Mantra dari Klaten, Sambutlah Hari Esok yang Baik: Ulasan Album ‘Sambutlah’ The Jeblogs

Dari perjalanan awal The Jeblogs sampai ke album ‘Sambutlah’, kita akan melihat band ini sudah bertransformasi dari band akil balig memasuki masa dewasa.

Unit kiuntet rock asal Klaten, The Jeblogs akhirnya merilis album penuh perdana bertajuk Sambutlah. Sebelumnya pada tahun 2016 telah meramu single ‘Berantakan’, kemudian disusul Extended Player (EP) Sefl-Titled yang memuat 4 lagu termasuk ‘Berantakan’ pada tahun 2018. Lalu single ‘Bonjour’ mengudara pada 2020 di tengah dunia sedang dilanda pageblug. Kemudian di tahun selanjutnya 2022 dan 2023 berturut-turut merilis ‘Atas Nama’ dan ‘Bersandarlah’.

Di penghujung tahun yang sama di mana single terakhir dirilis, album Sambutlah sudah dapat didengarkan secara luas tepat ketika hari berganti ke tanggal 22 Desember 2023 lalu. Malam sebelum hari di mana seluruh nomor di album penuh perdana mereka dapat diakses secara luas, The Jeblogs melakukan sesi dengar bersama di MOL Coffee and Space, Yogyakarta.

Sambutlah memuat 8 lagu yang dimulai dengan nomor ‘Menari Resah’ mengisi track pertama, dilanjutkan ‘Bersandarlah’ –juga sebagai single–, lalu ‘Pulang’ dan ‘Sambutlah’ berurutan sebagai track ke-3 dan ke-4, kemudian ‘Lautan Api’ ada di track nomor 5 dan diteruskan ‘Sebat Dulu’ pada track ke-6, nomor selanjutnya diisi ‘Ode Para Sisifus’, dan dipungkasi dengan judul ‘Track 8’.

Mendengarkan album Sambutlah akan sangat berbeda ketika mencoba mencocol kuping dengan EP Seft-Titled mereka sebelumnya, mulai dari cara Valentino Mahoni mamainkakan riff yang tidak rapi dan dipadukan dengan gebukan drum Dani Ardian yang terkadang lepas tempo –kamu kan bukan JRX di album Kuta Rock City, Dan!–, sound bass yang dimainkan Ryan Ramadhan pun terdengar tidak solid dan nada lagu serta lirik yang dinyanyikan Amir M terkesan seadanya.

Bahkan di salah satu lagunya ada yang lebih terdengar mid-tempo punk ketimbang rock minimalis dan justru itu lagu paling enak didengar ketimbang 3 lagu lainnya. Jadilah EP pertama mereka terdengar tidak memiliki rumah yang jelas, rock yang nanggung, ditambah hasil mixing dan mastering yang semenjana saja. Bisa dibilang EP perdana mereka merupakan usaha The Jeblogs sedang maraba-raba jalan yang cocok untuk mereka tapaki dalam band ini, masa coming of age yang cuma bisa menghasilkan bebunyian berisik, tidak lebih.

Berbeda ketika single ‘Bonjour’ mulai diperdengarkan, inilah cikal bakal kesolidan sound The Jeblogs ditemukan, riff yang dimainkan terdengar manis ditambah melodi-melodi yang mengaga terus menurus di telinga setelah didengarkan. Tentu saja diimbangi dengan perpaduan isian bass yang solid dan perkembangan penulisan lirik yang lebih menyoroti problematika hidup anak muda.

Kalau boleh dibilang, di fase ini The Jeblogs sedang memasuki kedewasaan, di mana identitas mereka semakin nampak jelas dan menemukan celah untuk bercerita dengan lebih baik dengan lirik-lirik yang bermuatan kegelisahan anak muda yang lebih relatable.

Tidak banyak metaforik, mudah dicerna, tapi juga tidak dengan deskriptif yang gamblang, perjalanan mencari jati diri yang ciamik.

Coba kalau menilik single ‘Atas Nama’, riff yang disuguhkan begitu mengental di memori pendengar, juga lirik pembuka lagu: ”Atas nama masa muda / Yang singkat namun selamanya”. Sangat anjing betul bukan? Ketika nada dan lirik itu masuk ke telinga kanan anak muda yang jiwanya sedang membara, pun rumusan melodi manis yang dipakai di ‘Bonjour’ akan terdengar kembali. Solid.

