Malam itu nenek membangunkan saya. Di luar ramai orang-orang berkumpul, panik. Allah! seru di antara mereka, diulang-ulang penuh harap. Nenek menyuruh saya berdoa, memohon keselamatan agar kakek, terutama, dan semua nelayan yang sedang diamuk laut dan angin dapat kembali dengan selamat. Nenek lalu naik ke langgar. Di situ ia menangis sejadi-jadinya, barangkali hingga pagi di mana para nelayan biasanya pulang dari melaut. Bagi saya, waktu itu adalah pertama kalinya melihat nenek begitu kalut.
Setiap kali alam mengganas, ingatan saya melesat pada nenek. Menjadi perempuan yang dipersunting seorang nelayan memang harus siap kalau-kalau suaminya dilumat alam saat melaut. Namun sejauh ingatan saya, sampai detik ini, tidak ada orang di desa saya yang mati ditelan laut. Semuanya selalu kembali fi shihah wa al-afiah (sehat dan selamat), meskipun kecelakaan tak mungkin dihindari. Misalnya, perahu paman saya pernah pecah diamuk ombak dan tenggelam.
Kendati akhir-akhir ini banyak di antara mereka yang mulai menjual perahu dan memilih pergi merantau ke Jakarta, Surabaya, dan bahkan ke negeri seberang seperti Arab dan Malaysia, beberapa orang tetap bertahan. Alasan mereka untuk bertahan—apakah sebab tidak berani mengambil risiko merantau seperti yang lain, apakah sebab merasa cocok sebagai nelayan, atau apakah sebab malas mencari pekerjaan lain—saya tidak tahu pasti.
Setiap memasuki bulan Desember, cuaca amat mengkhawatirkan: intensitas hujan yang tinggi, angin yang kencangnya bukan main, dan—bagi masyarakat pesisir, tambahannya—amukan laut yang membuat perahu-perahu nelayan harus ditambatkan di bibir pantai. Para nelayan untuk saat ini perlu rehat sejenak dan hal ini berarti membahayakan perekonomian keluarga. Mereka perlu mengirit uang sampai alam mengizinkan mereka untuk kembali melaut, padahal kebutuhan pokok terus naik. Mereka terimpit.
“Lalu bagaimana jika tidak punya uang sama sekali, sementara laut tidak mereda (omba’ nimbhara’)?” tanya saya.
Kata Mbah Ni, istri saudara kakek, caranya hutang, lalu jika cuaca kembali bersahabat, dan hasil menangkap ikan untung banyak, kami akan membayarnya. “Tapi tenang saja, Cong,” lanjutnya, “Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya.” Menyimak pernyataan itu, saya lantas teringat apa yang dikatakan oleh Karl Marx, bahwa agama itu candu, memberikan ketenangan kendati tertindas dan terimpit.
Barangkali, sebab itu, dan ditambah lilitan hutang, misalnya, satu keluarga di tetangga saya berangkat ke Jakarta, berbisnis toko kelontong, mengadu nasib. Saya katakan mengadu nasib, lantaran tidak setiap ke sana mesti sukses, ada yang pulang karena tidak kerasan, dan teman saya ditipu orang, namun rata-ratanya pulang membawa mobil mewah, membangun rumah, dan tentu jadi terhormat—entah ini pergeseran nilai atau hanya saya yang baru tersadar, orang-orang kaya selalu dihormati, seperti kiai atau pejabat.
Untuk pemuda seperti saya, merantau adalah hal menggiurkan. Maka tidak heran bila rata-rata teman-teman saya merantau ke Jakarta, dan paman saya pun turut mengikuti tren ini. Ia telah pindah ke Surabaya bersama istri dan anaknya yang belum sampai dua tahun. Jika kala di Jakarta bekerja di toko orang, di Surabaya ia punya tokonya sendiri. Bagi keluarga dan orang-orang desa, ia sukses. Ayah saya pun punya toko di situ, yang pekerjanya itu tetangga sendiri, dan ini dianggap lebih sukses dari paman.
