali perjalanan belajarnya dari majalah. Berbagai majalah yang di temukannya di sekitar pesisir pantai membantunya menemukan pengetahuan. Majalah yang ia baca dan temukan itu juga mebantu dalam proses berkaryanya. Ia menggunakan berbagai kumpulan majalah untuk dijadikannya kolase dalam berkarya.

Dimas Permana

Bermain komposisi, karya ini dikerjakan mulai dari menjahit dan menemukan sesuatu yang baru. Proses berkaryanya sempat mengalami kebosanan menggunakan media kanvas. Untuk menemukan rasa senang dan terhindar dari jenuh ia menggunakan media kain sebagai obatnya. Ia mulai berkarya menggunakan kain mulai dari tahun 2018, berbagai kain dan berbagai bahan seperti dakron, peniti, dan benang menjadi teman dekatnya sewaktu berkarya. “Mengatur komposisi, atur lubang juga pola biar memunculkan kesan. Dan kalau di tanya apa simbolis dari karya ini, sebenarnya karyaku yang aku bilang ekperimental. Aku nggak berusaha sejujur mungkin mengeluarkan simbolis-simbolis. Dari judulnya saja ‘mengatur komposisi’ jadi aku mengatur komposisi, dan bagaimana sedemikian rupa aku bisa memunculkan keindahannya, begitu,” ucap Dimas.

Sedangkan untuk karyanya yang konvensional, ia bermain dengan berbagai emosi yang ia rasakan. Adapun hal yang menjadi nilai otentik dari Dimas secara personal adalah bahwa ia selalu bermain dengan warna pastel dan warna pink. Tidak jelas darimana asalnya Dimas menyukai warna pink tersebut, bahkan sampai sekarang ia masih mencari tahu itu semua.

Mixed feeling. Aku mencoba untuk mengangkat sebuah peristiwa, momen ke dalam karya. Karya ini aku kerjakan satu sampai dua minggu. Aku percaya setiap hari itu manusia akan mengeluarkan mood yang berbeda-beda. Terus kenapa objek karya ini banyak ada cipratan kesana dan kesitu di setiap sisinya memungkinkan aku dalam setiap hari merasakan berbagai mood dan perasaan itu sendiri. Entah itu sedang merasakan sumpek, sedang ada tekanan entah itu dari peristiwa, orang tertentu, maupun cuaca sekalipun. Setiap harinya aku merasaan mood yang berbeda-beda, dan karya ini sudah aku rombak sebanyak dua kali. Di rombak itu maksudnya aku menyiram berulang kali sampai akhirnya jadilah yang terpajang ini.”

Mixed Feeling, Arcylic On Canvas 200x150cm, 2022

Jika ditarik ke belakang mengenai perjalanan kehidupan Dimas, suatu sikap masa kecil yang hingga kini memengaruhinya dalam berkarya adalah sikapnya yang pendiam dan kalem. Meskipun sekarang juga masih mencari tahu soal kebenaran itu, namun ketika dihadapkan pada situasi untuk menggunakan warna-warna gelap dan mencekam ia akan sangat kesulitan untuk mengaplikasikannya ke dalam karya, ia sendiri tidak terlalu menikmati apa yang nanti dikerjakan. Di samping hal itu, Dimas juga sedang belajar untuk mengembangkan hal-hal baru. Antara lain beberapa teknik seperti garis, mengatur bayangan, dan memunculkan kesan tiga dimensi. Sehingga karya yang dikerjakan ada unsur realis.

Seni, menjadi suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Berbagai olah pikir terwujudkan tidak hanya untuk berpikir, ada juga proses untuk berimajinasi yang mampu untuk melahirkan karya kreatif juga inovatif. Keseluruhan dari semua itu tentu akan bermanfaat untuk kehidupan, dan setiap proses yang sudah dijalani adalah bagaian dari pendewasaan.

Dalam sejarahnya, pergerakan seni rupa banyak digerakan oleh sekumpulan orang-orang yang mempuyai idelogi atau gagasan yang kurang lebih sama atau digerakan oleh suatu respon dari periode sebelumnya. Berbagai momen dan persitiwa yang telah dilewati, lantas melahirkan banyak hal. Ada hal baik dan hal buruk yang memengaruhi di setiap prosesnya, dan tak jarang ada batasan untuk mengatur kondisi psikologis supaya dalam kondisi paling oke. Laku Collective dipertemukan atas dasar kebutuhan untuk saling berdiskusi, saling berbagi, saling membantu, dan saling berproses. Mereka sadar dalam berkesenian itu membutuhkan dan pasti melibatkan orang lain di dalamnya, baik itu dalam proses kreatif berkarya maupun dalam ekosistemnya. Kelompok ini juga dibentuk bersama atas prinsip dalam diri manusia yang paling fundamental, yakni ‘homo socius’, pada prinsipnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya.


Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: Laku Collective

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Pengalaman Mendengarkan 'Semeti Medley' milik The Dare

Next Article

Awal dan Awal