Kemudian kemunculan single ‘Bersandarlah’ yang menjadi pintu pembuka kelahiran album Sambutlah ini lebih mantap lagi kedengarannya. The Jeblogs semakin menancapkan jati dirinya. Dimulai langsung dengan beat ganas perpaduan genjrengan gitar, bass, dan drum secara bersamaan.

Lagu ini memuat pesan atas problematika hidup yang kayak anjing, dan yasudahlah, istirahat dulu saja: “Ada kalanya menepi / Menantikan datangnya pagi”. Begitu kira-kira The Jeblogs bercerita di lagu ini dengan dibumbui penulisan lirik yang baik, serta diksi yang pas, pun ada kalimat yang disadur dari sebuah buku atau bacaan yang ditemui Amir M sebagai penulis lirik.

Hal semacam ini menarik sebagai sebuah karya yang tidak tumbuh di ruang hampa, jika karya baru dapat berkelindan dengan bentuk karya lain di lintas skena kultur pop ataupun sub-kultur menjadikan para penikmat karya tersebut ikut terpapar wawasan yang terselip di antara karya itu sendiri. Mengingat term “musik sebagai ilmu pengetahuan”, itu tidak slogan belaka.

Pada penggarapan album ini, The Jeblogs sudah tidak berempat lagi, para pemuda yang dipertemukan di Karang Taruna Galur Manggala, Desa Jeblog, Kecamatan Karanganom, Klaten ini ketambahan gitaris Febrianto Prima. Para personil The Jeblogs yang lain bercerita bahwa kedatangan Febrianto Prima menambah asupan skill teknis pada pondasi musik The Jeblogs untuk menemukan warna sound yang akan dibawakan dalam album Sambutlah. Itu tentu saja hal yang baik dan memang kita akan semakin tahu bahwa bualan itu benar adanya setelah mendengarkan album Sambutlah secara utuh.

Di album Sambutlah sebagian besar akan ditemui racikan musik yang mirip dengan single-single yang telah saya sebutkan di atas pascakerja EP Seft-Titled. Namun ada lagu yang akan kita jumpai dengan sedikit membuat kaget, bahwa The Jeblogs ternyata tidak tanggung-tanggung memberikan eksplorasi secara langsung di album ini.

Dibuka dengan lagu ‘Menari Resah’ yang seperti biasa dimulai dengan riff gitar diikuti beat drum yang kencang. Kemudian di tengah-tengah permainan bass akan sedikit menonjol, hingga akhirnya sampai ke isian lirik yang hanya terdiri dari 3 kata: “Menarilah (3x) / Bersama resah”. Lagu ini cukup baik membuka album ini sebagai pemanasan, kemudian dilanjutkan dengan nomor selanjutnya ‘Bersandarlah’ yang lebih dulu dirilis sebagai single, keputusan yang tepat menempatkan lagu ini sebagai single.

Menyusul lagu Pulang, sound pada lagu ini terdengar lebih berat dari lagu-lagu yang lain, walaupun tidak terdengar kentara dan tidak membuat lagu ini beda sendiri, karena masih melaju di jalan yang sudah ditetapkan The Jeblogs pada album tersebut. Lagu ini menceritakan sisi keakuan yang liris menuju perjalanan pulang.

‘Pulang’ sebagai judul dan/atau bagian dari lirik di sini bisa dimaknai banyak hal. Bisa jadi pulang pada diri sendiri yang telah lama kesasar, bisa juga dimaknai sebagai pesan harapan kepada orang-orang yang lama merindukan ‘Aku’ liris: “Aku pulang / Membawa terang / Bernyanyi lantang / Dan bersenang-senang / Dan tetaplah tenang / Ku pasti datang / Membawa terang / Aku pulang”.

Lagu selanjutnya adalah ‘Sambutlah’, penamaan yang sama dengan albumnya sendiri. Tidak beda jauh dengan komposisi yang dibangun dengan lagu-lagu sebelumnya. Lagu ini seakan menceritakan pesan positif untuk menantang hidup di depan mata dengan energi yang penuh, dengan semangat membara, dan melupkan hal-hal runyam yang dijalani sebelumnya.

