Siaran berita larangan mudik mulai jadi perbincangan hangat di televisi, tak terkecuali di bibir Panjul ketika nangkring di angkringan Kang Ramto.
Matahari sudah condong ke barat saat Panjul nangkring di tempat Kang Ramto biasa menggelar angkringannya. Ia menenteng tas kecil di dadanya sembari ndodok sanderan di Tugu Sembada. Sejurus, Kang Ramto baru datang mendorong gerobak dan beberapa gulung terpal di atasnya.
“Gimana mau maju kalau tidak tepat waktu, pelanggan jadi menunggu!”
“Lha ini datang.”
“Kalo angkringan sampeyan ada di PlayStore, udah pasti saya kasih bintang satu Kang!” Panjul tak tahan buka keran amarahnya.
“Ayo lanjutkan mau bilang apalagi,” tantang Kang Ramto yang baru saja markirin gerobak, “kamu itu nggak sadar apa Njul, ini kan masanya orang-orang pada puasa.”
Panjul tercekat. Ia lupa. Dengan sedikit kikuk dia membantu Kang Ramto menurunkan ember plastik bakal buat nyuci gelas.
“Kalo bulan puasa kan emang bukanya sorean dikit, selain nyediain yang bakal berbuka kan juga menampung yang nggak puasa.”
“Kirain menghindari Pol PP Kang.”
“Ya itu juga,” jawab Kang Ramto dengan kepala njedul dari bawah angkringan.
Tak berapa lama, angkringan Kang Ramto sudah megah berdiri dengan kudapan yang menggiurkan. Beberapa menu seperti kolak, es palu butung, dan kue lumpur tiba-tiba ikut berdesakan di antara nasi teri dan sate usus.
“Itu si Bowie yang bikin, selain setor kacang bawang sama kulit melinjo. Katanya buat tambah-tambah beli baju lebaran.”
“Lebaran pakai baju baru itu memangnya Raden Mas Prabowo Wijanarko itu mau kemana to Kang? Kan saudara-saudaranya ndak boleh mudik,” Panjul sudah mantap duduk dengan tatapan ke arah gorengan yang masih panas.
“Katanya memang tidak mudik Njul, tapi pulang kampung,” jawab Kang Ramto sembari menuang raupan es batu lalu memberikannya ke Panjul.
Panjul mengerenyit seraya mengaduk es teh pesanannya. Datang Bandot yang kegerahan habis kejar setoran. Sambil masuk ia buka jaketnya. Merogoh saku celana, tak lupa ia singkapkan kabel power bank yang nancep dari HP-nya.
“Kang saya numpang ngadem ya, panas banget ni habis ngantar orang ke terminal.”
“Wo ya silakan, mau minum apa langsung makan,” Kang Ramto menggoda.
Bandot hanya tersenyum. Panjul paham dan jadi tak enak hati. Embun di gelas es tehnya kalah deras dengan keringat yang mulai jatuh dari keningnya. Atas nama toleransi, dia hampir saja meminta es tehnya dibungkus.
“Santai aja Njul, sikat aja udah,” sergap Bandot.
“Habis nganter siapa Mas, kok siang-siang ke terminal?” Tanya Panjul memecahkan suasana.
“Nganter Yunita yang calon perawat itu. Dia mau pulang, ke mana itu asalnya, Mandailing Natal.”
“Lho bukannya ini masih masa kuliah ya?” Kang Ramto menyelidik.
“Katanya dia takut ada pembatasan mudik kalau dekat-dekat lebaran. Ya asal jangan sampai tengah jalan disuruh putar balik saja kaya tahun lalu, rugi waktu, rugi biaya.”
Panjul dan Kang Ramto mengangguk kecil. Keduanya saling melihat, seperti berunding siapa dulu yang mau menyambut bola mentah ini. Dengan sigap, Kang Ramto mengambil alih percaturan pendapat sore itu.
“Silakan Panjul, mau ngomong apa, waktu dan tempat saya berikan.”
“Lho kok saya Kang, niatnya kan memang baik supaya mengurangi wabah.”
“Nah, mudik kan nggak boleh nih Njul, kalo kita yang mau ke kota apa boleh Njul? Bedol desa gitu,” Kang Ramto memancing.
“Ya boleh kali Kang, sekarang mah tujuan bisa jadi nomor dua, yang penting kan sudah periksa bebas penyakit sama punya surat bertanda tangan basah dari Pak Lurah.”
“Sama suhu kudu lolos pestol Kang, di bawah 36 derajat,” Bandot jadi gong.
Terik di luar hampir kalah dengan obrolan di angkringan Kang Ramto yang baru buka. Asyik menanggapi Panjul nerocos, Kang Ramto menjelma playmaker spesialis bola lambung terobosan.
“Tapi tempat wisata boleh buka buka lho Njul, katanya,” Kang Ramto mulai penasaran.
“Ya itu supaya nanti waktu lebaran bisa outing sama keluarga di tempat wisata, mau pantai kek, gunung kek, panggung dangdutan kek yang penting tidak mudik.”
“Apa bisa gitu Njul?”
“Ya bisa nggak bisa habis gimana lagi dong, masyarakat kan perlu hiburan juga untuk menjaga imun-imun tetap baik dan jauh dari yang namanya penyakit kota.”
“Apaan tu Njul?”
“Ya stres itu. Padahal di mana juga yang namanya orang stres juga pasti ada.”
Bola kian liar bergulir. Kang Ramto mulai kewalahan menaggapi Panjul nerocos sore-sore begini. Sementara Bandot, dikaruniai stamina tinggi dalam urusan menaggapi obrolan orang, terutama Panjul.
“Dilarang mudik tapi tempat wisata dibuka itu kan kaya ngganjel pintu pake cheetos Njul.”
“Ya jangan salah, kan yang penting mobilitas masyarakat sudah dikurangi, lha kalau wisata itu kan urusan dan kebutuhan masing-masing. Bagaimana juga sendi-sendi pariwisata harus terus dilumasi supaya lancar dan licin, apalagi menterinya kan baru.”
“Tapi kan lagi masa pandemi gini Njul.”
“Wo ya jangan khawatir, kan ada pengetatan itu, yang namanya…”
“Protokol kesehatan, Njul,” Bandot nyamber saja tanpa tengok kiri kanan.
“Be to the tul.”
Azan bersipongang. Bandot baru saja selesai menenggak beberapa teguk air putih. Kang Ramto sudah kewalahan melayani pembeli yang sudah berkerumun. Setelah membayar, Panjul bersijengket keluar dari angkringan.
“Kemana Njul?” Tanya Kang Ramto.
“Ke tempat Pak Lurah, suruh bantu tandatangain surat izin buat warga.”
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: Yohakim Ragil Anantya