Entah ada angin apa Hafid Kurnia (gitaris Noire) pada tanggal 17 September lalu menghubungi saya. Malam itu ia meminta saya untuk mengulas split album dari Noire dan Individual Life yang berjudul “Menaung Lara, Merawat Luka”.
Sejenak mempertimbangkan karena belum pernah mengulas album sebelumnya, terlebih tenggat waktu yang diberikan tidak terlalu panjang, namun kesempatan ini tentu tidak boleh disia-siakan.
Album ini ternyata sudah pernah dirilis secara eksklusif pada saat Record Store Day Yogyakarta di bulan April lalu. Namun baru akan dirilis secara umum pada bulan September ini menurut informasi yang saya dapat dari Hafid. Total ada 8 track dalam album ini: 4 milik Noire dan 4 milik Individual Life.
4 Weeks sebagai track pembuka album ini cukup dapat memberikan gambaran bagaimana musik Noire. Raungan di akhir yang membersamai akhir dari teriakan Hervina cukup membuat saya tercekat seolah ikut terbawa ke dalam cerita yang sedang dibawakan.
Hollow sebagai track kedua sudah dirilis oleh Noire sebagai single perdana mereka. Mendengarkan lagu ini setelah 4 Weeks seperti tidak diberi celah untuk bernafas akibat gitar, bass, dan drum yang dibunyikan bersamaan dalam tempo dan dinamika yang cukup cepat. Ditambah dengan suara vokal yang membuat saya terkesan dimarahi.
Yang membuat Hollow menurut saya terasa sedikit berbeda dari sebelumnya adalah pada bagian kedua, ketika semua instrumen dan vokal dimainkan dengan dinamika yang lebih pelan. Suara vokalnya terasa cukup dekat, seolah sang vokalis sedang berbicara langsung di hadapan saya.
Hal ini tidak saya dapatkan ketika saya mendengarkan Hollow melalui Spotify. Ya, kita semua mungkin tahu bagaimana Spotify memangkas beberapa frekuensi yang ternyata (sebenarnya) dapat memberikan kesan berbeda terhadap sebuah lagu. Saran saya, dengarkanlah lagu ini melalui YouTube atau Apple Music, niscaya rasanya akan berbeda.
Setelah dua track banyak tertarik dengan dinamika vokal yang dibawakan, pada track ketiga I Fell Again, Again, Again divisi instrumen dari Noire cukup menarik perhatian saya bahkan sejak genjrengan gitar pertama.
Bagaimana Hafid memilih cara untuk memainkan gitarnya sebagai notasi pertama pembuka lagu? Disambut dengan dinamika drum dan bass yang cukup berbeda dari dua track sebelumnya. Lagu ini sedikit berbeda dan dapat memberi saya “istirahat” sejenak setelah dihajar dengan penuh emosi oleh “4 Weeks” dan “Hollow”.
Ya walaupun, pertengahan lagu hingga akhir kita kembali diajak untuk merasakan kesedihan dengan penuh emosi yang membuat dada menjadi cukup sesak.
Forbid U Die!, merupakan track keempat sekaligus penutup bagi Noire di album ini. Dibuka dengan petikan gitar yang disambut narasi dalam dinamika yang cukup pelan, namun tetap emosional. Mendengarkan lagu ini rasanya seperti mendengarkan babak monolog dalam sebuah pertunjukan teater.
Noire cukup berhasil membuat saya membayangkan bagaimana seorang wanita sebagai tokoh utama sebuah lakon, dengan permainan emosi yang cukup apik, menceritakan kekesalannya terhadap seseorang. Emosi yang dibangun dari kombinasi instrumen dan narasi dalam lagu ini cukup baik dalam memainkan perasaan pendengarnya.
Track kelima hingga terakhir memasuki babak milik Individual Life yang ternyata sudah pernah dirilis sebagai bagian dari EP “Semoga Engkau Berkenan Mendengarkannya Perlahan Hingga Usai”.
Tracklist-nya pun hampir sama, dibuka dengan Fery Saputro, ditutup dengan Paripurna. Bedanya tidak ada Lalulalang dan Semoga Engkau Berkenan Mendengarkannya Perlahan Hingga Usai. Nuansa live recording cukup kentara di semua track milik Individual Life, berbeda dengan Noire yang rasanya direkam per instrumen.
Ini pertama kalinya saya secara sengaja memutar Individual Life. Fery Saputro yang diputar setelah dihajar 4 track milik Noire rasanya semacam mendapatkan jeda waktu untuk bernafas.
Track instrumental tanpa distorsi gitar ini cukup mengejutkan saya pada bagian tengah lagu dengan ketukan drum dan bass line yang lazimnya digunakan pada musik dangdut atau keroncong. Drum dan bass tersebut dikombinasikan dengan gitar yang meminjam notasi tradisional Jawa, namun tetap menggunakan efek delay dan reverb khas musik post-rock. Hal yang tergolong baru bagi saya, unik.
Track keenam dalam album ini, Metropolis. Cukup menarik perhatian saya terlebih pada ketukan drum dan bass line nya. Lagu-lagu yang seolah mengiringi suatu babak dalam pementasan teater, cukup dapat membawa kita masuk ke dalam suasana yang hendak digambarkan melalui suara.
Terlebih ketika pada bagian tengah hingga akhir lagu yang dimulai dengan gitar berdistorsi dengan suara piano yang dimainkan dengan dinamika yang cukup membangun emosi, meski tidak menyesakkan dada dan memenuhi kepala seperti Noire. Durasi lagu yang cukup panjang ternyata tidak membosankan.
Momentum sebagai track ketujuh bak memberikan titik terang dalam cerita. Rasanya “konflik” dan emosi yang dibangun dari track pertama mulai menemukan penyelesaiannya. Pemilihan chord dan ketukan drum terdengar lebih cerah—dibanding track-track sebelumnya yang cenderung muram—menjadi penyebabnya.
Apakah Momentum benar-benar menjadi momentum menuju akhir cerita? Rasanya demikian adanya.
Usai Momentum, disambut dengan Paripurna yang memang paripurna. Lagu ini memang pas diletakkan sebagai penutup album ini. Segala emosi yang sudah tercurahkan sejak awal mendapatkan penawarnya dari Paripurna. Berarti benar dugaan saya bahwa album ini seperti sebuah cerita yang utuh.
Kesesakan yang timbul dalam dada, serta banyak hal yang berkeliaran di kepala, mendapatkan jawabannya pada lagu ini. Cukup mendapatkan ketenangan, seperti mendapatkan closure atas segala hal yang didapatkan.
Tanpa bermaksud membandingkan atau menyamakan, tapi mendengarkan Individual Life rasanya seperti mendengarkan Majelis Lidah Berduri atau Pandai Besi. Lagu-lagu teatrikal yang secara harfiah menurut saya memang bisa digunakan sebagai musik latar sebuah pertunjukan teater.
Delapan track dalam album “Menaung Lara, Merawat Luka” sudah lengkap saya dengarkan. Lengkap dan paripurna rasanya, penuh dengan emosi namun lengkap dengan penawarnya. Sesak di dada yang tertinggal cukup lama, hilang perlahan akibat 2 track di akhirnya.
Sebagaimana album pada umumnya, “Menaung Lara, Merawat Luka” memang harus didengarkan secara utuh dan urut dari pembuka hingga penutup. Mendengarkan album ini secara utuh dan urut justru memberi kesan yang berkebalikan dengan judul albumnya.
Tak ada lagi lara yang dinaungi dan tak ada lagi luka yang dirawat. Semua terasa lega, rasanya seperti melepaskan sesuatu yang tertahan cukup lama. Yang saya rasakan mirip seperti perasaan ketika setelah menangis, lega. Lara nyatanya bisa dilepaskan dan luka ternyata juga bisa diobati.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Asyam Ashari & Octa Agus Fathony