Kumpulan puisi ini; Pilar rindu di awal Ramadan, Teduh, dan Pancarona sang Nona, ditulis oleh Rina Stiarahayu. Sehari-hari sebagai pengajar sekolah dasar di Tangerang Selatan, pernah mengikuti kompetisi menulis cerpen muslimah.
Pilar rindu di awal Ramadan
Malam semakin dekat dengan suasana amat mendalam
Mendalam karena rindu
Mendalam karena kembali bertemu
Mulai banyak di waktu ini
Kerumunan para bocah
Berlari sesekali mengucapkan nama-Mu
Dengan lantunan selawat yang begitu indah
Sebagai pertanda awal kami bertemu dengan Ramadan
Banyak hal yang tersambut
Dan mulai mereda dalam hati
Rindu akan bersama
Rindu akan makan bersama
Didampingi oleh kumandang azan
Kala itu.
Ramadan datang namun terasa berbeda
Berbeda tak ada yang terkasih
Dan yang paling dirindukan
Bertemu orang tua yang raganya kian memudar.
Mereka sudah bahagia dengan sang Pencipta
Lirih memang namun, kami bisa apa?
Takdirmu membuat kami semakin sadar
Menyayangi namun tak selamanya mendampingi
Kami rindu dengan candaan ketika berbuka
Kami rindu dengan sambutan suara yang khas membangunkan di waktu sahur.
Kerinduan ini hanya bisa kami genggam
Seiring dengan Ramadan yang hampir tiba
Hanya kenangan Ramadanmu terdahulu yang bisa kami simpan rapat-rapat
Namun kami tak akan henti ucap syukur
Bahwa kekuatan dari-Mu ya Allah
Yang mampu menahan
Mampu meredam
Mampu tersimpan
Selamanya hingga akhir hayat kami.
Selamat datang Ramadan
Selalu ada hal indah ketika kau datang
Selalu ada bayang Ibu dan Bapak
Di sela renungan kami di tiap malam
Malam Ramadan…
Teduh
Kami tak meminta untuk dilupakan
Kami tak meminta untuk dikenang
Kami hanya segores pena
Yang mudah habis dengan dayanya
Memudar dengan waktu itulah kami
Namun waktu tak pernah menghapus kami
Meski ia terus menerus mencaci
Bahkan meminta untuk diuji
Kami memang hidup
Dengan segala keterbatasan
Dengan ada yang hampir punah
Akibat candaan mereka
Namun hujan sore ini
Membuat mereka teduh
Bahkan terdiam
Mengucap kata maaf
Dan rasanya tak ingin melupakan kami
Di tengah pusara kami yang
Membuat teduh hati mereka
Yang dulu maha berkobar kini maha menerima
Mereka tak mungkinkah bisa melupakan kami
Karena kami sudah menjadi rindu
Yang teduh di pusara sang Kuasa.
Pancarona sang Nona
Di ufuk timur sekilas mata indah
Hanya dimiliki oleh wanita berbaju merah
Dengan nada suara halus ia menyapa
Di ufuk barat sekilas mata kembali berbinar
Melihat pergerakan nona
Yang amat bersinar sorot matanya
Namun ini bukan seberapa
Dari Nona yang baru ku kenal dini hari tadi
Melangkah pasti dengan tebar senyum
Seolah dunia bisa kau atur dengan pesonamu
Hai, Nona tidakkah kau merasa kasihan
Kepada kami?
Begitu banyak warna yang kau tuang
Kau kibarkan setiap malamnya
Dengan para tuan itu
Nona mungkin tak kan mau
Duduk bersebelahan dengan kami
Karena Nona tahu kami tak seberapa
Dibanding dengan Tuan tadi
Namun Nona harus tahu
Cinta tuan hanya beberapa kepingan
Tak sebanding dengan kami bahkan
Tak bisa terhitung.
Bisa Nona pikirkan kembali
Kami tunggu di pelataran gedung
Sore hingga malam nanti
Sampai jumpa kembali Nona.
Foto: @ismaadaily