Kumpulan puisi ini; Memori Sebatang Surya, Untaian Jarak, dan Moksa, ditulis oleh Zeiliana Ardifta (Jeje). Suka menulis racauan isi kepala, apalagi pada jam-jam rawan. Mahasiswi fakultas hukum UNSOED dan aktif di Teater Timbang.
MEMORI SEBATANG SURYA
27 April 2021
diasingkan,
meringkuk tak berkawan;
di dalam lorong kehidupan tanpa ditemani setitikpun cahaya.
tertunduk, melamun, kacau, dan hancur lebur.
aku berada di antara kepingan-kepingan;
yang tak lagi berbentuk dan berantakan.
sekelebat ia datang kembali menghampiri.
ah, warna dan rasamu yang masih sama,
dan aku ingat dengan jelas.
— terekam, jadi memoar-memoar paling bajingan di kepala.
kamu hitam dan gelap, sedang aku setengah mati membeku.
“kata-kata bijak apa lagi yang akan terlontar dari mulut manismu setelah kau bakar satu-dua batang rokokmu itu, sayang? masih belum cukup, kah?”
belum juga habis sempurna, lalu kau akhiri hisapannya.
sudah tak lagi nikmat, atau sudah beda selera?
lintingan tembakau yang masih berasap,
disanding denganku yang masih nanar meratap.
“apa kau berharap ia akan terus membakar dirinya sendiri sampai habis tak bersisa? tetapi tetap saja, sayang. jejak itu masih akan tetap ada, bahkan di salah satu kutubnya masih menyisakan jelas bekas basah kecupan bibirmu,”
pun juga di bibirku.
UNTAIAN JARAK
19 Februari 2021
bawa aku ke sana, kemanapun itu.
ke surga, atau mungkin ke neraka pun jikalau memang harus.
di sekat jarak, di bentang satuan kilometer jauhnya.
aku tahu ia tak selamanya baik-baik saja, pun aku juga.
andai saja jarak tak lagi berarti, ingin segera mendekap dan tak lagi beranjak.
aku di sini.
mari kita satukan lara, agar semakin berapi,
semakin membakar jiwa-jiwa yang tak ingin berlama hidup dalam kenistaan
yang tak tahu akan berujung kapan.
mari berpelukan,
menyanyat kembali nadi-nadi kehidupan yang pernah tergores dengan sengaja.
esok kita belum tentu hidup kembali,
kita sudah tidak lagi benar-benar hidup.
kita sudah mati.
bunuh diri setiap hari; dibunuh ekspektasi setiap hari.
hati kita sudah terlanjur beku,
— tapi kita selalu mencoba untuk saling menghangatkan;
bahkan dengan segenap kebekuan yang kita rasakan.
lagi,
entah ini akan berakhir kapan.
kisah kita begitu pilu ketika dijabarkan,
tak perlu penjelasan, kita tahu luka kita masing-masing tak akan pernah bisa disembuhkan.
mungkin bisa sembuh, mungkin juga hanyalah biasan.
jika saja kita akhiri ini berdua,
jarak tak akan benar memisahkan kita.
mungkin satu jurang dan jurang lain akan terasa berdekatan
dan jarak hanyalah bayangan.
jiwa kita akan selalu bermesraan melayang di ambang yang sama,
dengan konsekuensi yang mereka sebut dengan dosa.
atas nama norma dan agama,
kita bertahan dengan alasan entah apa dan kenapa.
esok kita sampai, sampai kemana?
mari berserah bersama, atau mungkin menyerah bersama;
maka leburlah kita.
di antara keabadian dan semesta.
MOKSA
6 Desember 2020
sekali lagi ku rasakan mati,
— yang sama seperti hari-hari sebelumnya; sunyi.
aku mati diburu sepi, ramai yang ternyata delusi, kebahagiaan imitasi.
pikiranku hidup dalam dunianya sendiri,
jiwaku melayang-layang bebas,
ragaku tergeletak kosong tak berisi — tak sadarkan diri.
Sebagian dari mereka memaksaku untuk kembali terbangun,
mengikatku di tengah ranjang putih kehidupan,
mencumbuiku dengan ganasnya ambisi,
coba merangsang bara gairahku untuk tetap hidup dan terisi.
rasa-rasanya seperti sedang disetubuhi secara paksa
— ngilu, tidak nikmat, tidak bisa orgasme.
brengseknya, aku terus dipaksa untuk tetap harus menikmatinya.
aku benar dibunuh yakinku sendiri:
“yang kamu cintai selama ini hanyalah seonggok tubuh yang tak berdaya, tuan.
ia sudah terlanjur binasa — meregang nyawa;
bahkan sejak sebelum Tuhan utus malaikat tuk cabut jiwanya.”
Ilustrasi: Amry Hidayat (Jogja Method)