Kenapa tidak bertani atau merawat ternak, seperti umum dilakukan masyarakat nonpesisir Madura?
Sepintas bertani bisa menjadi alternatif. Namun, nyaris seluruh orang-orang desa saya tidak punya lahan untuk bercocok tanam, mereka tidak punya tanah (saba atau tegghal). Tanah-tanah di sekitar desa, hanya satu-dua milik mereka, sisanya—saudara kakek saya mengistilahkan—“din reng ghunong” atau milik orang-orang dataran tinggi, milik mereka yang tinggal di perbukitan.
Alternatif kedua, merawat ternak juga tidak memungkinkan, meskipun sebagian kecil masyarakat ada yang merawat sapi dan kambing—kira-kira tak sampai sepuluh orang. Secara geografis, letak per rumah di desa saya berdempetan, bahkan dinding kamar mandi rumah kakek menjadi dinding dapur tetangga. Dampaknya, tak ada ruang membangun kadang ternak, dan jika dipaksakan akan mengganggu ketenteraman sosial, karena bau kotoran yang menyeruak dari kandang ternak.
Pada akhirnya, fakta ketidakpastian dan keterimpitan menjadi nelayan, menggerus mereka, teman-teman saya, untuk meninggalkan pekerjaan melaut. Mereka akan beralih menjadi penjaga toko kelontongan di kota-kota metropolitan atau merantau ke negeri lain, setidaknya alternatif inilah yang lebih menjanjikan. Hal ini mengingatkan saya pada gambaran murah salah satu cerita pendek Muna Masyari, asal Pamekasan, dalam antologi Rokat Tase’, yaitu Perempuan Pengusung Keranda.
Pada cerpen tersebut, diceritakan bahwa semua laki-laki dewasa merantau ke luar negeri, hingga yang tersisa di daerah itu hanya perempuan sepuh, paruh baya, dan anak-anak di bawah 12 tahun. Jika anak-anak itu sudah dewasa dan dipandang cakap, mereka akan ikut berangkat. Oleh itu, daerah tersebut diberi nama Kampong Bini’. “Sebuah kampung,” tulis Muna, “di mana lahan-lahan tandus berbatu seolah menggoreskan kutukan pada setiap kening laki-laki; menjadi perantau di negeri orang.”
Kau, sang tokoh utama, tak punya siapa-siapa lagi di rumah megahnya selain dirinya sendiri. Ia amat kesepian. Ia merindukan anaknya, namun sudah sejak umur 14 tahun ia dibawa ke Malaysia. Suaminya, setelah bertahun-tahun tidak pulang, tiba-tiba bertandang, ingin membawa anaknya turut ke perantauan. Kau tidak bisa melawan, walaupun sejatinya enggan. Ia akhirnya tertunduk, memilin ujung kebayanya, dan pasrah pada apa yang diinginkan suaminya.
Dalam batin, yang dinginkan oleh Kau hanyalah kebersamaan dengan anak sematawayangnya, dan jika ia direnggut, siapa lagi yang akan menemaninya. Lantaran demikian, Kau, andai tidak diturutkan ke perantauan, akan mengajarinya cara memainkan arit dan cangkul, menggarap ladang tandus itu. Selain itu Kau juga akan mengajarinya azan, menyiapkan jenazah, menggali kuburan, dan mengusung keranda, agar bila dirinya mati nanti, anaknya itu yang mengurus jenazahnya.
“Untuk apa membangun rumah besar kalau setiap dindingnya berlapis kesunyian yang begitu tebal, dan lintah-lintah kesepian beranak pinak di sana?” batinnya. Bertahun-tahun lamanya Kau tenggelam dalam kesepian. Ia merindukan anaknya. Namun, apalah daya, ia mendapat telepon bahwa anaknya jatuh dari lantai tujuh dan mati. Apa yang dibayangkannya dulu pun pupus: keranda dirinya yang akan diusung anaknya, tapi kini malah sebaliknya.
Di akhir cerita, Muna menulis: “Di antara para pengusung keranda, Kau berjalan paling depan di sayap kanan. Sejak baru mengangkat gagang keranda tadi, lututmu terasa bergetar. Keranda lebih berat dari biasanya. Telapak kakimu terasa lengket di tanah. Namun Kau tetap menegangkan urat demi menghimpun kekuatan agar mampu mengusung keranda anakmu ke pekuburan.” Selesai membaca paragraf ini, saya seperti perlu mempertimbangkan kembali ketergiuran itu.
Secara praktis, untuk mengatasi persoalan yang diangkat Muna itu, misalnya dengan membawa sekeluarga ke perantauan. Persoalan selesai. Memang dalam cerpen Muna titik persoalan yang diangkat adalah bagaimana ketertindasan wanita Madura dalam belenggu patriarki dan kultur perantauan yang mulai semakin riak belakangan, namun secara implisit ada hal lain yang juga mau disampaikan:
Pertama, mata pencaharian tradisional (tani, melaut, dst) mulai ditinggalkan. Alasannya, jelas, tidak menjamin kesejahteraan. Untuk nelayan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Adapun petani, tak kalah pelik. Cuaca ekstem dan tak menentu, banyak menggagalkan hasil pertanian. Hal lain, misalnya, untuk daerah Sumenep, pupuk yang sulit dijangkau, sampai baru-baru ini, beredar video Pak Bupati mendatangi sebuah agen pupuk dan menyatakan tegas akan menindak para mafia pupuk.
Persoalan lain petani, dan ini sudah lumrah, adalah hasil yang diperoleh tidak begitu menentu dan kalau pun untung tidak seberapa pula. Salah satu penyebabnya, tidak ada sistem ekonomi yang memungkinkan mereka menjual langsung pada konsumen. Selama ini, mereka harus menjual mereka ke seorang makelar, dan makelar itu pun menjual pada makelar lainnya, hingga membentuk rentetan panjang, yang muaranya pada segelintir kapital adikuasa. Dampaknya, hasil cocok tanam harus dibayar murah.
Kedua, latar kesulitan mata pencaharian demi kesejahteraan finansial itu membuat mereka hanya memikirkan kebutuhan material. Tentu karena kebutuhan material adalah hal mendasar setiap manusia. Tanpa makanan, tak ada manusia yang bisa bertahan hidup. Namun ini membuat mereka meninggalkan kebutuhan lain, yaitu kebutuhan psikis. Keterfokusan ini pada gilirannya menuntun ke arah hedonisme. Maka tidak heran, kaum perantauan, akan berlomba-lomba membangun rumah megah, membeli mobil mahal, dll.
Sampai di titik ini, kita bisa bertanya: bagaimana yang seharusnya? Saya pun tidak tahu mestinya harus seperti apa. Meskipun merantau punya masalah-masalahnya, tapi memilih melanjutkan mata pencaharian leluhur, menjadi nelayan, misalnya, merupakan pilihan yang tidak masuk akal hari ini. Siapa yang mau berkubang dalam hal yang kurang menguntungkan jika ada hal lain yang lebih baik? Namun, sungguhpun demikian, masih saja ada yang mau bertahan, dengan alasan yang paling sederhana dan terkesan main-main.
“Mengapa berhenti dari Jakarta?”
“Di sana kerja tanpa henti. Malamnya saya, paginya istri. Saya lelah, maka saya pulang. Jadi nelayan itu enak. Tidak ada jam kantor. Kapan pun saya akan melaut. Semau saya. Jika sudah tidak punya uang, baru melaut. Kadang, tidak dapat ikan sama sekali, ya bersabar,” ujar salah seorang tetangga yang adalah alumnus toko kelontong Jakarta.
Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: Akwila Chris Santya Elisandri
