Sabda Barak Neraka: Suara Parau yang Lantang dari Pinggiran

Proyek ‘Sabda Barak Neraka’, representasi papan peringatan perihal riak-riak pinggiran yang tak pernah didengar. Sekali muncul, lantas dimatikan.

Sewaktu sekolah, neraka digambarkan sebagai tempat bagi orang-orang jahat. Jika tidak bertobat, kejahatan aliran apa pun memungkinkan setiap pelaku menjadi penghuninya. Niscaya neraka sungguh tempat mengerikan, maka orang-orang berlomba berbuat baik agar tak menjadi penghuninya.

Rasanya gambaran tersebut terdengar mencerahkan untuk membayangkan kehidupan pasca dunia—yang kalau Jumatan jadi kisah pengantar tidur itu. Supaya tetap terjaga, bagaimana kalau neraka bukan berisi orang-orang jahat? Di dunia ini rasanya hal demikian sangatlah mungkin terjadi.

Saat berkunjung ke suatu kota pasti ada saja terlihat bangunan mangkrak. Atau, memang kosong karena hal-hal yang tak terlacak. Banyak alasan kemudian didengar atau menimbulkan dugaan publik: anggaran kurang, pemegang tender gagal, bahkan tidak menguntungkan. Di dalamnya rerumputan menagih kembali tempatnya untuk tumbuh, bersanding corat-coret di tembok seperti janji sehidup semati, kalimat protes, mural, maupun
grafiti.

Pembicaraan minor pembangunan jamak ditemukan sebagai pelengkap obrolan ronda, sudut kampus, atau warung. Sembari menikmati gorengan hasil urunan, tema demikian memang sangatlah seksi menjadi penyedap rasa. Macam pandangan terdengar renyah, karena kadang-kadang ditambah lanturan yang dibangun begitu meyakinkan.

Tak sedikit pula bangunan tersebut juga menjadi tempat orang beraktivitas: mabuk, pacaran, mencari wangsit angka judi, bahkan menurut kabar burung ada pula yang bercinta.

Untuk orang yang suka kisah horor, pelbagai versi perihal penghuni tak kasat matanya akan berkembang begitu rupa, sayang, vampir atau dracula tak menjadi bagian kisah. Di kalangan peminat gogon (gosip underground), membicarakan kompleksitas persoalannya: indikasi korupsi, kepentingan elite, hingga tarikan kepada hal-hal berbau konspirasi.

Begitulah, bayangan saya sewaktu mendapat pesan dari Luwarta bahwa ia bersama kawanannya akan merilis single sekaligus video klip baru berjudul Sabda Barak Neraka (2023).

Selain kabar demikian, saya juga diberi kesempatan menonton preview video garapan Hexodamus sebelum disebarluaskan kepada khalayak Luwarta, One Bless, dan Pathos (selanjutnya ditulis LOP) teguh membawa wacana sosial-urban, ekologi, dan politik kekuasaan dengan akrobatik bahasa yang cukup mencolok.

Kata-kata serupa pecatur dalam mengatur strategi bergeraknya para bidak. Jika salah langkah kemungkinan buruk bisa saja terjadi, namun LOP mengantisipasinya dengan jeli, lugas, dan bergas.

Kata-kata selalu memiliki kemagisan tersendiri. Terkadang makna yang tersembunyi di balik gaya bahasa kerap membuat sesorang menduga-duga. LOP terlihat menaruh porsi ketika relasi bahasa-wacana bukan sekadar mengejar rima semata.

Sebagai misal, gugatan dalam dua baris yang terdengar seperti autokritik terhadap skena yang sekarang menjadi rumahnya: “…Kami bongkar norma palsu struktur miskin pola rima/ Tanpa takar tampil
syahdu minim gestur lupa makna…”

Hal itu mengingatkan saya ketika di suatu malam saya nguping bagaimana Luwarta menjawab identitas punk-nya yang masih melekat di ranah hip-hop seusai mendapat pertanyaan, “bukannya punk di masa lalumu, mengganggu kultur yang kau geluti sekarang?”

Luwarta tak menampik kenyataan demikian, alih-alih menjawab tegas, ia mengatakan apa yang sedang dikerjakan adalah keinginannya untuk menyampaikan suara parau dari pinggiran, yang dirasakan olehnya maupun hasil pembacaannya terhadap situasi sosial.

Dari obrolan tersebut, single ini seperti mendudukkan diri tanpa menetapkan sekat pembatas mengenai pilihan maupun latar belakang. Pendapat itu sekiranya menghadirkan konsensus berupa eksplorasi kewacanaan.

Itulah yang kemudian mengakar dalam tulisan ini sebagai dugaan atas kehadiran Sabda Barak Neraka. Beberapa negosiasi kultural ditawarkan LOP melalui single ini.

Gugatan Terhadap Hal yang (Barangkali) Mapan

Mural atau grafitti di tembok kota acapkali dianggap sebagai perusak keindahan. Namun, tidak berlaku bagi pamflet atau banner para capres, caleg, dan sejenisnya yang terpaku di pohon-pohon. Pada saat itulah, guyonan pinggiran perihal siapa pun yang menjabat seyogianya tak mengubah keadaan hidup berlaku.

Sabda Barak Neraka, tegas menggambarkannya dengan mengambil latar bangunan mangkrak, jembatan kereta, tanggul kali, berikut sampah berserakan dan macam bentuk visual dua dimensi di tembok. Alih-ulang visual menegasikan sesuatu yang jarang tersorot, cenderung ditinggalkan. Representasi yang seolah menerap papan peringatan perihal riak-riak pinggiran yang tak pernah didengar, tapi ketika muncul ke permukaan lantas dimatikan.