”Sambutlah matahari / Yang terbit di ufuk timur / Membelah gelap / Hangat merambat / Membangunkan lelap”, menyampaikan pesan kepada generasi tua atau yang telah hidup lebih dulu bahwa para pemuda sudah siap menggantikan posisi mereka dalam lini kehidupan dan menjalaninya dengan lebih baik: “Sampaikan salam kami / Kepada bulan dan bintang / Oh tenang saja / Generasi baru telah tiba”.

Empat lagu dari track pertama hingga keempat seakan-akan memiliki cerita yang berurutan, setelah menjalani hidup yang sumpek, penuh kegelisahan tentu akan menemui lelah, capek, akhirnya istirahat adalah jalan paling baik.

Membangun optimisme dan harapan bahwa ke depan akan baik-baik saja, kemudian setelah menemui rumah untuk pulang saatnya menantang hari-hari berikutnya dengan semangat optimisme dan menyambutnya sebagai bagian dari hidup yang musti dijalani. 

Memasuki track kelima, kita akan disuguhkan lagu ‘Lautan Api’ dengan muatan kemarahan, kekesalan, emosional generasi muda kepada generasi sebelumnya yang serakah dan egois hanya memikirkan masa hidup mereka. Kemudian melupakan keberlanjutan hidup generasi selanjutnya yang akhirnya menyisakan residu-residu buruk, seperti ekosistem lingkungan yang rusak. Mood yang dibangun pada lagu ini memang cocok untuk marah-marah.

Setelah lelah untuk marah-marah yang tak berujung dan juga belum tentu akan merubah sesuatu, ya sudahlah, sebat dulu saja, santai dulu, begitulah kira-kira gambaran lagu keenam berjudul ‘Sebat Dulu’. Dengan tempo yang tidak cepat, serasa tepat dengan lirik yang bermuatan santai, seperti anak-anak muda yang sedang kesal dengan apa yang dialami dalam hidupnya dan menceritakan keluh kesahnya di tongkrongan kepada handai tolan. Berhenti dari keriuhan kepala yang panas dan sejenak chill walau tetap merasa kesal.

Dua track terakhir akan diajak The Jeblogs untuk merasakan ekplorasi yang berbeda dengan rumusan lagu-lagu sebelumnya, track ketujuh berjudul ‘Ode Para Sisifus’. Dari judulnya saja sudah memercikkan pikiran bahwa lagu ini memotret atas mitologi Yunani yang menceritan Sisifus. Sosok yang licik dan serakah dan problematik yang akhirnya dalam perjalannya dia dihukum untuk mendorong baru ke atas bukit. Ketika akan sampai di atas, batu itu akan menggelinding ke bawah lagi dan Sisifus harus mengulangi kegiatannya tersebut, berkali-kali, berulang-ulang. Akhirnya memunculkan pertanyaan, apakah sia-sia pekerjaan Sisifus?

Oleh Albert Camus, mitos Sisifus ini direspons sebagai esai filsafat yang memantik diskusi Apakah hidup manusia adalah kesia-siaan? Apakah pencarian makna atas hidup tidak akan menemui jalan terang? Apakah hidup hanya mengulang hal-hal yang tidak ada gunanya?.

The Jeblogs dengan sangat jeli merespons itu dengan mempertanyakan kembali dan membalikkan pertanyaan, jika hidup Sisifus itu bukan kesiaa-siaan dan dia punya probabilitas untuk bahagia, apakah Sisifus benar-benar bahagia? Lalu, apakah kita semua ini adalah Si Sisifus? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dilempar The Jeblogs pada lagu ini. Komposisi yang diramu di lagu ini memainkani tempo kencang dari awal sampai akhir, membuat pertanyaan-pertanyaan pada liriknya memaksa para pendengar terdesak untuk menjawab dan mendiskusikan seusai mendengarkan. Lagu ‘Ode Para Sisifus’ merupakan track paling pendek di album ini.

Kemudian di lagu terakhir pada album ini diisi dengan judul ‘Track 8’, lagu ini merupakan jawaban atas eksplorasi The Jeblogs. Jika mendengarkan lagu ini secara terpisah untuk pertama kali, tidak akan terbayang bahwa ini dibawakan oleh The Jeblogs. Berdurasi 8 menit 48 detik, lagu ini sudah memunculkan diferensiasi dengan lagu-lagu The Jeblogs yang lain. Dibagi menjadi 3 fragmen, lagu ini berkolaborasi dengan rapper Trigga Cocca lalu pada departemen penulisan lirik diserahkan kepada teman mereka, Gilang Ramadan Ruslan.

Fragmen pertama dibuka dengan gebukan tom-tom drum berpadu dengan bass-drum dan hi-hat, kemudian terdengar petikan melodi minimalis, ketika vokal mulai masuk terdengar suara distorsi yang tidak pernah ditemukan di lagu-lagu The Jeblogs sebelumnya:“Menengadah ke tempat kau tinggal / Ditumbuhi rambut awan sirus / Gemuruh merah di kepala / Melamun dipeluk bayang-bayang”.

Memasuki fragmen kedua, Trigga Cocca mulai merapalkan lirik-lirik yang dibawakan dengan gaya pembawaan puisi dan orasi dengan latar musik yang tidak The Jeblogs sekali, tapi membuat para pendengar geleng-geleng sekaligus mengumpat heran, buajingannn!

Menuju akhir fragmen kedua, mengingatkan saya kepada Morgue Vanguard ketika menutup lagu ‘Kontra Muerta’ dengan puisi Tidak Hari Ini, hanya saja berbeda secara makna liriknya. Dalam three-act structure, lagu ini mencapai climax of act two di bagian pembacaan lirik,

Tak kusayat leherku untuk hari ini
Tak kuikat nafasku untuk hari ini
Tak kulubangi dadaku untuk hari ini
Tak kuhamtam aspal untuk hari ini
Tak kutenggak racun untuk hari ini
Tak kutenggelamkanku untuk hari ini
Aku rawat gelisahku untuk hari ini
Aku rasa khawatirku untuk hari ini
Tangis menangisku untuk hari ini
Tawa tertawaku untuk hari ini
Untuk aku
Untuk kamu
Untuk hari ini

Kemudian menuju pembukaan fragmen ketiga, akan mendengar riff khas The Jeblogs kembali mengalun. Pada fragmen ini The Jeblogs kembali ke khitahnya dan mengakhirinya dengan manis seperti yang sudah-sudah.

Sampai kapan kau diam di kepala
Sedang dunia begitu luasnya
Jangan mati membusuk di sana
Biarkan kakimu mengembara
Rasakan getar sinarnya
Nikmati lembut hembusnya
Selami tangis dan tawa
Menarilah bahagia

Dari perjalanan awal The Jeblogs sampai ke album Sambutlah, kita akan melihat band ini sudah bertransformasi dari band akil balig dan memasuki masa dewasa. Menemukan jati diri, mampu bercerita dengan baik, walaupun dalam beberapa lirik terdengar ada kata-kata yang tidak rapi dilafalkan karena pemilihan diksinya, namun pesan dalam lagu-lagunya tersampaikan dengan jelas. Bukankah hidup selayaknya seperti itu?

Bertumbuh, berani memulai sesuatu yang diangan-angankan, jika jatuh, jika gagal, jika terpuruk, istirahatlah sejenak, mengumpulkan kembali energi untuk menantang hal-hal di depan, sesekali marah-marah meluapkan kekesalan. Hingga suatu saat akan mencapai tempat-tempat yang diimpikan atau bahkan belok ke tempat-tempat yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Namun apapun hasilnya hidup tetap akan terus berjalan, oleh karenanya mari kita rayakan hidup ini dengan sebaik-baiknya, semampu-mampunya, dan tentu saja dengan kegembiraan. “Yang telah pergi akan selalu terkenang / Dan sambutlah yang akan datang / Yang telah pergi akan selalu terkenang / Dan sambutlah yang akan datang”.

Terus berjalan The Jeblogs, sampai melampaui masa dewasa dan menua dengan bijaksana.

Sepertinya warga Klaten sudah sampai pada tahap kalau ditanya “Apa oleh-oleh khas Klaten?”, maka bisa dijawab dengan jawaban alternatif “Rilisan fisik atau merchandise The Jeblogs”. Sebat dulu, Prenggg!


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: The Jeblogs

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts