Beberapa pekan lalu, ramai di media sosial sebuah postingan seorang remaja di aplikasi joget-joget menulis, ada dua mata pelajaran yang tidak perlu ada di sekolahan, yakni bahasa Indonesia dan sejarah. Dalam postingan itu malah ditulis ‘disekolah’ alih-alih ‘di sekolah’.
Padahal, dua pelajaran itu yang justru selalu samar-samar di kepala kita. Perihal sejarah tentu dapat dengan mudah kita temui contohnya, kisah-kisah mengenai Indonesia di masa lalu tidak pernah gamblang dan selalu ada saja yang ditutupi. Sedangkan, bahasa Indonesia, meskipun tampak layaknya sepiring nasi telur, tidak pernah benar-benar kita cerna sari-sarinya.
Perasaan dekat tapi tak pernah memahami secara utuh ini tak pelak akan menjauhkan kita dengan bahasa Indonesia. Tinggal kita menunggu tiba saatnya kita tersesat mencari jalan pulang.
Baca juga: Jenuh di Rumah, Tren Bersepeda Hadir saat Pandemi
Sebagai sebuah alat komunikasi, bahasa Indonesia terbilang memiliki penutur yang banyak, mengingat Indonesia masih ada di peringkat keempat penduduk terbesar di dunia. Sebab itu, jika disatukan dengan bahasa Melayu sebagai induknya, bahasa Indonesia merupakan bahasa terbesar keenam setelah bahasa Mandarin, Inggris, Hindustani, Spanyol, dan Arab.
Bahasa ini juga mampu mempersatukan bebagai macam suku yang ada di Indonesia. Sedikit terdengar klise, tapi nyatanya memang bahasa Indonesia mampu digunakan saat Anda berada di Aceh maupun di Papua. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga dirayakan sebulan penuh pada bulan Oktober.
Bulan Oktober selalu ingar-bingar dengan perayaan bulan bahasa nasional. Tak sulit mencari korelasi antara Oktober dan bahasa. Pasalnya, seperti tertuang di buku-buku sekolah menengah, Sumpah Pemuda memang terjadi pada 28 Oktober 1928. Di dalamnya terdapat sebuah butir yang berbunyi “Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Asal tahu, menurut Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berdasarkan Summer Institute of Linguistics menyebut, ada 707 bahasa daerah yang masih aktif digunakan di Indonesia. Sementara Unesco mencatat, ada 143 bahasa daerah yang hidup berdasarkan status vitalitas bahasanya.
Tekanan Berbahasa Indonesia
Belakangan kerap jadi perbincangan mengenai kebiasaan berbahasa anak muda menggunakan banyak campuran bahasa Inggris yang ‘which is which is’ itu di sela-sela kalimat mereka. Atau, fenomena penggunaan kata ‘kayak’ atau ‘kek’ yang mungkin saja walau belum terbukti, berasal dari kebiasaan menggunakan kata ‘like’.
Cukup lekat juga di ingatan bagaimana warganet mengomentari video Najwa Shihab dan Rich Brian yang meski sangat fasih berbahasa Indonesia, tetapi banyak menggunakan kata ‘kayak’. Kolom komentar menjadi ladang seloroh penonton yang berusaha menghitung berapa kali Rich Brian menggunakan kata ‘kayak’.
Andre Moller seorang pemerhati bahasa Indonesia asal Swedia ternyata menangkap gelagat ini sejak lama. Menurut dia, dengan terciptanya kelas menengah dengan tingkat ekonomi dan akses pendidikan yang baru pada tahun 1980 dan 1990-an secara tidak langsung menekan bahasa Indonesia. Dalam hal ini tekanan datang dari bahasa Inggris.
Golongan tersebut menganggap bahasa Indonesia tidak selalu mampu menjawab tantangan modernitas. Sebab itu, mereka beralih memandang ke luar. Dalam hal ini ada bahasa Inggris yang memenuhi hasrat tersebut. Sejurus, pendidikan anak-anak mereka juga difokuskan ke bahasa Inggris karena dianggap lebih memberi jaminan di masa depan.
Bahasa Indonesia memang belum termasuk bahasa yang tua, sepanjang itu pula bahasa ini selalu melakukan perubahan untuk menjadi mutakhir. Bahasa Indonesia mengikuti zaman untuk dapat terus hidup dan bergerak ke depan. Andre Moller menegaskan, perkembangan bahasa Indonesia seharusnya tidak terbatas pada kemampuan menyerap istilah dari bahasa lain dan mendaku kata tersebut sebagai bahasa Indonesia saja. Namun, juga mencoba mencari dan menggunakan padanan kata yang tepat.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah penggalian ke dalam bahasa daerah. Amat disayangkan jika bahasa daerah kelak hanya menjadi bahasa lisan tanpa sumbangsih dalam bahasa nasional.
Upaya ini sebenarnya telah dicanangkan pada beberapa kasus penyerapan beberapa tahun terakhir. Kata gawai dan sabak sempat bersaing serius untuk dapat merepresentasikan smartphone. Sekarang gawai mulai marak terdengar walau tidak tahu siapa yang memutuskan penggunaannya. Kata lain seperti tembolok juga digadang menggantikan cache dalam bahasa Inggris walau kurang terdengar gaungnya.
Juga percobaan yang dilakukan pada kata-kata yang menyangkut perkembangan iptek layaknya luring, daring, nirkabel, laman, pranala, pratinjau, tautan, dan tetikus yang banyak orang tahu, tetapi tetap jarang digunakan.
Yang lebih mengenaskan, ada kata-kata yang diserap langsung dengan melakukan sedikit penyesuaian tulisan. Percayakah Anda kalau kata kansel dan kes adalah salah dua lema dalam bahasa Indonesia yang berasal dari cancel dan cash?
Sebuah percobaan yang cukup ciamik ditorehkan dengan usaha penyerapan ATM dan MRT. Dengan tetap mempertahankan bentuk singkatannya, Automated Teller Machine menjadi Anjungan Tunai Mandiri dan Mass Rapid Transit menjadi Moda Raya Transportasi.
Namun, kita tidak perlu minder. Toh, bahasa Inggris juga menyerap kata ‘amok’ yang berasal dari kata amuk dalam bahasa Indonesia. Mereka menyerap kata lain seperti durian, bengkoang, sate, dan beberapa lainnya.
Peran Penting Penutur Bahasa Indonesia
Setelah urusan serap menyerap dari bahasa asing, bahasa Indonesia nyatanya tidak semudah yang terucapkan setiap hari. Dalam hal ini anggapan bahwa berbahasa sebagai sarana komunikasi yang penting adalah tahu sama tahu perlu ditepikan sejenak. Walau anggapan itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi status quo-nya tidak selalu dapat dipertahankan.
Dalam bahasa lisan, status quo-nya dapat dipertahankan, tetapi dalam tulis-menulis keragu-raguan tak jarang datang. Eko Endarmoko dalam bukunya Polisi Bahasa memberikan banyak contoh kebingungan tersebut. Begitu sering kita menjumpai tulisan ‘dikontrakan’ atau ‘di kontrakan’ daripada ‘dikontrakkan’ atau mengapa huruf ‘p’ pada memprotes tidak hilang sementara pada meminang, huruf ‘p’ lesap. Atau permasalahan lain muncul ketika menggunakan kata ‘jika’ dan ‘maka‘ dalam satu kalimat.
Tentu saja bahasa Indonesia juga memiliki banyak kaidah yang perlu diperhatikan meskipun keberadaannya tidak selalu dipatuhi. Misalnya dalam penyerapan dengan akhiran’ty’ berubah menjadi ‘tas’ dalam bahasa Indonesia. Misalnya quality menjadi kualitas, comodity menjadi komoditas, tetapi mengapa property tidak pernah menjadi propertas dan tetap disebut properti.
Seseorang tentu tidak akan tersandung oleh batu sebesar bola sepak, tapi acap kali justru terjungkal oleh kerikil yang berserakan. Begitu juga dengan berbahasa, hal kecil yang tampak tidak menggangu justru bisa jadi salah kaprah dan rawan ketaksaan.
Baca juga: Hal Ikhwal yang Berubah selama Ramadan dan Pandemi
Eko Endarmoko menyadari bahwa dalam dua dasawarsa ini kemampuan berbahasa masyarakat terus berkembang. Orang dengan mudah mencari referensi terkait bagaimana kaidah berbahasa. Menanggapi fenomena polisi bahasa yang belakangan muncul, dia berpendapat, mereka yang sekalipun memiliki tujuan baik sebab berpegang pada norma berbahasa, tidak memiliki wewenang memaksa, atas nama hukum (bahasa) sekalipun. Hal ini lantaran, apa yang dirumuskan dan dianggap baik oleh pemegang otoritas bahasa banyak bertolak belakang di lapangan.
Akhirnya, bahasa tetap membutuhkan peran penuturnya. Sebuah bahasa bisa berkembang dan menyongsong perkembangan zaman juga atas peran penuturnya. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang majal dan ompong jika ditelisik lebih dalam. Namun, jika dirasa demikian, bisa kesalahan ada pada penuturnya.
Tentu saja kita tidak akan rela meninggalkan bahasa Indonesia menjadi dingin dan ditinggalkan penuturnya. Bukankah menarik melihat tembolok yang biasanya terjejer jadi kudapan di angkringan kemudian mejeng di komputer atau gawai kalian?
Selamat bulan bahasa!
Editor: Arlingga Hari Nugroho