Tak ada ingar-bingar yang ditunjukkan para rapper dalam video selain ekspresi menantang dengan ketajaman mata dan kepala tegak. Olahan itu menubuh sebagai wacana yang coba dibangun dan ditawarkan. Lipatan-lipatan yang terbangun dengan slogan dan teks-teks pamflet seolah beririsan atas titik tuju mata panah, tepat di jantung atau kepala.

“…Bakar ilmu padi jika mengajarkan tunduk/ Kirim silabus tenung hancur lebur tanpa bentuk/ Kuasa teritori dengan bandrol mengayomi/ Cipta tata aturan yang hanya jadi endemi…”

Wacana dalam lirik di atas, terdengar seperti sebuah negosiasi kultural. Dua kali saya mendengar kritisi terhadap frasa kultural “ilmu padi” di dua karya yang berbeda, yakni di Aliansi Api (2022) milik Luwarta dan Sabda Barak Neraka (2023) garapan LOP. Tidak hanya terdengar sebuah ajakan, tapi tebal peringatan tentang momentum kapan berdesis maupun kapan berteriak.

Dalam kaca mata sempit, video klip ini membawa fragmen-fragmen kehidupan urban yang tak menjadi bagian dari ingar-bingar. Namun, tetap saja panas dan menggugah, tentang ketidakmerataan dan kegagalan pembangunan, situasi politik yang jauh keberpihakannya kepada kaum papa, tawaran negosiasi kultural, serta pembacaan terhadap tempat para rapper bernaung—hip-hop.

Terbentuknya garis-garis tersebut seperti membangun LOP dalam konsep ketegasan berpandang. Seperti gunung dalam kondisi siaga level empat yang menggemparkan. Akrobatik bahasa yang beringas dan menusuk dalam sekali tarikan napas. Selain itu, tumbuhan yang mengambil alih kendali atas beton-beton mangkrak. Tegas, lugas, dan jelas menanggalkan aling-aling.

Menurut teman-teman, foto bersama adalah acara inti. (dok. Kristian Bara)

Tarikan Neraka yang Mengelindan 1

Mengendarai motor dari Mojogedang ke Solo sembari membayangkan persoalan neraka senyatanya tidak begitu mengenakkan. Alas Bromo yang biasanya saya lintasi tanpa memikirkan apa pun, karena malam itu jalanan sepi, membuat saya berpikir tak beraturan andai saja malaikat Malik atau Hades tiba-tiba mencegat saya lalu mengatakan, “ayo berangkat ke neraka, kelakuanmu yang membuat begitu.”

“Sekedhap, kula ajeng ngopi gaul rumiyin,” begitulah kiranya jawaban yang ingin saya berikan kepada mereka. Sebab, malam itu saya harus segera sampai di Kedai Makmoer, dekat tugu jam Pasar Gedhe untuk menyidang para rapper yang menghadirkan bayangan itu.

Kedai berada tepat di pinggir Kali Pepe, banyak orang telah menggenggam pesanan masing-masing. Mereka mungkin datang untuk sekadar ngopi atau memang menunggu obrolan agar segera berlangsung. Saya dengan percaya diri di muka menyalami teman-teman tanpa mampu menutupi kecanggungan saya. Orang-orang membicarakan hip-hop, saya harus memoderatori obrolan hip-hop meski pengetahuan saya soal itu sangatlah pendek, tapi kata bapak sebelum berangkat “sukses ya, Le.”

Kecanggungan itu semakin bertambah ketika pelantang yang saya pakai mati-bunyi-mati-bunyi di speaker, tetapi sewaktu dipegang sound man lancar tanpa ada masalah.

Perasaan saya jelas seperti di neraka. Acara tetap saya mulai tanpa pelantang, suara yang biasa saya gunakan untuk memanggil kawan di sawah akhirnya saya keluarkan demi kelancaran acara. Obrolan saya bersama LOP malam itu juga dibersamai suara gamelan dari Balaikota.

Proyek Sabda Barak Neraka digarap atas kesepakatan masing-masing rapper, dengan apa yang mereka sebut sebagai “proyek kroyokan” untuk merayakan 50 tahun hip-hop. Di sisi lain, proyek ini juga upaya menunjukkan kualitas tulisan meraka, sebagai rapper dari Solo.

Pewacanaan penulisan single ini merupakan akumulasi respons atas pelbagai persoalan dari kaca mata LOP. Tiga cara pandang tersebut digambarkan Luwarta di verse 1, One Bless di verse 2, dan Pathos di verse 3. Dramatisasi teks sebagai rasa-pandang coba dibangun menggunakan pendekatan empiris-tekstual.

Sementara itu, di luar obrolan saya dengan LOP, dua orang yang terlibat dalam pembuatan video klip turut meramaikan pula. Srum dan Hexodamus menjelaskan mengenai kompleksitas pembuatan pembuatan video klip ini. Mulai dari grafitti oleh Srum dan pengambilan gambar oleh Hexodamus. Perubahan spot dan konsep yang semula ingin menggambarkan neraka secara harafiah berubah menjadi interpretasi neraka dalam kehidupan urban.

Irisan demikian melebarkan pengertian neraka, menggeser neraka dari sekadar pengertian menakutkan di sebuah ceramah menjadi ruang realitas. Kondisi ketika pelbagai persoalan sosial yang ada didudukkan sebagai respons dan peringatan. Misalnya, Kali Bengawan Solo yang menjadi latar video, barangkali limbahnya adalah simulasi neraka yang tidak pernah dianggap bagi kehidupan di sekitarnya


Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: Kristian Bara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts